Aku Anton

Bahagia itu sederhana

TERSENYUM Dan-Tetap BERSYUKUR Apa-Yang KITA MILIKI..!!!

HAM Pada Masa Orde Lama Dan Orde Baru

MAKALAH
HAM PADA MASA ORDE LAMA DAN ORDE BARU
PELENGKAP MATA KULIAH : HUKUM DAN HAM
DOSEN PEMBINA : DR. SUCIATI, SH., M.HUM



DI SUSUN OLEH
ANTONIUS 
NIM 120405010034

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM
FAKULTAS : HUKUM
UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG
2015


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG MASALAH
Hak asasi manusia merujuk kepada hak yang dimiliki oleh semua insan. Konsep hak asasi manusia adalah berdasarkan memiliki suatu bentuk yang sama sebagaimana yang dimiliki oleh semua insan manusia yang tidak dipengaruhi oleh asal, ras, dan warga negara. Oleh karena itu secara umum hak asasi manusia dapat diartikan sebgai hak-hak yang telah dimiliki seseorang sejak ia lahir dan merupakan pemberian Tuhan. Ruang lingkup hak asasi manusia itu sendiri adalah: hak untuk hidup, Hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain, hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama,  hak untuk mendapatkan pekerjaan.
Dalam hal proses penegakan hukum, apabila implementasi lebih berorientasi pada penghormatan terhadaphak asasi manusia maka akan lebih “menggugah” masyarakat untuk menjunjung tinggi hukum itu sendiri. Dalam hubungannya dengan hal ini, hak asasi manusia memiliki dua segi yaitu segi moral dan segi perundangan. Apabila dilihat dari segi moral, hak asasi manusia merupakan suatu tanggapan moral yang didukung oleh anggota masyarakat. Sehubungan dengan segi ini anggota masyarakat akan mengakui wujud hak tertentu yang harus dinikmati oleh setiap individu, yang dianggap sebagai sebagaian dari sifat manusia, walaupun mungkin tidak tercantum dalam undang-undang. Jadi, masyarakat pun mengakui secara moral akan eksistensi hak asasi yang dimiliki oleh setiap manusia.
Dari segi perundangan, hak asasi manusia diartikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dalam konteks nasional, tak dapat dipungkiri bahwa isi dari adat istiadat dan budaya yang ada    di Indonesia juga mengandung pengakuan terhadap hak dasar dari seorang manusia. Apabila dilihat dari konteks ini, maka sebenarnya bangsa Indonesia sudah memiliki pola dasar dalam pengakuannya terhadap hak asasi manusia. Dasar-dasar hak asasi manusia di Indonesia terletak pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.
Sedangkan pada masa orde lama dan orde baru hak asasi manusia  (HAM) banyak meyisakan pelangaran yang begitu memprihatinkan dan sungguh sangat memilukan bagi rakyat bangsa Indonesia. Pelanggaran yang  terutama dilakukan oleh pemerintah atau aparatnya, termasuk di dalam upaya penggalakan hak-hak tersebut, lemahnya penegakan hukum, banyaknya terjadi pelanggaran HAM di seluruh nusantara yang sulit di kendalikan sehingga rakyat kecilah yang tertindas dan menjadi korban.
  
1.2  RUMUSAN MASALAH
Melihat masih banyaknya kekerasan dan pelanggaran HAM pasca orde lama dan orde baru, secara subjektif kita boleh berpendapat bahwa agenda reformasi tersebut masih jauh dari cita-cita. Bahkan, dalam beberapa aspek, tidak tampak adanya perubahan yang berarti dalam kaitannya dengan penegakkan HAM. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dijabarkan pelaksanaan penegakan HAM yang terjadi pada masa Orde Lama dan pada massa Orde Baru dibandingkan dengan pelaksanaan penegakan HAM pada masa reformasi dan saat ini. Pertanyaannya adalah apakah terjadi perubahan yang berarti ke arah yang positif terhadap penegakan HAM di Indonesia?
1.3 MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dan tujuan dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum dan HAM
2.   Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai HAM di indonesia
3.    Membahas permasalahan-permasalahan yang timbul akibat pelanggaran HAM

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA
Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Disini nilai penting yang dapat kita ambil bahwa Hak Asasi Manusia berfungsi untuk melindungi jati diri seseorang serta menghargai keberadaan setiap insan manusia yang lahir dibumi ini. Pentingnya bagi setiap individu untuk mempunyai sikap toleransi terhadap setiap Hak Asasi yang dimiliki sesamanya dengan adanya sikap saling menghargai maka memperkecil terjadinya suatu konflik,peperangan,kesalahpahaman antar individu sehingga susana yang harmonis antar individu dapat tercipta.
Hal ini menjadi harapan setiap manusia yang lahir didunia ini untuk hidup bahagia dan diakui satu sama lain.Pada hakikatnya Hak Asasi Manusia terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental, ialah hak persamaan dan hak kebebasan. Kedua hak inilah yang menjadi patokan bermunculan hak-hak lainya karena menjadi kebutuhan primer setiap individu untuk dianggap sama dengan individu lainya dan setiap manusia membutuhkan kebebasan untuk bergerak serta mngekpresikan jati dirinya.
Hak-hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki manusia karena martabatnya sebagai manusia dan bukan diberikan oleh masyarakat atau negara.  Semua manusia sebagai manusia memiliki martabat dan derajat yang sama dan dengan demikian memiliki hak-hak dan kewajiban- kewajiban yang sama. Menurut Szabo tujuan hak asasi manusia adalah memepertahankan hak-hak manusia dengan sarana kelembagaan terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat Negara dan pada waktu yang bersamaan mendorong perkembangan pribadi manusia yang multidimensional. ( Szabo, dlm. Vasak, Unesco Courier, 1997, vol.1, hal 11.)
Dalam kaitannya dengan pengertian atau notion HAM dapat dibedakan antara an mordefinisi yuridis, politis, dalam deklarasi politik adalah Deklarasi umum hak-hak asasi yang diterima pada bulan Desember 1948. Tidak ada perbedaan hakiki antara UUD 1945, Ketetapan no.II/MPR/1978 disatu pihak dan Deklarasi Universal HAM, yang ditetapkan oleh PBB. Namun, secara de facto para pendiri bangsa ( Founding Father) yang merumuskan UUD 1945 tidak mau memasukkan apa yang termuat dalam Deklarasi Universal karena apa yang termuat didalamnya dirasa tidak sesuai dengan watak ideologi bangsa Indonesia.
HAM sebagaimana yang dipahami didalam dokumen-dokumen hak asasi manusia yang muncul pada abad ke-20 seperti Deklarasi Universal, mempunyai sejumlah cirri menonjol. Pertama, supaya kita tidak kehilangan gagasan yang sudah tegas sebagai hak. Kedua, hak-hak ini dianggap universal, yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Salah satu ciri khusus dari hak asasi manusia yang berlaku sekarang adalah   bahwa hak itu merupakan hak internasional. Ketiga, hak asasi manusia dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya didalam system adat atau system hukum dinegara-negara tertentu. Keempat, hak asasi manusia dipandang norma-norma yang penting, dimana dalam deklarasi itu adalah sesuatu yang oleh para filsuf disebut sebagai prima facie right. Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah.
Secara eksplisit hak-hak asasi dalam UUD 1945 itu sebagai hak-hak warga Negara dalam pasal-pasal 27, 28, 29, 30, 31, 33, dan tentu  saja dalam Pembukaan UUD 1945. Di masa orde baru, semangat dan jiwa yang bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara  murni dan konsekuen mendorong pengurus MPRS  untuk mengadakan langkah-langkah guna membenahi dan menanggulangi pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM yang dilakukan oleh G 30 S/PKI.
Hak-hak warga Negara di Indonesia diakui dan dijunjung tinggi tetapi dalam kerangka solidaritas Indonesia, dalam konteks gotong royong. Masalah-masalah yang tumbuh berkisar HAM di Indonesia cukup kompleks, baik secara teoritis maupun yuridis terdapat tiga macam pandangan:
1.      Kelompok yang pertama berpendirian : Indonesia dengan ideology Pancasila menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan, dan peradaban. Kecuali itu UUD 1945 secara eksplisit menjamin sejumlah hak fundamental untk para warga Negara.
2.      Kelompok yang kedua : Menentang HAM, sebab menurut mereka HAM menyusahkan penyelenggara pemerintahan yang beriktikad baik.
3.      Kelompok yang ketiga: Mempertahankan HAM, mereka menunjukkan adanya fakta yang membuktikan adanya pelanggaran terhadap HAM. Mereka berusaha menyadarkan rakyat akan hak-hak fundamental mereka.

Menurut Prof. Padmo Wiyono suatu hak kemanusiaan sebenarnyja baru menjadi permasalahan apabila seseorang berada dalam lingkungan manusia lainnya. Rumusan hak-hak manusia dikaitkan dengan hasrat bangsa Indonesia untuk membangun Negara yang bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan kemanusiaan. HAM oleh suatu Negara diakui secara hukum dapat dirumuskan dan dibagi menjadi dua kategori:
1.      Hak-hak yang hanya dimiliki oleh para warga Negara dari Negara yang bersangkutan ( hak-hak warga Negara).
2.      Hak- hak yang pada dasarnya dimiliki semua yang berdomisili di Negara yang bersangkutan.

2.2  HAK ASASI MANUSIA PADA MASA ORDE LAMA
Periode 1950 – 1959 (Masa Orde lama)
Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan tum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini menapatkan momen “ pasang” dan menikmati “ bulan madu “ kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai – partai politik dengan beragam ideologinya masing – masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul – betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan. Pada masa pemerintahan ini hanya satu konvernsi ham yang di rativikasikan yaitu Hak politik wanita.
       2.3 BERBAGAI PENYIMPANGAN PADA MASA ORDE LAMA (1959-1965)
Pada masa Orde Lama lembaga-lembaga negara MPR, DPR, DPA dan BPK masih dalam bentuk sementara, belum berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945.
Beberapa penyimpangan yang terjadi pada masa Orde Lama, antara lain:
a.       Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif (bersama DPR) telah mengeluarkan ketentuan perundangan yang tidak ada dalam UUD 1945 dalam bentuk penetapan presiden tanpa persetujuan DPR.
b.      Melalui Ketetapan No. I/MPRS/1960, MPR menetapkan pidato presiden 17 Agustus 1959 berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” (Manifesto Politik Republik Indonesia) sebagai GBHN bersifat tetap. Hal ini tidak sesuai dengan UUD 1945.
c.       MPRS mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945, karena DPR menolak APBN yang diajukan oleh presiden. Kemudian presiden membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR), yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
d.      Presiden membubarkan DPR hasil pemilu 1955, karena DPR menolak APBN yang diajukan oleh presiden. Kemudian presiden membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR), yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
e.       Pimpinan lembaga-lembaga negara dijadikan menteri-menteri negara, termasuk pimpinan MPR kedudukannya sederajat dengan menteri. Sedangkan presiden menjadi anggota DPA.
f.       Demokrasi yang berkembang adalah demokrasi terpimpin.
g.      Berubahnya arah politik luar negeri dari bebas dan aktif menjadi politik yang memihak salah satu blok.

Beberapa penyimpangan tersebut mengakibatkan tidak berjalannya sistem sebagaimana UUD 1945, memburuknya keadaan politik, keamanan dan ekonomi sehingga mencapai puncaknya pada pemberontakan G-30-S/PKI. Pemberontakan ini dapat digagalkan oleh kekuatan-kekuatan yang melahirkan pemerintahan Orde Baru.

Penyimpangan pada masa Orde Lama dalam hal konstitusi  Orde lama (Periode 5 Juli 1953–11 Maret 1966)
Adanya penyimpangan ideologis, yaitu penerapan konsep Nasionalis, Agama dan Komunis (Nasakom) Pemusatan kekuasaan pada presiden sehingga kewenangannya melebihi ketentuan yang diatur UUD 1945. Misalnya, pembentukan Penetapan Presiden (Penpres) yang setingkat dengan Undang-undang. MPRS mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Presiden membubarkan DPR hasil pemilu tahun 1955 dan membentuk DPR-GR tanpa melalui pemilu. Adanya jabatan rangkap yaitu Pimpinan MPRS dan DPR dijadikan menteri negara, sehingga berkedudukan sebagai pembantu presiden. Negara Indonesia masuk dalam salah satu poros kekuasaan dunia yaitu poros Moskwa-Peking sehingga bertentangan dengan politik bebas aktif.

2.4 CONTOH KASUS PELANGGARAN HAM PADA MASA ORDE LAMA   (PEMBANTAIAN KOMUNIS)
Pembantaian 1965-1966, yang menjadi korban adalah orang-orang yang menjadi bagian dari PKI serta orang-orang yang dituduh sebagai  komunis. Meski banyak spekulasi menyebut, si anu dan si anu, namun dalang di balik pembantaian massal itu hingga kini masih belum dirilis secara resmi. Pembantaian di Indonesia 1965–1966 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia pada masa setelah terjadinya Gerakan 30 September di Indonesia. Diperkirakan lebih dari setengah juta orang dibantai dan lebih dari satu juta orang dipenjara dalam peristiwa tersebut. Pembersihan ini merupakan peristiwa penting dalam masa transisi ke Orde Baru: Partai Komunis Indonesia (PKI) dihancurkan, pergolakan mengakibatkan jatuhnya presiden Soekarno, dan kekuasaan selanjutnya diserahkan kepada Soeharto. Kudeta yang gagal menimbulkan kebencian terhadap komunis karena kesalahan dituduhkan kepada PKI.
Komunisme dibersihkan dari kehidupan politik, sosial, dan militer, dan PKI dinyatakan sebagai partai terlarang. Pembantaian dimulai pada Oktober 1965 dan memuncak selama sisa tahun sebelum akhirnya mereda pada awal tahun 1966. Pembersihan dimulai dari ibu kota Jakarta, yang kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Timur, lalu Bali. Ribuan vigilante (orang yang menegakkan hukum dengan caranya sendiri) dan tentara angkatan darat menangkap dan membunuh orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI. Meskipun pembantaian terjadi di seluruh Indonesia, namun pembantaian terburuk terjadi di benteng-benteng PKI di Jawa Tengah, Timur, Bali, dan Sumatera Utara.
Pembantaian ini hampir tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah Indonesia, dan hanya memperoleh sedikit perhatian dari orang Indonesia maupun warga internasional. Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia. Kadernya berjumlah sekitar 300.000, sementara anggotanya diperkirakan sebanyak dua juta orang. Selain itu PKI juga mengatur serikat-serikat buruh. Dukungan terhadap kepresidenan Soekarno bergantung pada koalisi “Nasakom” antara militer, kelompok agama, dan komunis. Perkembangan pengaruh dan kemilitanan PKI, serta dukungan Soekarno terhadap partai tersebut, menumbuhkan kekhawatiran pada kelompok Muslim dan militer. Ketegangan mulai menyelimuti perpolitikan Indonesia pada awal dan pertengahan tahun 1960-an.  Upaya PKI untuk mempercepat reformasi tanah menggusarkan tuan-tuan tanah dan mengancam posisi sosial para kyai.
Pada sore tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965, enam jenderal dibunuh oleh kelompok yang menyebut diri mereka Gerakan 30 September. Maka pemimpin-pemimpin utama militer Indonesia tewas atau hilang, sehingga Soeharto mengambil alih kekuasaan angkatan bersenjata. Pada 2 Oktober, Soeharto mengendalikan ibu kota dan mengumumkan bahwa upaya kudeta telah gagal. Angkatan bersenjata menuduh PKI sebagai dalang peristiwa tersebut. Pada tanggal 5 Oktober, jenderal-jenderal yang tewas dimakamkan. Propaganda militer mulai disebarkan, dan menyerukan pembersihan di seluruh negeri. Propaganda ini berhasil meyakinkan orang-orang Indonesia dan pemerhati internasional bahwa dalang dari semua peristiwa ini adalah PKI. Penyangkalan PKI sama sekali tidak berpengaruh. Maka ketegangan dan kebencian yang terpendam selama bertahun-tahun pun meledak. Pemimpin-pemimpin militer yang diduga sebagai simpatisan PKI dicabut jabatannya. Majelis Permusyawaratan Rakyat dan kabinet dibersihkan dari pendukung-pendukung Soekarno.
Pemimpin-pemimpin PKI segera ditangkap, bahkan beberapa dihukum mati. Petinggi angkatan bersenjata menyelenggarakan demonstrasi di Jakarta. Pada 8 Oktober, markas PKI Jakarta dibakar. Pembersihan dimulai pada Oktober 1965 di Jakarta, yang selanjutnya menyebar ke Jawa Tengah dan Timur, dan Bali. Pembantaian dalam skala kecil dilancarkan di sebagian daerah di pulau-pulau lainnya, terutama Sumatra. Pembantaian terburuk meletus di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Korban jiwa juga dilaporkan berjatuhan di Sumatra Utara dan Bali. Petinggi-petinggi PKI diburu dan ditangkap: petinggi PKI, Njoto, ditembak pada  6 November, ketua PKI Dipa Nusantara Aidit pada 22 November, dan Wakil Ketua PKI M.H.Lukman segera sesudahnya. Kebencian terhadap komunis dikobarkan oleh angkatan darat, sehingga banyak penduduk Indonesia yang ikut serta dalam pembantaian ini. Peran angkatan darat dalam peristiwa ini tidak pernah diterangkan secara jelas. Di beberapa tempat, angkatan bersenjata melatih dan menyediakan senjata kepada milisi-milisi lokal. Di tempat lain, para vigilante mendahului angkatan bersenjata, meskipun pada umumnya pembantaian tidak berlangsung sebelum tentara mengenakan sanksi kekerasan. Beberapa cabang PKI melancarkan perlawanan dan pembunuhan balasan, tetapi sebagian besar sama sekali tidak mampu melawan. Tidak semua korban merupakan anggota PKI. Seringkali cap “PKI” diterapkan pada tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) yang beraliran kiri. Dalam kasus-kasus lainnya, para korban merupakan orang-orang yang hanya dituduh atau diduga komunis. Warga keturunan Tionghoa juga turut menjadi korban. Beberapa dari mereka dibunuh, dan harta benda mereka dijarah. Di Kalimantan Barat, sekitar delapan belas bulan setelah pembantaian di Jawa, orang-orang Dayak mengusir 45.000 warga keturunan Tionghoa dari wilayah pedesaan. Ratusan hingga ribuan di antara mereka tewas dibantai. Metode pembantaian meliputi penembakan atau pemenggalan dengan menggunakan pedang samurai Jepang. Mayat-mayat dilempar ke sungai, hingga pejabat-pejabat mengeluh karena sungai yang mengalir ke Surabaya tersumbat oleh jenazah. Di wilayah seperti Kediri, Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama menyuruh orang-orang komunis berbaris. Mereka lalu menggorok leher orang-orang tersebut, lalu jenazah korban dibuang ke sungai.
Pembantaian ini mengosongkan beberapa bagian desa, dan rumah-rumah korban dijarah atau diserahkan ke angkatan bersenjata. Pembantaian telah mereda pada Maret 1966, meskipun beberapa pembersihan kecil masih berlangsung hingga tahun 1969. Penduduk Solo menyatakan bahwa meluapnya sungai Bengawan Solo yang tidak biasa pada Maret 1966 menandai berakhirnya pembantaian. Di Jawa, banyak pembunuhan dilakukan oleh simpatisan aliran. Militer mendorong para santri Jawa untuk mencari anggota PKI di antara orang-orang abangan Jawa. Pembunuhan meluas sampai pada orang-orang yang bukan anggota PKI. Di Jawa, contohnya, banyak orang yang  dianggap “PNI kiri” dibunuh.
Yang lainnya hanya dituduh atau merupakan korban fitnah dengan sedikit atau tanpa motif politik. Pada pertengahan Oktober, Soeharto mengirim sejumlah pasukan komando kepercayaannya ke Jawa tengah, daerah yang memiliki banyak orang komunis, sedangkan pasukan yang kesetiaannya tak jelas diperintahkan pergi dari sana. Pembantaian terhadap orang komunis kemudian dilakukan oleh para pemuda, dengan dipandu oleh angkatan bersenjata, memburu orang-orang komunis. Konflik yang pernah pecah pada tahun 1963 antara partai Muslim Nahdlatul Ulama (NU) dan PKI berubah menjadi pembantaian pada minggu kedua Oktober.
Kelompok Muslim Muhammadiyah menyatakan pada awal November 1965 bahwa pembasmian “Gestapu/PKI” merupakan suatu Perang Suci. Pandangan tersebut didukung oleh kelompok-kelompok Islam lainnya di Jawa dan Sumatra. Bagi banyak pemuda, membunuh orang komunis merupakan suatu tugas keagamaan. Di tempat-tempat adanya pusat komunis di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kelompok-kelompok Muslim menganggap bahwa mereka adalah korban serangan komunis supaya mereka memperoleh pembenaran atas pembantaian yang mereka lakukan. Mereka biasanya mengungkit-ungkit Peristiwa Madiun pada tahun 1948. Para pelajar Katolik di daerah Yogyakarta meninggalkan asrama mereka pada malam hari untuk ikut membunuh orang-orang komunis yang tertangkap. Untuk sebagian besar daerah, pembantaian mereda pada bulan-bulan awal tahun 1966, namun di daerah-daerah tertentu di Jawa Timur pembantaian berlangsung sampai bertahun-tahun.
Tidak banyak yang tahu mengenai pembantaiannya dan jumlah pasti korban meninggal hampir tak diketahui pasti. Hanya ada sedikit wartawan dan akademisi Barat di Indonesia pada saat itu. Angkatan bersenjata merupakan satu dari sedikit sumber informasi, sementara rezim yang melakukan pembantaian berkuasa sampai tiga dasawarsa. Dalam waktu 20 tahun pertama setelah pembantaian, muncul tiga puluh sembilan perkiraan serius mengenai jumlah korban. Sebelum pembantaian selesai, angkatan bersenjata memperkirakan sekitar 78.500 telah meninggal sedangkan menurut orang-orang komunis yang trauma, perkiraan awalnya mencapai 2 juta korban jiwa. Di kemudian hari, angkatan bersenjata memperkirakan jumlah yang dibantai dapat mencapai sekitar 1 juta orang.
Pada 1966, Benedict Anderson memperkirakan jumlah korban meninggal sekitar 200.000 orang dan pada 1985 mengajukan perkiraan mulai dari 500,000 sampai 1 juta orang. Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang dibantai, lebih banyak dari peristiwa manapun dalam sejarah Indonesia.[38] Suatu komando keamanan angkatan bersenjata memperkirakan antara 450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai. Para korban dibunuh dengan cara ditembak, dipenggal, dicekik, atau digorok oleh angkatan bersenjata dan kelompok Islam. Pembantaian dilakukan dengan cara “tatap muka”, tidak seperti proses pembantaian massal oleh Khmer Merah di Kamboja atau oleh Jerman Nazi di Eropa

2.5  HAK ASASI MANUSIA PADA MASA ORDE BARU
Pelanggaran HAM pada Orde Baru
Harus diakui pada masa Orde Baru dari segi pembangunan fisik memang ada dan keamanan terkendali, tetapi pada masa Orde Baru demokrasi tidak ada, kalangan intelektual dibelenggu, pers di daerah di bungkam, KKN dan pelanggaran HAM terjadi di mana-mana . Secara garis besar ada lima keburukan Orde Baru, yaitu: kekuasaan pemerintah yang absolut, rendahnya transparansi pengelolaan negara, lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat, hukum yang diskriminatif, dan dan lemahnya perlindungan HAM.
a.       kekuasaan pemerintah yang absolute
Suharto, presiden Republik Indonesia ke-2, menduduki tahta kepresidenan Indonesia selama 32 tahun. Itu berarti, Suharto telah memenangkan sekitar enam  kali pemilihan umum (Pemilu). Pada waktu itu, kekuasaan Suharto didukung oleh partai Golongan Karya yang dibayang-bayangi oleh Partai Demokasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan. Tampak jelas dalam pemerintahan Suharto di mana pemerintahan dijalankan secara absolut. Presiden Suharto mengkondisikan kehidupan politik yang sentralistik untuk melanggengkan kekuasaan. Salah satu hak sebagai warga negara untuk mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan menjadi hak yang sulit didapatkan tanpa melakukan kolusi dan nepotisme.
b.      rendahnya transparansi pengelolaan
Rendahnya transparansi pengelolaan negara juga menjadi salah satu keburukan pemerintahan Orde Baru. Transparansi merupakan bentuk kredibilitas dan akuntabilitasnya. Suatu undang-undang tidak mengikat jika tidak diundangkan melalui lembaran negara. Suatu sidang pengadilan dianggap tidak sah apabila tidak dibuka untuk umum. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga peneliti yang menyangkut kepentingan masyarakat harus dipublikasikan. Pada masa Orde Baru, hak penyiaran dikekang. Berita-berita televisi dan surat kabar tidak boleh membicarakan keburukan-keburukan pemerintahan, kritik terhadap pemerintah, dan berita-berita yang dapat mengganggu stabilitas dan keamanan nasional.
Keuangan negara juga menjadi rahasia internal pemerintahan. Hutang negara menjadi terbuka jelas pun saat krisis dunia melanda. Indonesia tidak mampu membayar hutang luar negeri yang bertumpuk-tumpuk. Lebih dari itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang menurun tajam memaksa perusahaan-perusahaan memecat sebagian karyawannya untuk mengurangi biaya produksi. Bahkan, banyak perusahaan tumbang dan gulung tikar karena negara tidak mampu membayar hutang luar negeri. Bila dirunut lebih dalam, semua itu berakar dari rendahnya transparasi pemerintah terhadap masyarakat.
c.       Lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat
Lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat menjadi salah satu keburukan Orde Baru. Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi semacam boneka yang dikendalikan oleh pemimpin negara. Dalam hal ini, aspirasi-aspirasi dan keinginan rakyat tidak mampu diwujudkan oleh pemerintah. Program-program pemerintah seperti LKMD, Inpres desa tertinggal, dan seterusnya, menjadi semacam program penjinakan yang dilakukan oleh penguasa agar rakyat miskin tidak berteriak menuntut hak-hak mereka.
d.      Hukum yang diskriminatif
Hukum yang diskriminatif menjadi keburukan Orde Baru selanjutnya. Hukum hanya berlaku bagi masyarakat biasa atau masyarakat menengah ke bawah. Pejabat dan kelas atas menjadi golongan yang kebal hukum. Hak masyarakat untuk mendapatkan perlakukan yang sama di depan hukum menjadi hal yang sangat langka. Hak asasi sosial dilanggar oleh pemerintah.
Beberapa kekurangan sistem orde baru dapat dirangkum dengan enam poin, yaitu:
1.      semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme,
2.      pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat,
3.      munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua,
4.      kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya,
5.      bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin),
6.      kritik dibungkam dan oposisi diharamkan,
7.      kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel,
8.      penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program “Penembakan Misterius” (petrus), dan
9.      tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya) perlindungan HAM dalam Orde Baru memang di rasa masih lemah, berita mengenai penembakan misterius terhadap musuh-musuh Negara termasuk teroris, menjadi catatan hitam Orde Baru. Diskriminasi terhadap hak-hak asasi kaum minoritas dan Chinese pun menjadi pelanggaran HAM yang tidak bisa dilupakan. Meski demikian, Orde Baru memperlihatkan peran yang besar untuk menjaga stabilitas nasional. Stabilitas nasional ini memungkinkan negara untuk menjaga terlaksananya pelaksanaan perlindungan HAM bagi masyarakat.

2.6 CONTOH KASUS TRAGEDI TRISAKTI PENEMBAKAN TERHADAP MAHASISWA
Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis nansial Asia sepanjang 1997-1999. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.  Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti  menuju Gedung Nusantara pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.
Akhirnya, pada pukul 17.15, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan.  Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung diuniversitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras. Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodamseta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Styer, dan SS 1.Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam. Hasil sementara diprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah peluru tajam untuk tembakan peringatan.

BAB III
PENUTUP
3.1  KESIMPULAN
Melihat seluruh kenyataan yang ada penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa HAM di Indonesia sangat memprihatinkan dan masih sangat minim penegakannya. Sekalipun terjadi perubahan ketika bangsa Indonesia memasuki masa reformasi, tetapi toh tidak banyak perubahan yang terjadi secara signifikan. Banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti : Telah terjadi krisis moral di Indonesia, Aparat hukum yang berlaku sewenang-wenang, Kurang adanya penegakan hukum yang benar, dan masih banyak sebab-sebab yang lain.
Maka untuk dapat menegakkan HAM di Indonesia perlu :
1.      Kesadaran rasa kemanusiaan yang tinggi,
2.      Aparat hukum yang bersih, dan tidak sewenang-wenang,
3.      Sanksi yang tegas bagi para pelanggara HAM, dan
4.      Penanaman nilai-ilai keagamaan pada masyarakat.

3.2 SARAN
Penegakan HAM di Indonesia tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah tetapi juga tanggungjawab semua umat manusia. Hak Asasi Manusia merupakan hak kodrati manusia. Melanggar dan menciderai HAM berarti juga menciderai kasih dan kebaikan Allah bagi umat manusia.
Download disini Materi Powerpoint

DAFTAR PUTAKA
Adnan Buyung Nasution, 2006, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Bindar Gultom, 2010, Pelanggaran HAM dalam Hukum Keadaan Darurat di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fadli Zon, 2009, Setelah politik bukan panglima sastra: polemik hadiah Magsaysay bagi Pramoedya Ananta Toer, Jakarta: Institute for Policy Studies.
Lalu Misbah Hidayat, 2007, Reformasi Administrasi: Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden : Bacharuddin Jusuf Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia, Tap MPR No.XVII/MPR/1998.
Muljono, Pudji (ed.), 2003, Hak Asasi Manusia (Suatu Tunjauan Teoritis dan aplikasi), Jakarta: Restu Agung.
Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (Indonesia), 2003, Krisis masa kini dan Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Saraswati, L. G. dan Rocky Gerung, Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum, Kasus, 2006, Jakarta: Filsafat-UI Press.
Sofian Munawar Asgart, 2011, Kemiskinan, Pemiskinan, dan Demokratisasi, KOMPAS.com, 6 Juni 2011, diakses pada 9 Desember 2011 pukul 17.42.
Todung Mulya Lubis, 2005, Jalan panjang hak asasi manusia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, 1999, Fakta tragedi Semanggi: analisis hukum, sosial-politik, moral, Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
purnamiap.blogspot.com
chandrawagis.blogspot.com
owenhadinata.blogspot.com
brainly.co.id/tugas
abang-sahar.blogspot.com
ithum.wordpress.com
wiliamz.wordpress.com
www.academia.edu

Materi Terkait Download di sini Hukum Dan Hak Asasi Manusia

Information

Print Logo

Copyright © 2013 ANTONIUS, SH by Anto Kolarov!.