MAKALAH
PENDAFTARAN
TANAH
PELENGKAP MATA KULIAH : PENDAFTARAN
DAN PENGADAAN TANAH
DOSEN PEMBIMBING : FANIKO
ADIYANSYAH, SH.,M.Kn
DI SUSUN OLEH
ANTONIUS
NIM 120405010034
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendaftaran
tanah untuk pertama kalinya dilakukan untuk tanah-tanah yang belum didaftarkan
atau belum pernah disertifikatkan, hal ini sesuai dengan ketentuan PP Nomor 10
Tahun 1961 dan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Maka untuk
menjamin kepastian hukum, maka mendaftarkan hak atas tanah merupakan hal yang
penting untuk dilakukan. Hal ini dilakukan guna menjamin kepastian hukum bagi
pemegang hak atas tanah serta pihak lain yang berkepentingan dengan tanah
tersebut. Pendaftaran tanah dilakukan di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN)
serta dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berada di wilayah
kabupaten/kota[1].
Di
Indonesia sistem pendaftaran tanah masih menimbulkan polemik. Masih banyak
masyarakat Indonesia yang sukar untuk dapat mengatasi masalah ini dengan baik.
Sebagian besar penduduk mengira masalah ini hanya dapat diselesaikan dengan
uang. Cara instan ataupun cepat yang dilakukan dengan semakin besar mereka
mengeluarkan uang maka akan semakin cepat pula penyelesaiannya. Padahal sesuai
kenyataan, cara yang diambil ini salah. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang
menjadi oknum menyelesaikan urusan dalam pendaftaran tanah menyatakan “uang
yang diminta dari para pendaftaran tanah mereka akan masuk ke dalam kas negara
dan bukan masuk ke saku pribadi dan proses ini biasa disebut sebagai uang
administrasi”.
Sedangkan
dibidang pembangunan tanah merupakan upaya manusia dalam mengolah dan
memanfaatkan sumber daya yang dipergunakan bagi pemenuhan kebutuhan dan
peningkatan kesejahteraan hidup yang dimanisfestasikan melalui seperangkat
kebijakan publik. Setiap negara akan memilih dan menerapkan strategi
pembangunan tertentu yang dianggap tepat untuk mewujudkan hal tersebut. Yang
dimaksud dengan sejahtera adalah situasi manakala kebutuhan dan hak dasar
rakyat telah terpenuhi tidak semata
terkait dengan tingkat konsumsi (tingkat ekonomi) dan akses kepada layanan publik yang diberikan
pemerintah, tetapi juga pada kesempatan untuk berpartisipasi dan menyampaikan
aspirasi dalam kerangka pembangunan untuk kepentingan umum.
Termasuk dalam
kegiatan pembangunan adalah pembangunan untuk kepentingan umum
yang harus terus diupayakan pelaksanaannya seiring dengan semakin bertambahnya
jumlah penduduk yang disertai dengan semakin meningkatnya kemakmurannya.Penduduk
yang semakin bertambah dengan tingkat kemakmuran yang semakin baik, tentunya
membutuhkan berbagai fasilitas umum seperti : jalan jembatan,transportasi,
fasilitas pendidikan, peribadatan, sarana olah raga, fasilitas komunikasi,
fasilitas keselamatan umum dan sebagainya[2].
Tanah
merupakan modal dasar pembangunan, hampir tak ada kegiatan pembangunan
(sektoral) yang tidak memerlukan tanah. Oleh karena itu tanah memegang peranan
yang sangat penting, bahkan menentukan berhasil tidaknya suatu pembangunan.
Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di segala bidang kehidupan terutama
untuk kepentingan umum selalu membutuhkan tanah sebagai wadah untuk
diletakkannya pembangunan tersebut. Kini pembangunan terus meningkat dan tiada
henti tetapi persediaan tanah semakin sulit dan terbatas. Keadaaan seperti ini
dapat menimbulkan konflik karena kepentingan umum dan kepentingan perorangan
atau kelompok saling berbenturan. Kondisi
seperti ini diperlukan
upaya pengaturan yang bijaksana dan adil
guna menghindari konflik-konflik yang terjadi di masyarakat karena hal
tersebut.
Pemerintah
yang dalam hal ini sebagai pemangku kebijakan telah melakukan upaya dengan
mengeluarkan peraturan tantang pangadaan tanah untuk pembangunan dalam rangka
kepentingan umum. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari konflik yang terjadi
sehingga pembangunan dapat berjalan dengan lancar. Tetapi dalam implementasi
dan pelaksanaannya sering menemui kendala atau hambatan yang berujung pada
kebuntuan sehingga proses pembangunan menjadi terhambat.
Paper
ini mencoba menguraikan secara ringkas mengenai teori pengadaan tanah sebagai
sebuah tinjauan, peraturan tentang pengadaan tanah untuk pembangunan bagi
kepentingan umum yang berlaku di Indonesia dan beberapa kasus yang terjadi di
lapangan sebagai implementasi atas pelaksanaan peraturan yang berlaku. Penulis
akan mencoba mensarikan penyebab-penyebab yang menjadi masalah pada proses
pengadaan tanah dan solusi yang ditawarkan berdasar dari uraian tersebut[3].
Peraturan
tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam perkembangannya telah
mengalami berbagai perubahan yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri)
Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan-Ketentuan mengenai Tata Cara Pembebasan
Tanah, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Peraturan Presiden Nomor 36
Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65
Tahun 2006 dan yang terakhir dalam rapat paripurna di DPR, Jumat 16 Desembar
2011.
Undang-Undang
tersebut mengatur secara komprehensif pengadaan tanah untuk kepentingan umum
mulai dari perencanaan, persiapan, hingga pelaksanaan. Hal itu untuk memastikan
pengadaan tanah sesuai tujuan, yakni untuk kepentingan umum. Ketua Panitia
Khusus Undang-Undang Pengadaan Tanah Daryatmo Mardiyanto mengatakan adanya
penjelasan secara spesifik mengenai kriteria kepentingan umum agar tidak
terjadi penyalahgunaan pengadaan tanah dengan dalih kepentingan umum. Dalam
definisinya, kepentingan umum disebutkan kepentingan umum adalah kepentingan
bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan
digunakan sebesar-besanrnya untuk kemakmuran rakyat[4].
Ada
18 jenis kegiatan pembangunan yang dikategorikan kepentingan umum adalah
sebagai berikut :
1. pertahanan
dan keamanan nasional,
2. jalan
umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan
fasilitas operasi kereta api,
3. waduk,
bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan
sanitasi, dan bangunan pengaitan lainnya,
4. pelabuhan,
bandar udara, dan terminal,
5. infrastruktur
minyak, gas, dan panas bumi,
6. pembangkit,
transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik,
7. jaringan
telekomunikasi dan informatika pemerintah,
8. tempat
pembuangan dan pengolahan sampah,
9. rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah,
10. fasilitas
keselamatan umum
11. tempat
pemakamam umum pemerintah/pemerintah daerah,
12. fasilitas
sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik,
13. cagar
alam dan cagar budaya,
14. kantor
pemerintah/pemerintah daerah/desa,
15. penataan
permukimam kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk
masyarakat berpenghasilan dengan status sewa,
16. prasarana
pendidikan atau sekolah pemerintah/pemerintah daerah,
17. prasarana
olahraga pemerintah/pemerintah daerah dan
18. pasar
umum dan lapangan parkir umum.
Hal
penting lainnya adalah diwajibkannya konsultasi publik dalam tahap perencanaan
pengadaan tanah. Jika dalam konsultasi publik itu tidak menemui titik temu,
pihak yang berhak atas tanah dapat mengajukan keberatan kepada pemerintah.
Pemerintah melalui gubernur dapat membentuk tim untuk mengkaji keberatan itu,
lalu mengambil keputusan. Jika gubernur menolak keberatan, pihak yang berhak
atas tanah diberi kesempatan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) hingga ke Mahkamah Agung.Ketentuan itu agar pemerintah provinsi atau
gubernur cermat mengikuti seluruh ketentuan dan prosedur pengadaan tanah yang
diatur dalam undang-undang ini.
Yang
tidak kalah pentingnya adalah dibentuknya lembaga penilai independen untuk
menentukan ganti rugi atas tanah. Adapun bentuk ganti rugi yang ditawarkan tak
hanya uang, melainkan tanah pengganti, permukiman, kepemilikan saham, atau
bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat
diambil dari makalah ini, yaitu :
1.
Bagaimana proses pendaftaran tanah
setelah PP No.10 Tahun 1961 dan proses pendaftaran hak atas tanah?
2.
Bagaimana penyelesaian dalam kasus sengketa
tanah yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap?
1.3 Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari pembahasan
yang ada di dalam makalah ini, diantaranya:
1.
Untuk mengetahui apa saja yang menjadi
dasar hukum pendaftaran tanah yang ada di Indonesia.
2.
Untuk menjelaskan bagaimana pengaruh
pendaftaran tanah terhadap PPAT dan sertipikat Hak Atas Tanah.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
2.1 Pengertian Pendaftaran Tanah
da berbagai pendapat dari para ahli
mengenai pengertian pendaftaran tanah, diantaranya:
1.
Menurut Rudolf Hermanses, S.H.
Pendaftaran
tanah adalah pendaftaran atau pembukuan bidang-bidang tanah dalam daftar
berdasarkan pengukuran dan pemetaan yang seksama dari bidang-bidang itu.
2.
Menurut Bachtiar Effendie, S.H.
Pendaftaran
tanah adalah usaha mengadakan :
a.
Pengukuran, pemetaan, dan pembukuan
tanah.
b.
Pendaftaran hak-hak atas tanah dan
peralihannya.
c.
Pemberian surat-surat tanda bukti hak
yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat (sama dengan bunyi pasal 19 UUPA
ayat 2).
3. Menurut
H. Achmad Chomzah, S.H.
Pendaftaran
tanah adalah pengukuran tanah, pemetaan dan pembukuan tanah
4.
Menurut PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
Pendaftaran
tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah secara terus
menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan,
pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam
bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah[5]. Satuan-satuan
rumah susun termasuk pemberian Surat Tanda Bukti bagi tanah-tanah yang sudah
ada haknya dan hak milik satuan rumah susun serta hak tertentu yang membebani.
2.2
Tujuan Pendaftaran Tanah
1.
Memberikan kepastian hukum/perlindungan hokum
2.
Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
3.
Tertib administrasi pertanahan[6].
2.3 Dasar Hukum Pendaftaran Tanah
Dalam UUPA (UU No. 5 Tahun 1960) tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria: Pasal 19 ayat 1 :
a.
Untuk menjamin kepastian hukum Hak Atas
Tanah oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia.
Pasal
2 ayat (2) b & c :
b.
Menentukan dan mengatur hubungan hukum
antara orang-orang dengan tanah.
c.
Menentukan dan mengatur hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan hukum dengan tanah.
Pasal 23 ayat 1
:
Hak
milik dan peralihannya dan pembebanannya dengan hak lain harus didaftar.
Pasal
32 ayat 1 :
Hak
Guna Usaha (HGU) setiap peralihan dan penghapusannya (didaftar).
Pasal
38 ayat 1 :
Hak
Guna Bangunan (HGB) dan syarat-syarat pemberian hak termasuk peralihannya,
hapusnya tak harus didaftar.
PP
No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah :
Hak
Pakai (HP), Hak Pengelolaan (HPL), syarat pemberian hak, peralihan dan hapusnya
hak (didaftar).
PP
No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah :
Penyempurnaan
dari PP No. 10 Tahun 1961.
2.4
Asas-Asas Dalam Pendaftaran Tanah
1. Asas Publisitas :
Ø Subyek hak tanah
Ø Dibebani hak tanggungan/tidak
Ø Jenis hak tanah
2. Asas Spesialitas :
Ø Luas tanah
Ø Letak tanah
Ø Penunjukan batas-batas tanah
Ø Penggunaan tanah[7]
Asas dan tujuan pendaftaran tanah
menurut PP No.24 Tahun 1997 :
a.
Sederhana(mudah dipahami) : supaya
ketentuan-ketentuan pokok dan prosedur agar mudah dipahami oleh pihak-pihak
yang berkepentingan dan pihak yang memegang tanah.
b.
Aman (kepastian hukum) : bahwa
pendaftaran tanah dilakukan secara teliti dan cermat agar memberikan kepastian
hukum sesuai dengan tujuan pendaftaran tanah.
c.
Terjangkau (contoh : PRONA ) : bisa
memenuhi pihak-pihak yang memerlukan (untuk orang-orang yang ekonominya lemah).
d.
Mutakhir (data berkesinambungan) :
menentukan data pendaftaran tanah dilakukan secara terus-menerus dan
berkesinambungan agar data yang di BPN tetap sama dengan kenyataan.
e.
Terbuka (diumumkan ) : masyarakat bisa
mengetahui tentang ketentuan-ketentuan tentang pendaftaran tanah di BPN dan
dapat dilihat setiap saat.
2.5
Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia
1.
Sistem Torrens
Yakni dikenal dengan nama “THE REAL
PROPERTY ACT” atau “TORRENS ACT” Kelebihannya dibandingkan dengan sistem
negatif yaitu:
a.
Kepemilikan belum pasti menjadi pasti
b.
Biaya peralihan hak rendah
c.
Hari penyelesaian proses cepat
d.
Uraian lebih singkat dan jelas
e.
Persetujuan/perjanjian lebih
disederhanakan
f.
Hal-hal yang bersifat penipuan di halangi
g.
Nilai kepemilikan tanah ditingkatkan
h.
Prosedur disederhanakan[8]
2. Sistem Positif
Yaitu daftar umum yang mempunyai
kekuatan bukti. Ciri-ciri yang terdapat dalam sistem ini :
a.
Nama yang terdaftar sulit untuk dibantah
b.
Memberikan kepercayaan yang mutlak pada
buku tanah
c.
Pejabat balik nama sangat berperan aktif
Kelebihan sistem ini adalah :
a.
Kepastian dari buku tanah
b.
Peranan aktif dari pejabat balik nama
tanah
c.
Mekanisme kerja dalam penerbitan
sertifikat mudah dimengerti orang awam
Kelemahan sistem ini adalah :
a.
Peranan pejabat balik nama agak memakan
waktu lama
b.
Pemilik hak yang sebenarnya kadang kala
akan kehilangan haknya
c.
Wewenang Pengadilan terletak pada
wewenang administratif
3. Sistem Negatif
Yaitu pendaftaran tanah diselenggarakan
dengan data-data umum yang tidak ada kepastian hukumnya/buktinya[9].
a.
Hal yang tercantum dalam bukti hak
dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaiknya (tidak
benar) dimuka sidang pengadilan
b.
Asas peralihan hak atas tanah adalah
“ASAS MEMO PLUS YURIS” yakni melidungi pemegang hak atas tanah yang sebenarnya
dari tindakan orang lain yang mengalihkan haknya tanpa diketahui oleh pemegang
hak yang sebenarnya
c.
Ciri pokok sistem ini adalah : bahwa pendaftaran
hak tidak menjamin bahwa yang tercantum dalam buku tanah adalah pemilik tanah
yang sebenarnya
d.
Ciri lain adalah : peranan pejabat balik
nama tidak berkewajiban untuk menyelidiki kebenaran surat surat yang diserahkan
kepadanya
Kebaikan dari sistem negatif ini adalah
adanya perlindungan hukum kepada pemegang hak yang sebenarnya. Sedangkan
kelemahan dari sistem ini adalah :
a.
Peranan pasif PPAT / balik nama yang
menyebabkan tumpang tindih sertipikat (hak).
b.
Mekanisme kerja sampai terbit sertipikat
tanah tidak mudah dipahami orang awam.
2.6 Jenis Proses Pendaftaran Tanah
1.
Berdasarkan Ketetapan PP. 37 Tahun 1998
Akta-akta yang dibuat PPAT :
a.
Akta Jual Beli
b.
Akta Hibah
c.
Akta Tukar-menukar
d.
Akta Hak Tanggungan
e.
Akta Pembagian Hak Bersama
f.
Inbreng
2. Berdasarkan status
penguasaan/pemilikan dari hukum adat, hak barat, hak timur asing, dll :
a.
Konversi Hak Adat
b.
Pengakuan Hak/Penegasan Hak
c.
Konversi Hak-hak Swapraja, dll[10].
3. Berdasarkan surat-surat keputusan
atau penetapan dari pemerintah/instansi berwenang lainnya:
a.
Surat Keputusan Hak
b.
Surat Ketetapan Redistribusi Tanah
c.
Surat Keputusan L.C
d.
Surat Ketetapan Pengadilan Negeri
e.
Surat Ketetapan Lelang, dll
2.7
Proses Pendaftaran Tanah
1. Proses Pendaftaran Tanah setelah PP
No. 10 Tahun 1961 dilakukan dengan cara :
a.
Pengukuran, pemetaan, dan pembukuan
tanah…
-Pendaftaran
hak dan peralihan hak.
-Pemberian
surat-surat tanda bukti hak berlaku sebagai bukti yang kuat.
Dengan
sistem :
-Pengukuran
teristris daerah-daerah sebagai pelengkap.
-Fotogrametri.
b.
Pengukuran desa demi desa dilengkapi
dengan Panitia Teknis dan Yuridis yang melibatkan Kantor Desa/Pemerintahan
untuk mendata :….
-Riwayat
tanah per bidang
-Dibuat
peta-peta dengan skala besar yaitu 1:1000 ; 1:5000 ; dan 1:500
-Pengumuman
selama 3 bulan
c.
Pembukuan Tanah
Pembukuan
tanah adalah penyelenggaraan tata usaha di bidang pendaftaran tanah. Kantor
Pertanahan Kab/Kota melalui seksi pendaftaran tanah membuat 4 macam daftar
yaitu :
-Daftar Nama
-Daftar Tanah
-Daftar Buku Tanah
-Daftar
Surat Ukur[11]
Selain itu juga
dilakukan :
-Menyimpan surat-surat
otentik
-Surat-surat keputusan
pemberian Hak Atas Tanah
-Warkah-warkah lainnya
2 Pendaftaran Hak Atas Tanah
Pendaftaran
Hak Atas Tanah adalah pendaftaran untuk pertama kalinya atau pembukuan suatu
hak atas tanah dalam daftar buku tanah.
Cara pendaftaran hak tersebut adalah
sebagai berikut :
-
Pendaftaran hak di desa-desa lengkap,
yaitu desa-desa yang telah dilakukan pengukuran desa demi desa.
-
Pendaftaran Hak Atas Tanah pada
desa-desa yang belum lengkap, yaitu desa-desa yang belum diselenggarakan
pengukurannya.
-
Pendaftaran Hak Atas Tanah atas
permohonan si pemegang hak itu sendiri.
2.8 Pengaruh Pendaftaran Tanah pada
Akta-akta PPAT
a. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat Akta
Otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah. Sesuai PP,
setiap peraturan perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, meminjam
uang dengan hak atas tanah sebagai hak tanggungan harus dibuktikan dengan akta
yang dibuat oleh Menteri Agraria (Kepala BPN). Akta tersebut bentuknya
ditetapkan oleh Kepala BPN. Peraturan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah diatur
dalam PP No. 37 Tahun 1998. Dalam pelaksanaannya diatur dengan Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1998[12].
Fungsi PPAT adalah
membuat Akta Peralihan/Pemindahan Hak Atas Tanah, Pembebanan Hak Atas Tanah dan
akta-akta lain yang diatur dengan perundangan yang berlaku dan membantu Kepala
Kantor Pertanahan dalam melaksanakan Pendaftaran Tanah dengan membuat akta-akta
yang akan dijadikan dasar pendaftaran dan perubahan dalam pendaftaran tanah.
Keharusan untuk
dibuatkan akta yaitu berdasarkan PP, setiap perjanjian yang bermaksud
memindahkan hak atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak
atas tanah sebagai tanggungan serta memberikan suatu hak baru atas tanah harus
dibuktikan dihadapan seorang pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Badan Pertanahan
Nasional. Untuk mengadakan pengawasan secara seksama oleh pemerintah, maka
setiap pemindahan hak yang tidak dibuktikan dengan sesuatu yang dibuat
dihadapan PPAT tidak akan dapat didaftarkan haknya sehingga kepada pemilik yang
baru tidak diberikan tanda bukti hak (sertipikat).
b. Surat Tanda Bukti Hak (Sertipikat)
Hak Atas Tanah
Sertipikat adalah
salinan buku tanah dan surat ukur yang diberi sampul dan dijilid menjadi satu
dan disegel (secara fisik). Sertipikat dapat dikatakan sebagai alat pembuktian
yang kuat yaitu bahwa keterangan yang tertuang dalam sertipikat mempunyai
kekuatan hukum dan harus diterima oleh hakim sebagai keterangan yang benar
sepanjang tidak ada alat pembuktian yang lain yang membuktikan sebaliknya[13].
Sertipikat dibagi
menjadi 2 macam, diantaranya Sertipikat Sementara dan Sertipikat Hak Tanggungan.
Sertipikat Sementara adalah surat tanda bukti hak atas tanah yang terdiri dari
salinan buku tanah dan gambar situasi yang diberi sampul dan dijilid. Di dalam
sertipikat ini, luas dan batas-batas tanah belum ada kepastian yang baku.
Sedangkan Sertipikat Hak Tanggungan yaitu salinan buku tanah hak tanggungan
yang dibuat oleh PPAT yang diberi sampul dan dijilid menjadi satu. Sertipikat
ini diterbitkan dalam waktu 7 hari kerja setelah dibuat buku tanah oleh PPAT
dan diberikan kepada kreditur yang mempunyai kekuatan eksekutorial.
Berdasarkan sifat kepemilikan sertipikat
Hak Atas Tanah terdiri dari :
1.
Sertipikat Hak Milik (HM)
2.
Sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB)
3.
Sertipikat Hak Pakai
4.
Sertipikat Hak Milik Satuan Rumah Susun
5.
Sertipikat Hak Pengelolaan
6.
Sertipikat Wakaf
7.
Sertipikat Hak Guna Usaha (HGU)
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1
Permasalahan Pengadaan Tanah di Indonesia
Permasalahan
yang terkait dengan pembebasan tanah masyarakat untuk kepentingan umum
senantiasa menimbulkan polemik. Disatu sisi, negara menjamin kepemilikan sah
individu atas tanah, disisi lain pelaksana kekuasaan negara, yakni pemerintah
berkewajiban menjalankan agenda pembangunan infrastruktur fisik yang seringkali
harus mengorbankan nilai kepentingan individu.
Kepentingan
umum yang dijabarkan dari fungsi sosial tanah tidak kalah pentingnya dengan
kepentingan individu pemilik yang dijabarkan dari fungsi ekonomi tanah. Artinya
pada saat dibutuhkan demi kepentingan umum , kepentingan individu bisa
dikompromikan bahkan dikalahkan dan hak milik atas tanah harus dilepaskan. Dalam
hal ini Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28H menyatakan setiap orang juga berhak
mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh siapapun. Hal tersebut mengandung makna perlunya
mekanisme yang adil dalam proses pengambil alihan hak atas tanah[14].
Dalam
penanganan masalah pertanahan TAP MPR No. IX/MPR/2001 telah memberi arahan
perlunya penanganan masalah pertanahan dengan menyelesaikan konflik-konflik
pertanahan yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang timbul selama ini
sekaligus dapat mengantisipasi konflik di masa mendatang guna menjamin
terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip antara
lain memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, menghormati supremasi
hukum dengan mengakomodasi keaneka ragaman ]unifikasi hukum, mewujudkan
keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan,pemilikan, penggunaan,
pemanfaatan dan pemeliharaan sumberdaya agraria/sumberdaya alam, melaksanakan
fungsi sosial dan sebagainya[15].
Disisi lain, para investor yang ingin berinvestasi di sektor infrastruktur
tidak berani menanamkan modalnya, karena adanya kekuatiran walaupun proyeknya
sudah disetujui untuk dibangun namun pada saat pembangunannya terhambat oleh
persoalan pembebasan tanah, akibatnya penyelesaian proyek tertunda dan bahkan
kemungkinan tidak dapat dioperasikan, sebagai contoh pembangunan lingkar luar
jalan tol lingkar luar jakarta di ruas hankam-Cikunir dimana sejumlah kepala
keluarga korban penggusuran meminta ganti rugi sesuai dengan SK Wali Kota
Bekasi sebesar Rp. 1,35 juta untuk tanah bersertipikat dan Rp. 1,25 juta per
meter persegi untuk tanah berstatus girik, padahal harga tanah berdasarkan
Nilai Jual Obyek pajak (NJOP) di lokasi tersebut antara Rp. 300-350 ribu saja.
Kejadian
di atas menunjukkan bahwa ekses-ekses pengambil-alihan tanah untuk berbagai
kepentingan itu sebagian disebabkan oleh kesenjangan antara das sollen
sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan das
sein berupa kenyataan yang terjadi di lapangan. Dengan demikian permasalahan
pertanahan yang terkait dengan pembebasan tanah pada masa kini sudah demikian
kompleks dan tak bisa begitu saja terjawab oleh peraturan yang sudah ada, dan
pelaksanaannya oleh aparat kerap diwarnai bias kepentingan dan kurangnya
komunikasi ataupun sosialisasi pada akhirnya menumbuhkan prasangka publik yang
tak kunjung selesai.
Berbagai
peraturan telah dikeluarkan Pemerintah untuk mengatur pembebasan tanah, yang
kemudian istilah pembebasan tanah ini direvisi dengan istilah pengadaan tanah
sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk kepentingan Umum. Dengan adanya
Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang
Pertanahan, maka penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan
dilaksanakan oleh Pemerintah Kota/Kabupaten.
Keluarnya
Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 untuk menyempurnakan Keppres Nomor 55
tahun 1993 karena Keppres tersebut dianggap belum memenuhi kebutuhan pengadaan
tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.Dalam konsiderans
menimbang disebutkan bahwa latar belakang diterbitkannya Perpres Nomor 36 tahun
2005 yaitu, a)dengan meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan tanah, maka pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan
dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas
tanah;b)bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum sebagaimana telah ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993
sudah tidak sesuai sebagai landasan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan
untuk kepentingan umum.
Adanya
kontroversi mengenai Perpres Nomor 36 tahun 2005 yang dinilai sangat merugikan
masyarakat, terutama mengenai persepsi kepentingan umum, proses musyawarah dan
pencabutan hak mengakibatkan terjadinya revisi terhadap Perpres tersebut dengan
keluarnya Perpres Nomor 65 tahun 2006 tentang Perubahan Terhadap Perpres Nomor
36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum[16].
Dalam
Perpres yang baru ini terdapat beberapa perubahan terutama mengenai materi
kepentingan umum mengalami pengurangan menjadi 7 (tujuh) item meliputi a)jalan
umum dan jalan tol, kereta api, saluran air minum/air bersih, saluran
pembuangan air dan saniatasi;b) waduk, bendungan, bendungan irigasi dan
bangunan pengairan lainnya;c)pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan
terminal;d)fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya
banjir, lahar danlain-lain bencana;e) tempat pembuangan sampah;f) cagar alam
dan cagar budaya dan g) pembangkit,transmisi, distribusi tenaga listrik.
Mekanismenya
pun mengalami perubahan yakni terdapat unsur Lembaga Penilai Independen yang
dalam Perpres Nomor 36 tahun 2005 dapat menetapkan harga namun dalam revisinya
lembaga Independen hanya melakukan penilaian dasar ganti rugi sedangkan
penetapan besarnya ganti rugi ditetapkan oleh Panitia pengadaan Tanah.
Komposisi Panitia Pengadaan Tanah juga mengalami perubahan dengan masuknya
unsur Badan Pertanahan Nasional dalam keanggotaan Panitia Pengadan Tanah.
Data
yang diperoleh dari PSH-PTIP BPN Pusat tahun 2006 menunjukkan
sengketa/permasalahan pertanahan yang berkaitan dengan Pengadaan Tanah bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum menempati urutan ke lima sebesar
2,51 % (dari total permasalahan pertanahan diseluruh Indonesia tahun
2000-2005), setelah sengketa penguasaan/pemilikan tanah sebesar 38,79 %,
sengketa pelaksanaan putusan Pengadilan sebesar 24,87 %, sengketa
pengukuran/pendaftaran tanah sebesar 18,57 % sengketa pemberian hak sebesar 10,92
dan urutan ke-enam atau terakhir adalah sengketa reclaiming ulayat sebesar 1,89
%.
Walaupun
secara kuantitas sengketa /permasalahan pengadaan tanah cukup rendah, namun
karena menyangkut atau bersinggungan dengan hak azasi manusia maka permasalahan
pengadaan tanah mendapat sorotan yang cukup tajam dari berbagai elemen
masyarakat[17].
Lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) No 36/2005 sebagai akibat banyaknya
proyek infrastruktur yang tidak terselesaikan karena ulah spekulan dan sebagian
kecil masyarakat yang nakal. Padahal, pemerintah sudah berketetapan mempercepat
pembangunan, yang memprioritaskan infrastruktur, supaya berdampak ikutan bagi
kegiatan ekonomi.
Sebagai
contoh adalah proyek banjir kanal timur yang tak kunjung selesai akibat
pembebasan tanah yang tertunda berlarut-larut. Akibatnya, setiap tahun warga
Jakarta Timur terkena banjir. Demikian pula proyek jalan tol yang di banyak
ruas terhenti karena pembebasan lahan. Uang yang telanjur dikeluarkan untuk
proyek tol itu sedemikian besar sehingga berdampak pada hambatan kegiatan
perekonomian secara menyeluruh. Mencermati fenomena permasalahan pengadaan
tanah yang ada, kehadiran Perpres Nomor 36 tahun 2005 menurut Pengamat sosial
ekonomi Gunawan Wiradi menilai Perpres No 36/2005 ini bersifat parsial karena persoalan
mendasar adalah kondisi yang sengaja dibuat: negara tidak mampu membayar utang
luar negeri sehingga negara donor dapat menyetirnya. Salah satu bentuk kendali
negara pemberi utang adalah prinsip pengadaan infrastruktur yang menguntungkan
mereka yang membuat negara terutang terikat dan harus mengadakan pembebasan
tanah demi kepentingan negara donor.Padahal, menurut Gunawan Wiradi, dalam
keadaan sekarang seharusnya kita memprioritaskan revitalisasi pertanian dan
perkebunan dengan reformasi agrarian. Perpres No 36/2005 masih merupakan upaya
mengatasi gejala dan tidak menuntaskan inti persoalan, yakni keadilan lewat
reformasi agraria.
Berdasarkan
pengamatan Juanda Hermawan dari Pusat Kajian Kebijakan Hukum dan Ekonomi,
sampai saat ini psikologi masyarakat dan kelompoknya terlalu apriori terhadap
ketentuan baru yang mengatur kepentingan umum, padahal dalam suasana perubahan
ini kepentingan Bangsa yaitu pembangunan dan kepentingan yang lebih besar harus
diutamakan dengan tidak mengabaikan kepentingan masyarakat perseorangan[18].
Oleh karena itu menurutnya, Pemerintah perlu menetralisir dan dan memberikan
penjelasan yang utuh terhadap masyarakat yang masih apriori dan traumatis atas
bayang-bayang masa lalu (orde baru) yang menimbulkan prasangka dan kekecewaan
publik berulang kembali sebaiknya disamping sosialisasi secara gencar juga
perlu dilaksanakan konsultasi publik.
Di
tingkat provinsi, seperti DKI Jakarta, upaya tersebut sudah dijalankan. Upaya
sosialisasi sering dilakukan Dinas Tata Kota DKI Jakarta sejak lama. Dari situ
diharapkan masyarakat memahami bahwa Perpres No 36/2005 dan pembebasan lahan
itu ditujukan untuk pembangunan infrastruktur.
Sosialisasi
di tingkat kecamatan meliputi ekspose gambar rencana dan rangkaian kegiatan
lain. Pemerintah DKI terbuka bagi pengawasan warga, terkait dengan pembebasan
lahan yang menyangkut pajak, penilaian, proses pembebasan, serta kontrol
sosial. Transparansi terhadap keseluruhan proyek pun dikedepankan, termasuk
akses bagi media massa.
Namun,
pengamat hukum Mas Achmad Santosa mengingatkan, hulu persoalan juga harus
dilihat: akses informasi tata ruang. Masyarakat harus diberi akses seluasnya
untuk mengetahui perencanaan sebuah kawasan demi menghindari spekulasi
orang-orang yang lebih dulu tahu suatu rencana tata guna dan tata kuasa tanah.
Seperti misalnya anggota panitia pembebasan atau oknum birokrasi yang mengatur
tata ruang ada kemungkinan menutup informasi serta mencoba meraih keuntungan
pribadi dengan menjadi spekulan atau bekerja sama dengan pihak ketiga. Di hilir
belum ada ketentuan kuat mengenai status kepemilikan hak atas tanah yang selama
ini mengandalkan secarik kertas. Perlu tata guna dan tata kuasa tanah secara
menyeluruh karena undang-undang kita tidak mengakui bukti-bukti tradisional.
Perpres No 36/2005 ini, menurut Mas Achmad Santosa, sangat positivis, sangat
berdasar pada persoalan legal formal. Ini melemahkan posisi masyarakat, seperti
komunitas adat, karena hak mereka atas tanah akan terabaikan[19].
Sehingga
menurutnya seharusnya perpres ini muncul dalam satu paket dengan penataan ruang
dan Undang-Undang Pokok Agraria.
3.2
Contoh Kasus Sengketa Tanah
SLEMAN–
Selasa, 17 November 2011 Pengadilan Negeri (PN) Sleman akhirnya mengeksekusi
tanah milik Juminten di Dusun Pesanggrahan, Desa Pakembinangun,Kecamatan Pakem,
Sleman.
Sempat
terjadi ketegangan saat proses eksekusi yang melibatkan puluhan aparat
kepolisian ini, tapi tidak terjadi tindakan anarkistis. Saat proses eksekusi
tanah tersebut,PN Sleman membawa sebuah truk untuk mengangkut barang-barang
pemilik rumah serta backhoeuntuk menghancurkan rumah yang tampak baru berdiri
di atas tanah seluas 647 meter persegi. ”Kami hanya melaksanakan perintah
atasan,” kata Juru Sita PN Sleman Sumartoyo kemarin.
Lokasi
tanah yang berada di pinggir Jalan Kaliurang Km 17 ini merupakan tanah sengketa
antara Juminten dengan Susilowati Rudi Sukarno sebagai pemohon eksekusi. Kasus
hukum yang telah berjalanselamatujuh tahun ini berawal dari masalah utang
piutang yang dilakukan oleh kedua belah pihak, utang yang dimaksud disini adalah
juminten berhutang tentang pembuatan sertifikat tanah serta tidak mau mengganti
rugi uang yang sudah diberi oleh susilowati.
Klien
kami telah membeli tanah ini dan juga sebidang tanah milik Ibu Juminten lainnya
di daerah Jalan Kaliurang Km 15 seharga Rp335 juta.Total tanah ada 997 meter
persegi.Masalahnya berawal saat termohon tidak mau diajak ke notaris untuk
menandatangani akta jual beli, padahal klien kami sudah membayar lunas,” papar
Titiek Danumiharjo, kuasa hukum Susilowati Rudi Sukarno. Kasus ini sebenarnya
telah sampai tingkat kasasi, bahkan peninjauan ulang. Dari semua
tahap,Susilowati Rudi Sukarno selalu memenangkan perkara[20].
Pihak
Juminten yang tidak terima karena merasa tidak pernah menjual tanah milik
mereka, berencana menuntut balik dengan tuduhan penipuan dan pemalsuan dokumen.
”Kami merasa tertipu, surat bukti jual beli palsu,”tandas L Suparyono, anak
kelima Juminten.
3.3 Analisa Kasus
Hukum
perdata adalah ketentuan hukum materil yang mengatur hubungan antara
orang/individu yang satu dengan yang lain. Hukum perdata berisi tentang hukum
orang, hukum keluarga, hukum waris dan hukum harta kekayaan yang meliputi hukum
benda dan hukum perikatan.
Kasus
diatas termasuk kasus perdata khususnya perikatan karena telah terjadi
persetujuan antara Juminten dengan Susilowati dalam hal jual-beli tanah. Dalam
hukum perdata peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai hukum perikatan adalah
jka terjadi suatu ikatan persetujuan antara 2 pihak yang melahirkan hak dan
kewajiban diantara keduanya dalam lingkup hukum kekayaan.
Tetapi
dalam kasus diatas telah terjadi suatu sengketa tanah antara Juminten dan
Susilowati. Sengketa ini berawal dari utang piutang yang mana Juminten
berhutang tentang pembuatan sertifikat tanah serta tidak mau mengganti rugi
uang yang sudah diberi oleh Susilowati. Dalam kasus ini, Juminten dianggap
merugikan Susilowati, karena sudah dianggap menipu berupa tidak maunya Juminten
membuat akta sertifikat tanah dan dari itu pula Juminten tidak mau mengganti
dengan uang, karena Juminten beranggapan tidak pernah menjual tanah miliknya
kepada Susilowati, padahal penyimpanan atau pendaftaran tanah itu wajib demi
terlaksanakannya kepastian hukum. Sehingga Juminten dianggap ingkar janji
(wanprestasi) atau tidaak memenuhi perikatan tersebut.
Dalam
KUH Perdata pasal 1366 berbunyi “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja
untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatanya, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”. Disini jelaslah
bahwa Juminten melanggar UU tersebut.
3.4 Penyelesaian Kasus
Adapun
cara penyelesaian dari permasalahan tersebut, kepada pihak terkait dalam hal
ini pihak Juminten agar segera membayar tentang hutangnya dalam pembuatan
sertifikat tanah terhadap Susilowati dan membyar ganti rugi uang yang sudah
diberi oleh Susilowati agar permasalahn ini cepat terselesaikan. Karena dalam
permasalahan ini pihak juminten lah yang bersalah yang tercantum jelas dalam
KUH perdata 1366, dan disini pihak Juminten sudah ingkar janji dan tidak
memenuhi perjanjian bersama. Saran untuk Juminten agar segera mengembalikan
yang sudah disetujui bersama Susilowati jika ingin permasalahan ini cepet
terselesaikan.
BAB
IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Dari pembahasan yang
ada di dalam makalah ini mengenai “Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia dan
Pengaruhnya terhadap Akta-akta PPAT maupun Sertipikat Hak Atas Tanah” yaitu
bahwa sistem pendaftaran tanah di Indonesia harus sesuai dengan tata aturan
yang berlaku. Pendaftaran tanah sangat penting untuk dilakukan bagi seseorang
yang tanahnya belum didaftarkan dan belum bersertipikat. Karena apabila tidak
segera didaftarkan, maka tanah yang dimiliki belum sah dihadapan hukum.
4.2
Saran
Banyak anggapan dari
masyarakat bahwa proses pendaftaran tanah di Indonesia masih begitu rumit.
Padahal, apabila kita menaati aturan-aturan yang berlaku, maka proses tersebut
akan mudah dan berjalan dengan lancar. Untuk itu, apabila memiliki tanah yang
belum bersertipikat, maka segera mendaftarkannya di Kantor Pertanahan agar
tanah yang kita miliki sah dihadapan hukum.
[1]
http://amatarpigo.blogspot.com/2013/11/makalah-tentang-pendaftaran-tanah.html?m=1
[4] https://sinaugeomatika.wordpress.com/2011/12/30/pengadaan-tanah-bagi-pembangunan-untuk-kepentingan-umum-antara-regulasi-dan-implementasi/
[15]
http://bung-ryan.blogspot.com/2012/04/administrasi-pengadaan-tanah.html
[16]
Wayan Suandra. 1994. Hukum
Pertanahan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
1 komentar:
KENAPA keterangan footnotenya tidak lengkap????