MAKALAH
HAM PADA MASA ORDE LAMA DAN ORDE
BARU
PELENGKAP MATA KULIAH : HUKUM DAN
HAM
DOSEN PEMBINA : DR. SUCIATI, SH.,
M.HUM
DI SUSUN OLEH
ANTONIUS
NIM 120405010034
PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM
FAKULTAS : HUKUM
UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Hak asasi manusia merujuk kepada hak
yang dimiliki oleh semua insan. Konsep hak asasi manusia adalah berdasarkan
memiliki suatu bentuk yang sama sebagaimana yang dimiliki oleh semua insan
manusia yang tidak dipengaruhi oleh asal, ras, dan warga negara. Oleh karena
itu secara umum hak asasi manusia dapat diartikan sebgai hak-hak yang telah
dimiliki seseorang sejak ia lahir dan merupakan pemberian Tuhan. Ruang lingkup
hak asasi manusia itu sendiri adalah: hak untuk hidup, Hak untuk memperoleh
pendidikan, hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain, hak untuk
mendapatkan perlakuan yang sama, hak
untuk mendapatkan pekerjaan.
Dalam
hal proses penegakan hukum, apabila implementasi lebih berorientasi pada
penghormatan terhadaphak asasi manusia maka akan lebih “menggugah” masyarakat
untuk menjunjung tinggi hukum itu sendiri. Dalam hubungannya dengan hal ini,
hak asasi manusia memiliki dua segi yaitu segi moral dan segi perundangan.
Apabila dilihat dari segi moral, hak asasi manusia merupakan suatu tanggapan
moral yang didukung oleh anggota masyarakat. Sehubungan dengan segi ini anggota
masyarakat akan mengakui wujud hak tertentu yang harus dinikmati oleh setiap
individu, yang dianggap sebagai sebagaian dari sifat manusia, walaupun mungkin
tidak tercantum dalam undang-undang. Jadi, masyarakat pun mengakui secara moral
akan eksistensi hak asasi yang dimiliki oleh setiap manusia.
Dari
segi perundangan, hak asasi manusia diartikan sebagai seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dalam konteks nasional, tak
dapat dipungkiri bahwa isi dari adat istiadat dan budaya yang ada di Indonesia juga mengandung pengakuan
terhadap hak dasar dari seorang manusia. Apabila dilihat dari konteks ini, maka
sebenarnya bangsa Indonesia sudah memiliki pola dasar dalam pengakuannya
terhadap hak asasi manusia. Dasar-dasar hak asasi manusia di Indonesia terletak
pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31
ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.
Sedangkan
pada masa orde lama dan orde baru hak asasi manusia (HAM) banyak meyisakan pelangaran yang begitu
memprihatinkan dan sungguh sangat memilukan bagi rakyat bangsa Indonesia.
Pelanggaran yang terutama dilakukan oleh
pemerintah atau aparatnya, termasuk di dalam upaya penggalakan hak-hak
tersebut, lemahnya penegakan hukum, banyaknya terjadi pelanggaran HAM di
seluruh nusantara yang sulit di kendalikan sehingga rakyat kecilah yang
tertindas dan menjadi korban.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
Melihat masih banyaknya kekerasan
dan pelanggaran HAM pasca orde lama dan orde baru, secara subjektif kita boleh
berpendapat bahwa agenda reformasi tersebut masih jauh dari cita-cita. Bahkan,
dalam beberapa aspek, tidak tampak adanya perubahan yang berarti dalam
kaitannya dengan penegakkan HAM. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan
dijabarkan pelaksanaan penegakan HAM yang terjadi pada masa Orde Lama dan pada
massa Orde Baru dibandingkan dengan pelaksanaan penegakan HAM pada masa reformasi
dan saat ini. Pertanyaannya adalah apakah terjadi perubahan yang berarti ke
arah yang positif terhadap penegakan HAM di Indonesia?
1.3 MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud
dan tujuan dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Hukum dan HAM
2. Meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman mengenai HAM di indonesia
3. Membahas
permasalahan-permasalahan yang timbul akibat pelanggaran HAM
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA
Hak
Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal
dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun.
Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi
manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain
sebagainya.
Disini
nilai penting yang dapat kita ambil bahwa Hak Asasi Manusia berfungsi untuk
melindungi jati diri seseorang serta menghargai keberadaan setiap insan manusia
yang lahir dibumi ini. Pentingnya bagi setiap individu untuk mempunyai sikap
toleransi terhadap setiap Hak Asasi yang dimiliki sesamanya dengan adanya sikap
saling menghargai maka memperkecil terjadinya suatu
konflik,peperangan,kesalahpahaman antar individu sehingga susana yang harmonis
antar individu dapat tercipta.
Hal
ini menjadi harapan setiap manusia yang lahir didunia ini untuk hidup bahagia
dan diakui satu sama lain.Pada hakikatnya Hak Asasi Manusia terdiri atas dua
hak dasar yang paling fundamental, ialah hak persamaan dan hak kebebasan. Kedua
hak inilah yang menjadi patokan bermunculan hak-hak lainya karena menjadi
kebutuhan primer setiap individu untuk dianggap sama dengan individu lainya dan
setiap manusia membutuhkan kebebasan untuk bergerak serta mngekpresikan jati
dirinya.
Hak-hak asasi manusia merupakan
hak yang dimiliki manusia karena martabatnya sebagai manusia dan bukan
diberikan oleh masyarakat atau negara. Semua manusia sebagai manusia
memiliki martabat dan derajat yang sama dan dengan demikian memiliki hak-hak
dan kewajiban- kewajiban yang sama. Menurut Szabo tujuan hak asasi manusia
adalah memepertahankan hak-hak manusia dengan sarana kelembagaan terhadap
penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat Negara dan pada waktu yang
bersamaan mendorong perkembangan pribadi manusia yang multidimensional. (
Szabo, dlm. Vasak, Unesco Courier, 1997, vol.1, hal 11.)
Dalam kaitannya dengan
pengertian atau notion HAM dapat dibedakan antara an mordefinisi yuridis,
politis, dalam deklarasi politik adalah Deklarasi umum hak-hak asasi yang
diterima pada bulan Desember 1948. Tidak ada perbedaan hakiki antara UUD 1945,
Ketetapan no.II/MPR/1978 disatu pihak dan Deklarasi Universal HAM, yang
ditetapkan oleh PBB. Namun, secara de facto para pendiri bangsa ( Founding
Father) yang merumuskan UUD 1945 tidak mau memasukkan apa yang termuat dalam
Deklarasi Universal karena apa yang termuat didalamnya dirasa tidak sesuai
dengan watak ideologi bangsa Indonesia.
HAM sebagaimana yang
dipahami didalam dokumen-dokumen hak asasi manusia yang muncul pada abad ke-20
seperti Deklarasi Universal, mempunyai sejumlah cirri menonjol. Pertama, supaya
kita tidak kehilangan gagasan yang sudah tegas sebagai hak. Kedua, hak-hak ini
dianggap universal, yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah
manusia. Salah satu ciri khusus dari hak asasi manusia yang berlaku sekarang
adalah bahwa hak itu merupakan hak internasional. Ketiga, hak asasi
manusia dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung pada pengakuan dan
penerapannya didalam system adat atau system hukum dinegara-negara tertentu.
Keempat, hak asasi manusia dipandang norma-norma yang penting, dimana dalam
deklarasi itu adalah sesuatu yang oleh para filsuf disebut sebagai prima facie
right. Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun
pemerintah.
Secara eksplisit hak-hak
asasi dalam UUD 1945 itu sebagai hak-hak warga Negara dalam pasal-pasal 27, 28,
29, 30, 31, 33, dan tentu saja dalam Pembukaan UUD 1945. Di masa orde
baru, semangat dan jiwa yang bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen mendorong pengurus MPRS untuk mengadakan
langkah-langkah guna membenahi dan menanggulangi pelanggaran-pelanggaran
terhadap HAM yang dilakukan oleh G 30 S/PKI.
Hak-hak warga Negara di
Indonesia diakui dan dijunjung tinggi tetapi dalam kerangka solidaritas
Indonesia, dalam konteks gotong royong. Masalah-masalah yang tumbuh berkisar
HAM di Indonesia cukup kompleks, baik secara teoritis maupun yuridis terdapat
tiga macam pandangan:
1.
Kelompok yang pertama berpendirian : Indonesia dengan ideology
Pancasila menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan, dan peradaban. Kecuali itu
UUD 1945 secara eksplisit menjamin sejumlah hak fundamental untk para warga
Negara.
2.
Kelompok yang kedua : Menentang HAM, sebab menurut mereka HAM
menyusahkan penyelenggara pemerintahan yang beriktikad baik.
3.
Kelompok yang ketiga: Mempertahankan HAM, mereka menunjukkan
adanya fakta yang membuktikan adanya pelanggaran terhadap HAM. Mereka berusaha menyadarkan
rakyat akan hak-hak fundamental mereka.
Menurut Prof. Padmo Wiyono suatu hak kemanusiaan
sebenarnyja baru menjadi permasalahan apabila seseorang berada dalam lingkungan
manusia lainnya. Rumusan hak-hak manusia dikaitkan dengan hasrat bangsa Indonesia
untuk membangun Negara yang bersifat demokratis dan yang hendak
menyelenggarakan keadilan sosial dan kemanusiaan. HAM oleh suatu Negara diakui
secara hukum dapat dirumuskan dan dibagi menjadi dua kategori:
1. Hak-hak yang hanya
dimiliki oleh para warga Negara dari Negara yang bersangkutan ( hak-hak warga
Negara).
2. Hak- hak yang pada
dasarnya dimiliki semua yang berdomisili di Negara yang bersangkutan.
2.2 HAK ASASI MANUSIA PADA MASA ORDE LAMA
Periode
1950 – 1959 (Masa Orde lama)
Periode
1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan tum yang
sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi
liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik.
Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada
periode ini mengalami periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode
ini menapatkan momen “ pasang” dan menikmati “ bulan madu “ kebebasan.
Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama,
semakin banyak tumbuh partai – partai politik dengan beragam ideologinya masing
– masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul – betul menikmati
kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi
berlangsung dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis. Keempat,
parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat
menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol
yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang
HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang
memberikan ruang kebebasan. Pada masa pemerintahan ini hanya satu konvernsi ham
yang di rativikasikan yaitu Hak politik wanita.
2.3 BERBAGAI
PENYIMPANGAN PADA MASA ORDE LAMA (1959-1965)
Pada masa Orde Lama
lembaga-lembaga negara MPR, DPR, DPA dan BPK masih dalam bentuk sementara,
belum berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945.
Beberapa penyimpangan yang terjadi pada masa
Orde Lama, antara lain:
a. Presiden selaku pemegang
kekuasaan eksekutif dan legislatif (bersama DPR) telah mengeluarkan ketentuan
perundangan yang tidak ada dalam UUD 1945 dalam bentuk penetapan presiden tanpa
persetujuan DPR.
b. Melalui Ketetapan No. I/MPRS/1960,
MPR menetapkan pidato presiden 17 Agustus 1959 berjudul “Penemuan Kembali
Revolusi Kita” (Manifesto Politik Republik Indonesia) sebagai GBHN bersifat
tetap. Hal ini tidak sesuai dengan UUD 1945.
c. MPRS mengangkat Ir.
Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945,
karena DPR menolak APBN yang diajukan oleh presiden. Kemudian presiden
membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR), yang anggotanya diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden.
d. Presiden membubarkan DPR
hasil pemilu 1955, karena DPR menolak APBN yang diajukan oleh presiden.
Kemudian presiden membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR), yang anggotanya
diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
e. Pimpinan lembaga-lembaga
negara dijadikan menteri-menteri negara, termasuk pimpinan MPR kedudukannya
sederajat dengan menteri. Sedangkan presiden menjadi anggota DPA.
f. Demokrasi yang
berkembang adalah demokrasi terpimpin.
g. Berubahnya arah politik
luar negeri dari bebas dan aktif menjadi politik yang memihak salah satu blok.
Beberapa penyimpangan
tersebut mengakibatkan tidak berjalannya sistem sebagaimana UUD 1945,
memburuknya keadaan politik, keamanan dan ekonomi sehingga mencapai puncaknya
pada pemberontakan G-30-S/PKI. Pemberontakan ini dapat digagalkan oleh
kekuatan-kekuatan yang melahirkan pemerintahan Orde Baru.
Penyimpangan pada masa Orde Lama dalam hal
konstitusi Orde lama (Periode 5 Juli
1953–11 Maret 1966)
Adanya penyimpangan
ideologis, yaitu penerapan konsep Nasionalis, Agama dan Komunis (Nasakom) Pemusatan
kekuasaan pada presiden sehingga kewenangannya melebihi ketentuan yang diatur
UUD 1945. Misalnya, pembentukan Penetapan Presiden (Penpres) yang setingkat
dengan Undang-undang. MPRS mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur
hidup. Presiden membubarkan DPR hasil pemilu tahun 1955 dan membentuk DPR-GR
tanpa melalui pemilu. Adanya jabatan rangkap yaitu Pimpinan MPRS dan DPR
dijadikan menteri negara, sehingga berkedudukan sebagai pembantu presiden. Negara
Indonesia masuk dalam salah satu poros kekuasaan dunia yaitu poros Moskwa-Peking
sehingga bertentangan dengan politik bebas aktif.
2.4 CONTOH KASUS
PELANGGARAN HAM PADA MASA ORDE LAMA (PEMBANTAIAN
KOMUNIS)
Pembantaian 1965-1966,
yang menjadi korban adalah orang-orang yang menjadi bagian dari PKI serta
orang-orang yang dituduh sebagai
komunis. Meski banyak spekulasi menyebut, si anu dan si anu, namun
dalang di balik pembantaian massal itu hingga kini masih belum dirilis secara
resmi. Pembantaian di Indonesia 1965–1966 adalah peristiwa pembantaian terhadap
orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia pada masa setelah terjadinya
Gerakan 30 September di Indonesia. Diperkirakan lebih dari setengah juta orang
dibantai dan lebih dari satu juta orang dipenjara dalam peristiwa tersebut.
Pembersihan ini merupakan peristiwa penting dalam masa transisi ke Orde Baru:
Partai Komunis Indonesia (PKI) dihancurkan, pergolakan mengakibatkan jatuhnya
presiden Soekarno, dan kekuasaan selanjutnya diserahkan kepada Soeharto. Kudeta
yang gagal menimbulkan kebencian terhadap komunis karena kesalahan dituduhkan
kepada PKI.
Komunisme dibersihkan
dari kehidupan politik, sosial, dan militer, dan PKI dinyatakan sebagai partai
terlarang. Pembantaian dimulai pada Oktober 1965 dan memuncak selama sisa tahun
sebelum akhirnya mereda pada awal tahun 1966. Pembersihan dimulai dari ibu kota
Jakarta, yang kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Timur, lalu Bali. Ribuan
vigilante (orang yang menegakkan hukum dengan caranya sendiri) dan tentara
angkatan darat menangkap dan membunuh orang-orang yang dituduh sebagai anggota
PKI. Meskipun pembantaian terjadi di seluruh Indonesia, namun pembantaian
terburuk terjadi di benteng-benteng PKI di Jawa Tengah, Timur, Bali, dan
Sumatera Utara.
Pembantaian ini hampir
tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah Indonesia, dan hanya memperoleh
sedikit perhatian dari orang Indonesia maupun warga internasional. Partai
Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia. Kadernya
berjumlah sekitar 300.000, sementara anggotanya diperkirakan sebanyak dua juta
orang. Selain itu PKI juga mengatur serikat-serikat buruh. Dukungan terhadap
kepresidenan Soekarno bergantung pada koalisi “Nasakom” antara militer,
kelompok agama, dan komunis. Perkembangan pengaruh dan kemilitanan PKI, serta
dukungan Soekarno terhadap partai tersebut, menumbuhkan kekhawatiran pada
kelompok Muslim dan militer. Ketegangan mulai menyelimuti perpolitikan
Indonesia pada awal dan pertengahan tahun 1960-an. Upaya PKI untuk mempercepat reformasi tanah
menggusarkan tuan-tuan tanah dan mengancam posisi sosial para kyai.
Pada sore tanggal 30
September dan 1 Oktober 1965, enam jenderal dibunuh oleh kelompok yang menyebut
diri mereka Gerakan 30 September. Maka pemimpin-pemimpin utama militer
Indonesia tewas atau hilang, sehingga Soeharto mengambil alih kekuasaan angkatan
bersenjata. Pada 2 Oktober, Soeharto mengendalikan ibu kota dan mengumumkan
bahwa upaya kudeta telah gagal. Angkatan bersenjata menuduh PKI sebagai dalang
peristiwa tersebut. Pada tanggal 5 Oktober, jenderal-jenderal yang tewas
dimakamkan. Propaganda militer mulai disebarkan, dan menyerukan pembersihan di
seluruh negeri. Propaganda ini berhasil meyakinkan orang-orang Indonesia dan
pemerhati internasional bahwa dalang dari semua peristiwa ini adalah PKI.
Penyangkalan PKI sama sekali tidak berpengaruh. Maka ketegangan dan kebencian
yang terpendam selama bertahun-tahun pun meledak. Pemimpin-pemimpin militer
yang diduga sebagai simpatisan PKI dicabut jabatannya. Majelis Permusyawaratan
Rakyat dan kabinet dibersihkan dari pendukung-pendukung Soekarno.
Pemimpin-pemimpin PKI
segera ditangkap, bahkan beberapa dihukum mati. Petinggi angkatan bersenjata
menyelenggarakan demonstrasi di Jakarta. Pada 8 Oktober, markas PKI Jakarta
dibakar. Pembersihan dimulai pada Oktober 1965 di Jakarta, yang selanjutnya
menyebar ke Jawa Tengah dan Timur, dan Bali. Pembantaian dalam skala kecil
dilancarkan di sebagian daerah di pulau-pulau lainnya, terutama Sumatra.
Pembantaian terburuk meletus di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Korban jiwa juga
dilaporkan berjatuhan di Sumatra Utara dan Bali. Petinggi-petinggi PKI diburu
dan ditangkap: petinggi PKI, Njoto, ditembak pada 6 November, ketua PKI Dipa Nusantara Aidit
pada 22 November, dan Wakil Ketua PKI M.H.Lukman segera sesudahnya. Kebencian
terhadap komunis dikobarkan oleh angkatan darat, sehingga banyak penduduk
Indonesia yang ikut serta dalam pembantaian ini. Peran angkatan darat dalam
peristiwa ini tidak pernah diterangkan secara jelas. Di beberapa tempat,
angkatan bersenjata melatih dan menyediakan senjata kepada milisi-milisi lokal.
Di tempat lain, para vigilante mendahului angkatan bersenjata, meskipun pada
umumnya pembantaian tidak berlangsung sebelum tentara mengenakan sanksi
kekerasan. Beberapa cabang PKI melancarkan perlawanan dan pembunuhan balasan,
tetapi sebagian besar sama sekali tidak mampu melawan. Tidak semua korban
merupakan anggota PKI. Seringkali cap “PKI” diterapkan pada tokoh-tokoh Partai
Nasional Indonesia (PNI) yang beraliran kiri. Dalam kasus-kasus lainnya, para
korban merupakan orang-orang yang hanya dituduh atau diduga komunis. Warga
keturunan Tionghoa juga turut menjadi korban. Beberapa dari mereka dibunuh, dan
harta benda mereka dijarah. Di Kalimantan Barat, sekitar delapan belas bulan
setelah pembantaian di Jawa, orang-orang Dayak mengusir 45.000 warga keturunan
Tionghoa dari wilayah pedesaan. Ratusan hingga ribuan di antara mereka tewas
dibantai. Metode pembantaian meliputi penembakan atau pemenggalan dengan
menggunakan pedang samurai Jepang. Mayat-mayat dilempar ke sungai, hingga
pejabat-pejabat mengeluh karena sungai yang mengalir ke Surabaya tersumbat oleh
jenazah. Di wilayah seperti Kediri, Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama
menyuruh orang-orang komunis berbaris. Mereka lalu menggorok leher orang-orang
tersebut, lalu jenazah korban dibuang ke sungai.
Pembantaian ini
mengosongkan beberapa bagian desa, dan rumah-rumah korban dijarah atau
diserahkan ke angkatan bersenjata. Pembantaian telah mereda pada Maret 1966,
meskipun beberapa pembersihan kecil masih berlangsung hingga tahun 1969.
Penduduk Solo menyatakan bahwa meluapnya sungai Bengawan Solo yang tidak biasa
pada Maret 1966 menandai berakhirnya pembantaian. Di Jawa, banyak pembunuhan
dilakukan oleh simpatisan aliran. Militer mendorong para santri Jawa untuk
mencari anggota PKI di antara orang-orang abangan Jawa. Pembunuhan meluas
sampai pada orang-orang yang bukan anggota PKI. Di Jawa, contohnya, banyak
orang yang dianggap “PNI kiri” dibunuh.
Yang lainnya hanya
dituduh atau merupakan korban fitnah dengan sedikit atau tanpa motif politik.
Pada pertengahan Oktober, Soeharto mengirim sejumlah pasukan komando
kepercayaannya ke Jawa tengah, daerah yang memiliki banyak orang komunis,
sedangkan pasukan yang kesetiaannya tak jelas diperintahkan pergi dari sana.
Pembantaian terhadap orang komunis kemudian dilakukan oleh para pemuda, dengan
dipandu oleh angkatan bersenjata, memburu orang-orang komunis. Konflik yang
pernah pecah pada tahun 1963 antara partai Muslim Nahdlatul Ulama (NU) dan PKI
berubah menjadi pembantaian pada minggu kedua Oktober.
Kelompok Muslim Muhammadiyah
menyatakan pada awal November 1965 bahwa pembasmian “Gestapu/PKI” merupakan
suatu Perang Suci. Pandangan tersebut didukung oleh kelompok-kelompok Islam
lainnya di Jawa dan Sumatra. Bagi banyak pemuda, membunuh orang komunis
merupakan suatu tugas keagamaan. Di tempat-tempat adanya pusat komunis di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, kelompok-kelompok Muslim menganggap bahwa mereka adalah
korban serangan komunis supaya mereka memperoleh pembenaran atas pembantaian
yang mereka lakukan. Mereka biasanya mengungkit-ungkit Peristiwa Madiun pada
tahun 1948. Para pelajar Katolik di daerah Yogyakarta meninggalkan asrama
mereka pada malam hari untuk ikut membunuh orang-orang komunis yang tertangkap.
Untuk sebagian besar daerah, pembantaian mereda pada bulan-bulan awal tahun
1966, namun di daerah-daerah tertentu di Jawa Timur pembantaian berlangsung
sampai bertahun-tahun.
Tidak banyak yang tahu
mengenai pembantaiannya dan jumlah pasti korban meninggal hampir tak diketahui
pasti. Hanya ada sedikit wartawan dan akademisi Barat di Indonesia pada saat
itu. Angkatan bersenjata merupakan satu dari sedikit sumber informasi,
sementara rezim yang melakukan pembantaian berkuasa sampai tiga dasawarsa.
Dalam waktu 20 tahun pertama setelah pembantaian, muncul tiga puluh sembilan perkiraan
serius mengenai jumlah korban. Sebelum pembantaian selesai, angkatan bersenjata
memperkirakan sekitar 78.500 telah meninggal sedangkan menurut orang-orang
komunis yang trauma, perkiraan awalnya mencapai 2 juta korban jiwa. Di kemudian
hari, angkatan bersenjata memperkirakan jumlah yang dibantai dapat mencapai
sekitar 1 juta orang.
Pada 1966, Benedict
Anderson memperkirakan jumlah korban meninggal sekitar 200.000 orang dan pada
1985 mengajukan perkiraan mulai dari 500,000 sampai 1 juta orang. Sebagian
besar sejarawan sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang dibantai, lebih
banyak dari peristiwa manapun dalam sejarah Indonesia.[38] Suatu komando
keamanan angkatan bersenjata memperkirakan antara 450.000 sampai 500.000 jiwa
dibantai. Para korban dibunuh dengan cara ditembak, dipenggal, dicekik, atau
digorok oleh angkatan bersenjata dan kelompok Islam. Pembantaian dilakukan
dengan cara “tatap muka”, tidak seperti proses pembantaian massal oleh Khmer
Merah di Kamboja atau oleh Jerman Nazi di Eropa
2.5 HAK ASASI MANUSIA PADA MASA ORDE BARU
Pelanggaran HAM pada Orde Baru
Harus diakui pada masa
Orde Baru dari segi pembangunan fisik memang ada dan keamanan terkendali,
tetapi pada masa Orde Baru demokrasi tidak ada, kalangan intelektual
dibelenggu, pers di daerah di bungkam, KKN dan pelanggaran HAM terjadi di
mana-mana . Secara garis besar ada lima keburukan Orde Baru, yaitu: kekuasaan
pemerintah yang absolut, rendahnya transparansi pengelolaan negara, lemahnya
fungsi lembaga perwakilan rakyat, hukum yang diskriminatif, dan dan lemahnya
perlindungan HAM.
a.
kekuasaan pemerintah yang absolute
Suharto, presiden
Republik Indonesia ke-2, menduduki tahta kepresidenan Indonesia selama 32
tahun. Itu berarti, Suharto telah memenangkan sekitar enam kali pemilihan
umum (Pemilu). Pada waktu itu, kekuasaan Suharto didukung oleh partai Golongan
Karya yang dibayang-bayangi oleh Partai Demokasi Indonesia dan Partai Persatuan
Pembangunan. Tampak jelas dalam pemerintahan Suharto di mana pemerintahan
dijalankan secara absolut. Presiden Suharto mengkondisikan kehidupan politik
yang sentralistik untuk melanggengkan kekuasaan. Salah satu hak sebagai warga
negara untuk mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan menjadi hak yang sulit
didapatkan tanpa melakukan kolusi dan nepotisme.
b.
rendahnya transparansi pengelolaan
Rendahnya transparansi
pengelolaan negara juga menjadi salah satu keburukan pemerintahan Orde Baru.
Transparansi merupakan bentuk kredibilitas dan akuntabilitasnya. Suatu
undang-undang tidak mengikat jika tidak diundangkan melalui lembaran negara.
Suatu sidang pengadilan dianggap tidak sah apabila tidak dibuka untuk umum.
Penelitian yang dilakukan oleh lembaga peneliti yang menyangkut kepentingan
masyarakat harus dipublikasikan. Pada masa Orde Baru, hak penyiaran dikekang.
Berita-berita televisi dan surat kabar tidak boleh membicarakan keburukan-keburukan
pemerintahan, kritik terhadap pemerintah, dan berita-berita yang dapat
mengganggu stabilitas dan keamanan nasional.
Keuangan negara juga
menjadi rahasia internal pemerintahan. Hutang negara menjadi terbuka jelas pun
saat krisis dunia melanda. Indonesia tidak mampu membayar hutang luar negeri
yang bertumpuk-tumpuk. Lebih dari itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika yang menurun tajam memaksa perusahaan-perusahaan memecat sebagian
karyawannya untuk mengurangi biaya produksi. Bahkan, banyak perusahaan tumbang
dan gulung tikar karena negara tidak mampu membayar hutang luar negeri. Bila
dirunut lebih dalam, semua itu berakar dari rendahnya transparasi pemerintah
terhadap masyarakat.
c.
Lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat
Lemahnya fungsi lembaga
perwakilan rakyat menjadi salah satu keburukan Orde Baru. Dewan Perwakilan
Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi semacam boneka yang
dikendalikan oleh pemimpin negara. Dalam hal ini, aspirasi-aspirasi dan
keinginan rakyat tidak mampu diwujudkan oleh pemerintah. Program-program
pemerintah seperti LKMD, Inpres desa tertinggal, dan seterusnya, menjadi
semacam program penjinakan yang dilakukan oleh penguasa agar rakyat miskin
tidak berteriak menuntut hak-hak mereka.
d.
Hukum yang diskriminatif
Hukum yang diskriminatif
menjadi keburukan Orde Baru selanjutnya. Hukum hanya berlaku bagi masyarakat
biasa atau masyarakat menengah ke bawah. Pejabat dan kelas atas menjadi
golongan yang kebal hukum. Hak masyarakat untuk mendapatkan perlakukan yang
sama di depan hukum menjadi hal yang sangat langka. Hak asasi sosial dilanggar
oleh pemerintah.
Beberapa kekurangan
sistem orde baru dapat dirangkum dengan enam poin, yaitu:
1.
semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme,
2.
pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan
pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah
sebagian besar disedot ke pusat,
3.
munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan
pembangunan, terutama di Aceh dan Papua,
4.
kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang
memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya,
5.
bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak
merata bagi si kaya dan si miskin),
6.
kritik dibungkam dan oposisi diharamkan,
7.
kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan
majalah yang dibreidel,
8.
penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain
dengan program “Penembakan Misterius” (petrus), dan
9. tidak ada rencana
suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya) perlindungan
HAM dalam Orde Baru memang di rasa masih lemah, berita mengenai penembakan
misterius terhadap musuh-musuh Negara termasuk teroris, menjadi catatan hitam
Orde Baru. Diskriminasi terhadap hak-hak asasi kaum minoritas dan Chinese pun
menjadi pelanggaran HAM yang tidak bisa dilupakan. Meski demikian, Orde Baru
memperlihatkan peran yang besar untuk menjaga stabilitas nasional. Stabilitas
nasional ini memungkinkan negara untuk menjaga terlaksananya pelaksanaan perlindungan
HAM bagi masyarakat.
2.6 CONTOH KASUS TRAGEDI TRISAKTI PENEMBAKAN
TERHADAP MAHASISWA
Ekonomi Indonesia mulai
goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis nansial Asia sepanjang 1997-1999.
Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR,
termasuk mahasiswa Universitas Trisakti. Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti
menuju Gedung Nusantara pada pukul
12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan militer datang
kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.
Akhirnya, pada pukul
17.15, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat
keamanan. Aparat keamanan pun mulai
menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai,
sebagian besar berlindung diuniversitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus
melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.
Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil
Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan
Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodamseta Pasukan
Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Styer, dan SS 1.Pada
pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang
dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah
menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru
tajam. Hasil sementara diprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah
peluru tajam untuk tembakan peringatan.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Melihat seluruh kenyataan yang ada penulis dapat
mengambil kesimpulan bahwa HAM di Indonesia sangat memprihatinkan dan masih
sangat minim penegakannya. Sekalipun terjadi perubahan ketika bangsa Indonesia
memasuki masa reformasi, tetapi toh tidak banyak perubahan yang terjadi secara
signifikan. Banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi bisa disebabkan oleh
beberapa faktor seperti : Telah terjadi krisis moral di Indonesia, Aparat hukum
yang berlaku sewenang-wenang, Kurang adanya penegakan hukum yang benar, dan
masih banyak sebab-sebab yang lain.
Maka untuk dapat menegakkan HAM di Indonesia
perlu :
1.
Kesadaran rasa kemanusiaan yang tinggi,
2.
Aparat hukum yang bersih, dan tidak sewenang-wenang,
3.
Sanksi yang tegas bagi para pelanggara HAM, dan
4.
Penanaman nilai-ilai keagamaan pada masyarakat.
3.2 SARAN
Penegakan HAM di Indonesia tidak hanya menjadi
tanggungjawab pemerintah tetapi juga tanggungjawab semua umat manusia. Hak
Asasi Manusia merupakan hak kodrati manusia. Melanggar dan menciderai HAM
berarti juga menciderai kasih dan kebaikan Allah bagi umat manusia.
Download disini Materi Powerpoint
Download disini Materi Powerpoint
DAFTAR PUTAKA
Adnan Buyung Nasution, 2006, Instrumen
Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Bindar Gultom, 2010, Pelanggaran HAM dalam Hukum
Keadaan Darurat di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fadli Zon, 2009, Setelah politik bukan panglima
sastra: polemik hadiah Magsaysay bagi Pramoedya Ananta Toer, Jakarta: Institute
for Policy Studies.
Lalu Misbah Hidayat, 2007, Reformasi
Administrasi: Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden : Bacharuddin Jusuf
Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Piagam Hak Asasi
Manusia Indonesia, Tap MPR No.XVII/MPR/1998.
Muljono, Pudji (ed.), 2003, Hak Asasi Manusia
(Suatu Tunjauan Teoritis dan aplikasi), Jakarta: Restu Agung.
Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan
(Indonesia), 2003, Krisis masa kini dan Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Saraswati, L. G. dan Rocky Gerung, Hak Asasi
Manusia: Teori, Hukum, Kasus, 2006, Jakarta: Filsafat-UI Press.
Sofian Munawar Asgart, 2011, Kemiskinan,
Pemiskinan, dan Demokratisasi, KOMPAS.com, 6 Juni 2011, diakses pada 9 Desember
2011 pukul 17.42.
Todung Mulya Lubis, 2005, Jalan panjang hak
asasi manusia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, 1999,
Fakta tragedi Semanggi: analisis hukum, sosial-politik, moral, Jakarta:
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
purnamiap.blogspot.com
chandrawagis.blogspot.com
owenhadinata.blogspot.com
brainly.co.id/tugas
abang-sahar.blogspot.com
ithum.wordpress.com
wiliamz.wordpress.com
abang-sahar.blogspot.com
ithum.wordpress.com
wiliamz.wordpress.com
www.academia.edu
Materi Terkait Download di sini Hukum Dan Hak Asasi Manusia