Aku Anton

Bahagia itu sederhana

TERSENYUM Dan-Tetap BERSYUKUR Apa-Yang KITA MILIKI..!!!

Mahkamah Pidana Internasional

Nama         : Antonius
NIM           : 120405010034
Mata Kuliah Hukum Pidana Internasional
Fakultas Hukum Universitas Kanjuruhan Malang

MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC)
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma yang diadopsi pada tanggal 17 Juli 1998 oleh 120 negara yang berpartisipasi dalam “United Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court” di kota Roma, Italia. Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional mengatur kewenangan untuk mengadili kejahatan paling serius yang mendapatkan perhatian internasional. Kejahatan yang dimaksud terdiri dari empat jenis, yaitu kejahatan genosida (the crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (the crime of aggression).
Berbeda dengan mahkamah internasional sebelumnya yang sifatnya ad hoc, seperti International Criminal Tribunal for fomer Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), Mahkamah Pidana Internasional merupakan pengadilan yang permanen (Pasal 3(1) Statuta Roma). Mahkamah ini hanya berlaku bagi kejahatan yang terjadi setelah Statuta Roma berlaku (Pasal 24 Statuta Roma).
Mahkamah Pidana Internasional merupakan mahkamah yang independen dan bukan merupakan badan dari PBB karena dibentuk berdasarkan perjanjian multilateral, meskipun dalam beberapa kondisi tertentu ada relasi peran antara Mahkamah dengan PBB (Pasal 2 Statuta Roma).
Statuta Roma memuat banyak pengaman yang menjamin penyelidikan dan penuntutan hanya dilakukan untuk kepentingan keadilan, bukan kepentingan politik. Meskipun Dewan Keamanan PBB dan negara dapat merujuk kepada Jaksa Penuntut Mahkamah Pidana Internasional, keputusan untuk melaksanakan penyelidikan merupakan wewenang Jaksa Penuntut. Namun, Jaksa Penuntut tidak hanya akan bergantung pada Dewan Keamanan PBB atau rujukan negara saja, tetapi juga akan mendasarkan penyelidikannya berdasarkan informasi dari berbagai sumber. Jaksa Penuntut harus meminta kewenangan dari Pre-Trial Chamber baik untuk melakukan penyelidikan maupun penuntutan dan permintaan tersebut dapat digugat oleh negara.

A. Proses Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC)
Tahun 1950 PBB melalui Majelis Umum membentuk sebuah panitia yang diberi nama Committee on International Criminal Jurisdiction, dimana panitia ini bertugas untuk menyiapkan sebuah Statuta Mahkamah Pidana Internasional.
Panitia ini menyelesaikan tugasnya setahun kemudian tetapi kurang mendapatkan perhatian dari anggota PBB. Permasalahan ini tenggelam seiring dengan konfrontasi politik dan ideologi selama perang dingin. Tetapi dipertengahan tahun 1980-an, Pemimpin Uni Sovyet, Gorbachev memunculkan kembali ide pendirian Mahkamah Pidana Internasional terutama ditujukan kepada gerakan melawan terorisme.
Tahun 1989 ide untuk mendirikan Mahkamah Pidana Internasional kembali digulirkan dengan usulan delegasi Trinidad dan Tobago yang mengatasnamakan enam negara lainnya di wilayah Karibia pada Sidang Komite VI Majelis Umum PBB. Usulan Trinidad dan Tobago adalah untuk mengaktifkan kembali kerja International Law Commission (ILC) untuk menyusun kembali rancangan Statuta Mahkamah Pidana Internasional berkaitan dengan usaha untuk memberantas perdagangan narkotika internasional. Selanjutnya usulan ini ditanggapi dengan baik oleh Majelis Umum PBB
Pada tahun 1992, Majelis Umum PBB sekali lagi mengeluarkan resolusi untuk meminta ILC menyusun rancangan Statuta Mahkamah Pidana Internasional. Baru pada tahun 1994, ILC menyelesaikan tugasnya menyusun rancangan Statuta Mahkamah Pidana Internasional dan kemudian untuk membahasnya dibentuklah sebuah komite yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB dengan nama Ad Hoc Committe on the Establishment of International Criminal Court.
Pada saat yang sama ILC merekomendasikan sebuah konferensi diplomatik untuk mempertimbangkan pengadopsian rancangan statuta tersebut namun tertunda karena masih adanya ketidak sepakatan mengenai rancangan tersebut.
Selanjutnya pada tahun 1995, Komite Ad Hoc diganti dengan Preparatory Committe on the Establihment of International Criminal Court yang mempersiapkan segala sesuatu bagi pembentukan ICC. Hasilnya adalah digelarnya sebuah konferensi diplomatik PBB atau lengkapnya United Nations Conference of Plenipotentiaries on The Establishment of an International Criminal Court, di Roma, Italia tanggal 15-17 Juli 1998 yang dihadiri 120 negara yang kemudian mengadopsi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional.

B. Peran Indonesia dalam Proses Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional
Dalam proses pengadopsian Statuta Roma, Indonesia terlibat secara aktif dengan mengirimkan delegasi untuk mengikuti Konferansi Diplomatik di Roma pada bulan Juli 1998, ketika Statuta Roma itu disahkan. Pada saat bersejarah itu, Indonesia menyatakan dukungannya atas pengesahan Statuta Roma dan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional . Indonesia juga menyatakan niatnya untuk meratifikasi Statuta Roma. Tahun 1999, Indonesia menyampaikan pernyataan positif kepada Komite Ke-6 Majelis Umum PBB dalam pandangannya mengenai Statuta Roma. Indonesia menyatakan bahwa “partisipasi universal harus menjadi ujung tombak ICC ” dan bahwa “Pengadilan menjadi bentuk hasil kerjasama seluruh bangsa tanpa memandang perbedaan politik, ekonomi, sosial dan budaya.” Dalam pernyataan yang sama, Indonesia menyatakan bahwa Statuta Roma menambah arti penting pada nilai-nilai yang terkandung dalam Piagam PBB yang meliputi persepakatan, imparsialitas, non-diskriminasi, kedaulatan negara dan kesatuan wilayah. Dalam hal ini, Indonesia menegaskan bahwa Mahkamah berusaha untuk melengkapi dan bukan menggantikan mekanisme hukum nasional.
Pada tahun 2004, Presiden Megawati Sukarnoputeri mengesahkan Rencana Aksi Nasional tentang Hak-Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2004 -2009. Rancangan tersebut menyatakan bahwa Indonesia bermaksud meratifikasi Statuta Roma pada tahun 2008. Untuk melaksanakan Rancangan tersebut, Presiden membentuk sebuah Komite Nasional. Dalam beberapa kesempatan, pemerintah juga menyatakan bahwa Statuta Roma sedang dipelajari dan bahwa legislasi nasional perlu dibuat demi keperluan kerjasama dengan Mahkamah sebelum ratifikasi dilaksanakan.
Pada Agustus 2006, perwakilan parlemen Indonesia berpartisipasi dalam konferensi regional dengan seluruh parlemen Asia tentang Mahkamah Pidana Internasional dan berjanji akan bekerja untuk mengupayakan ratifikasi/aksesi pada tahun 2008 atau lebih cepat. Tahun 2007 telah didirikan pula Parliamentarian for Global Action (PGA) Indonesia Chapters, dimana sekretariat internasional PGA selama ini sangat aktif mendukung universalitas Mahkamah Pidana Internasional .

C. Pengadilan Kejahatan Internasional: Dari Nuremberg Hingga Den Haag
Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional memiliki latar belakang dan erat hubungannya dengan pembentukan beberapa pengadilan kejahatan internasional sebelumnya. Pertama, pembentukan pengadilan kejahatan internasional setelah Perang Dunia Kedua usai, yaitu International Military Tribunal (IMT) atau dikenal sebagai Nuremberg Tribunal pada tahun 1945 dan International Military Tribunal for the Far East (IMTFE) atau dikenal sebagai Tokyo Tribunal pada 1946. Kedua, pembentukan mahkamah kejahatan internasional setelah usai perang dingin, yaitu International Criminal Tribunal for fomer Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang berkedudukan di Den Haag. Keempat pengadilan kejahatan internasional tersebut bersifat ad hoc. Pembentukan IMT didasarkan pada insiatif sekutu yang memenangkan perang untuk mengadili para pemimpin Nazi-Jerman, baik sipil maupun militer, sebagai penjahat perang dengan terlebih dahulu dituangkan dalam London Agreement tanggal 8 Agustus 1945. Sedangkan IMTFE dibentuk berdasarkan Proklamasi Panglima Tertinggi Tentara Sekutu Jenderal Douglas MacArthur pada 1946.
Kedua pengadilan memiliki persaman dan perbedaan. Persamaan tersebut adalah bahwa charter IMTFE merupakan hasil adopsi dari IMT. Selain itu, semangat dari pembentukan kedua mahkamah kejahatan internasional itu didasari oleh kedudukan sekutu sebagai pemenang dalam Perang Dunia Kedua, sehinggga dikenal dengan keadilan bagi pemenang perang (victor’s justice).
Sedangkan perbedaannya adalah bahwa sekalipun kedua charter memiliki isi yang sama, namun perangkat dan proses persidangannya sangat berbeda jauh, sehingga, menghasilkan perbedaan yang cukup signifikan menyangkut putusan persidangan. Pada IMT, terdapat beberapa terdakwa yang diputus bebas, tetapi pada IMTFE tidak seorang pun lolos dari hukuman.
Perbedaan lainnya terletak pada dasar hukum dari pembentukannya. Pada IMT, seluruh pemimpin Nazi-Jerman duduk di kursi pesakitan, sedangkan pada IMTFE, Kaisar Hirohito selaku pemimpin tertinggi Jepang tidak disentuh sama sekali. Ini disebabkan kesepakatan antara Pemerintah Jepang dengan Sekutu, dalam hal ini Amerika Serikat, untuk tidak mengganggu eksistensi Hirohito sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Jepang. Berdasarkan perbedaan tersebut dapat disimpulkan bahwa kedua pengadilan tersebut tidak memiliki sifat independent dan impartial.
Berikutnya adalah pembentukan pengadilan kejahatan internasional oleh Dewan Keamanan PBB untuk bekas Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR). Kedua pengadilan ini juga memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya, kedua pengadilan dibentuk oleh lembaga yang sama, yaitu Dewan Keamanan PBB melalui sebuah resolusi. Sedangkan perbedaannya adalah, pembentukan ICTY merupakan hasil dari evaluasi masyarakat internasional melalui Dewan Keamanan PBB terhadap pelanggaran berat HAM yang terjadi di bekas Yugoslavia. Pembentukannya sendiri tidak mendapatkan dukungan, terutama dari “Yugoslavia baru” saat itu yang terdiri dari Serbia dan Montenegro.
Telah digelarnya peradilan terhadap para penjahat dalam Perang Dunia Kedua tidak membuat pemikiran untuk membuat sebuah institusi peradilan permanen memudar untuk mengadili para pelaku kejahatan internasional. Hal ini disebabkan karena mekanisme pengadilan internasional yang bersifat ad hoc mempunyai kelemahan-kelemahan yang mendasar, yaitu:
(1) Victor’s justice
Dari keempat pengadilan internasional yang telah diselenggarakan, semuanya mempunyai kesamaan, yaitu yang dianggap bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi adalah individu-individu dari negara yang kalah perang, sementara bagi negara-negara pemenang perang akan terbebas dari tanggung jawab, meskipun mereka juga melakukan kejahatan-kejahatan serupa. Inilah mengapa keadilan yang dicapai melalui keempat proses pengadilan tersebut dianggap sebagai victor’s justice (keadilan bagi pemenang).
(2) Selective justice
Kelemahan lain dari mekanisme pengadilan internasional ad hoc adalah terjadinya keadilan “tebang pilih” (selective justice). Maksudnya adalah tidak semua kasus kejahatan internasional paling serius mempunyai kesempatan yang sama untuk dibentuk pengadilan internasional, hanya kasus-kasus tertentu yang dianggap mempengaruhi stabilitas dan keamanan internasional saja yang akan diadili, dan hanya kasus-kasus yang melibatkan negara-negara penting yang mempunyai kesempatan untuk diselesaikan. Artinya, akan ada pelaku yang tidak ditindak, dan akan ada korban yang tidak mendapatkan hak-haknya atas keadilan dan kompensasi. Lebih jauh, kondisi seperti ini tidak banyak memberikan sumbangan untuk menghentikan praktek-praktek impunitas di berbagai penjuru dunia.
(3) Tidak adanya efek jera dan pencegahan di masa mendatang
Meskipun terdapat kemajuan yang pesat dari kedua pengadilan kejahatan internasional pasca Perang Dunia Kedua, kedua pengadilan berikutnya masih memiliki keterbatasan yang sama. Di antaranya, tidak adanya kerjasama dengan negara di mana kejahatan internasional yang serius terjadi; tidak bisa menghentikan konflik yang sedang berlangsung dan tidak bisa mencegah berulangnya konflik; serta jangkauan dari penuntutan terbatas pada kategori konflik yaitu konflik internal atau internasional.
(4) Muatan politis
Lebih dari setengah abad sejak peradilan Nuremberg dan Tokyo, banyak negara gagal membawa mereka yang bertanggung-jawab atas genosida, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang ke pengadilan. Ini disebabkan karena mekanisme pembentukan pengadilan internasional ad hoc HANYA bisa dilakukan melalui Dewan Keamanan PBB. Artinya, “nasib” keadilan sangat tergantung pada komposisi anggota Dewan Keamanan PBB dan penggunaan hak veto oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Dalam konteks ini tentu saja kepentingan politik akan lebih banyak berperan ketimbang pertimbangan hukum dan keadilan.

Berangkat dari alasan-alasan di atas, maka diperlukan sebuah mekanisme pengadilan internasional yang relatif bebas dari intervensi politik internasional, menjunjung tinggi kedaulatan negara, dan bersifat independen dan berlaku lebih fair, bahkan kepada pelaku.


Kabupaten Melawi, Nanga Pinoh

Tugu apang-semangai terletak di jantung kota nanga pinoh
Kabupaten Melawi merupakan salah satu Kabupaten yang berada di Propinsi Kalimantan Barat. Kabupaten ini terletak di antara garis 07′-1020′ Lintang Selatan dan 1117′-11227′ Bujur Timur. Kabupaten Melawi berbatasan dengan kecamatan Dedai, Kabupaten Sintang di sebelah utara, dengan kecamatan Tumbang Selam, Kabupaten Kota Waringin Timur provinsi Kalimantan Tengah di sebelah selatan, dengan kecamatan Serawai Kabupaten Sintang di sebelah timur dan dengan kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang di sebelah barat. Daerah Kabupaten Melawi mempunyai luas wilayah 10.640,80 Km serta memiliki tujuh Kecamatan dengan Nanga Pinoh sebagai ibukotanya. Sebagian wilayah Menukung yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Melawi, termasuk dalam Taman Nasional Bukit Baka seluas 180.000 hektar yang ditumbuhi 817 jenis pohon serta beragam fauna. Taman nasional yang mencerminkan kehidupan alami hutan tropis ini juga membentang di atas tanah kabupaten tetangga, bahkan provinsi tetangga karena posisinya ada di perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Kecamatan Menukung dan Ella Hilir juga memiliki potensi lain. Permukaan tanah yang relatif lebih landai dibanding perbukitan di bagian barat berpeluang untuk pembudidayaan kelapa sawit. Bagi pengusaha yang ingin menanamkan modal di Kecamatan Menukung dan Ella Hilir, tersedia sekitar 80.000 hektar lahan yang menunggu diubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Di Kecamatan Belimbing terdapat sebuah perkebunan besar dengan bendera PT Sinar Dinamika Kapuas (SDK) yang mengadopsi pola plasma inti. SDK tak hanya mengusahakan perkebunan, tetapi sekaligus menyediakan pengolah sawit menjadi minyak sawit mentah atau crude palm oil. Tak hanya sawit dari Melawi saja yang diolah, sawit dari Kabupaten Sintang juga dikirim ke Belimbing untuk diproses lebih lanjut. Di sektor pertanian tanaman pangan menjadi sektor penting dalam ekonomi Melawi. Mayoritas penduduk atau tepatnya 44,3 persen mencari nafkah dengan bertani palawija dan padi. Para petani umumnya bercocok tanam di lahan kering yang dibagi dua. Sebagian untuk padi ladang atau palawija, sisanya ditanami karet. Getah-getah karet dari kebun-kebun rakyat serta satu perkebunan swasta yang telah diolah menjadi bentuk kotak putih dikirim ke Kabupaten Pontianak untuk diproses menjadi barang setengah jadi yang siap ekspor.
Sumber regionalinvestment.com

Peta wilayah kabupaten mwlawi

Sengketa Lahan Sawit Antara Perusahaan Dan Masyarakat Di Kalimantan Barat

Sengketa lahan sawit, warga di Bengkayang blokade jalan
Janji manis perusahaan perkebunan kelapa sawit kepada warga di Desa Karimunting, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Bengkayang, berbuntut munculnya aksi pemblokadean jalan, Rabu (25/9/2013).
Aksi ini dipicu ketidakpuasan warga yang menuntut ganti kerugian terhadap lahan milik mereka yang dijadikan perkebunan. Sejak pagi, ratusan warga memblokade jalan masuk ke perusahaan kelapa sawit PT. Patiware.
Tak hanya kaum pria, para ibu pun turut serta membawa anak-anak mereka untuk berunjuk rasa. Mereka telah ada sejak pagi. Warga tersebut berasal dari Dusun Sinjun dan Dusun Kampung Tengah, Desa Karimunting.
Informasi yang berhasil dihimpun, ketidakpuasan warga ini disebabkan janji perusahaan yang akan membagikan lahan plasma kepada masyarakat. Namun, setelah lebih dari empat tahun berjalan, janji tinggal janji. Warga pun tidak mendapatkan apa yang dijanjikan oleh perusahaan.
Sudarman, salah seorang warga Karimunting menyebutkan, warga saat ini sudah tidak mau dibagikan plasma. Alasannya, karena tempo yang sudah cukup lama, tapi tidak juga dibagikan.
“Setiap kali pertemuan, pihak PT Patiware tidak pernah hadir, itulah yang membuat kami kecewa, sekarang kami minta kejelasan," ujar Sudarman.
Para warga mengaku, mereka menuntut kompensasi dari lahan mereka yang digunakan PT Patiware tersebut. Mereka pun mempertanyakan kompensasi yang hingga kini belum dipenuhi oleh perusahaan.
“Kami tidak tahu hukum, bisa saja kami dikelabui oleh perusahaan. Katanya ada lahan inti, ada lahan masyarakat. Warga Desa Sungai Raya dan Sungai Ruk sudah dapat, hanya kami yang belum dapat kompensasi," ujar Hepni, warga lainnya.
Hepni juga menyebutkan, ada warga desa lain yang tidak memiliki surat tanah sudah mendapat kompensasi, sedangkan mereka yang surat menyuratnya lengkap malah belum mendapatkan. “Intinya masyarakat sudah kecewa dengan kehadiran Patiware. Hanya orang tertentu yang merasakan manfaatnya, sedangkan kami terus dibohongi. Hasil panen sudah berlimpah, tapi apa yang kami dapatkan,” ujar Hepni.
Warga juga mengeluhkan masalah lingkungan yang timbul dari aktivitas perkebunan tersebut. Seorang warga menuturkan, masalah pengairan menjadi terganggu, belum lagi limbah dari pabrik pengolahan.
“Parit-parit tersumbat, sekarang hujan sehari saja pasti banjir, lumpur-lumpur sampai naik ke rumah, hujan sebentar saja sudah becek,” ujar warga tersebut.
Sementara itu, Kepala Polsek Sungai Raya, IPTU Aris Sutrisno menilai wajar jika masyarakat melakukan aksi tersebut. Masyarakat sudah jenuh karena terus menerus merasa dibohongi pihak perusahaan.
“Secara prosedur, mereka sudah mengikuti aturan main. Sebelum melakukan aksi, mereka memberitahukan dulu kepada kepolisian untuk melakukan aksi pemblokiran. Namun, kami tetap mengimbau kepada mereka untuk melakukannya secara tertib dan tidak anarkis, karena ini negara hukum," ujar Aris saat ditemui di lokasi unjuk rasa.

Aris menyatakan akan berusaha membantu masyarakat untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Polisi akan mencoba menjadi mediator dalam perkara ini. Warga akan memblokade jalan perkebunan tersebut hingga ada kejelasan dari pihak perusahaan.

Hingga Rabu siang, belum satu pun perwakilan dari pihak perusahaan yang datang menemui warga. Aksi yang berlangsung damai tersebut menyebabkan puluhan truk pengangkut sawit terpaksa berhenti dari arah masuk maupun arah keluar perkebunan.

“Akan diblokir sampai ada tanggapan, masyarakat menuntut hari ini juga harus ada jawaban dari perusahaan. Kami butuh kejelasan apakah mau di konpensasi, atau dikembalikan kepada pemilik lahan,” tandas Hepni.


Konflik Akibat Perusahaan Perkebunan kelapa Sawit

Ada 200 Konflik Masyarakat Adat Vs Perusahaan
Pontianak, Kompas - Sekitar 300.000 hektar lahan masyarakat adat di Kalimantan Barat diserobot perusahaan kelapa sawit. Hal ini menimbulkan sedikitnya 200 konflik antara masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Demikian diungkapkan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat (Kalbar) Hendi Candra dan Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar Sujarni Alloy, Senin (18/10) di Pontianak, Kalbar. ”Sebagian izin perkebunan itu tumpang tindih dengan kepemilikan lahan milik masyarakat adat,” ujar Hendi.
Luas lahan perkebunan kelapa sawit di Kalbar tahun ini terdata 550.000 hektar. Namun, izin yang telah keluar untuk perkebunan kelapa sawit mencapai 1,5 juta hektar.
Menurut Alloy, modus penyerobotan lahan masyarakat adat itu beragam. ”Yang paling banyak adalah menyatakan tanah yang ditempati masyarakat adat itu merupakan tanah negara sehingga masyarakat harus menyerahkan lahan tersebut untuk kepentingan perkebunan,” ujarnya.
Ada juga upaya membujuk masyarakat adat dengan dalih pembangunan dan untuk menyejahterakan masyarakat. ”Tapi akhirnya masyarakat tidak mendapatkan apa-apa,” kata Alloy.
Kasus penyerobotan lahan masyarakat adat itu, kata Alloy, terjadi di beberapa kabupaten. Yang paling banyak di Ketapang, Sanggau, dan Sintang. ”Hingga tahun 2010 tercatat ada 200 kasus atau konflik antara perusahaan kelapa sawit dan masyarakat adat,” ujarnya.
Ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI) Kalbar Ilham Sanusi tidak bisa dimintai konfirmasi mengenai temuan Walhi dan AMAN itu. Ilham tidak mengangkat telepon selulernya ketika dihubungi.
Dalam wawancara dengan Ilham beberapa waktu lalu, tidak semua perkebunan kelapa sawit di Kalbar dimiliki pengusaha Indonesia. Justru sekitar 300.000 hektar lahan perkebunan kelapa sawit merupakan milik pengusaha asal Malaysia.
Pemerhati kehutanan, Soenarno, mengatakan, sudah sejak lama terlihat indikasi tumpang tindih izin untuk perkebunan kelapa sawit itu. ”Tumpang tindih izin tersebut terlihat dari peta kehutanan,” katanya.
Secara terpisah, Bupati Sanggau Setiman H Sudin mengatakan, selama ini terus dilangsungkan upaya perdamaian terkait sengketa masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit di wilayahnya. ”Saya selalu mengedepankan prinsip bahwa masyarakat harus mendapat haknya. Tetapi, perusahaan yang telah memiliki izin dengan benar juga harus mendapat haknya secara proporsional,” katanya. (AHA)

Sumber : Aman, Walhi, Kompas

Baca juga: sengketa lahan sawit antara perusahaan dan masyarakat

Hukum Perbankan Di Indonesia

Nama                            : Antonius
NIM                     : 120405010034
Mata Kuliah        : Hukum Perbankan Indonesia
Fakultas Hukum Universitas Kanjuruhan Malang

PENGAWASAN BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL
Bank adalah bagian dari sistem keuangan dan system pembayaran suatu Negara, bahkan pada era globalisasi sekarang ini, bank juga telah menjadi bagian dari system keuangan dan system pembayaran dunia. Mengingat hal yang demikian itu, maka begit suatu bank memperoleh izin berdiri dan beroperasi dari otoritas moneter Negara yang bersangkutan, bank tersebut menjadi milik masyarakat. Oleh karena itu, eksistensinya bukan saja harus dijaga oleh para pemilik bank itu sendiri, tetapi juga oleh masyarakat nasional dan global. Mengingat kegiatan perbankan bergerak dengan dana dari masyarakat atas dasar kepercayaan, maka setiap pelaku perbankan diharapkan tetpa menjaga kepercayaan masyarakat tersebut. Kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan akan terjaga apabila sector perbankan itu sendiri diselenggarakan dan dikelola dengan prinsip kehati-hatian sehingga selalu terpelihara kondisi kesehatannya. Sejalan dengan harapan-harapan tersebut, Bank Indonesia sebagi bank sentral yang mempunyai peran pula dalam menetukan dan memberikan arah perkembangan perbankan serta dapat melindungi masyarakat, maka Bank Indonesia mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk membina serta melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan perbankan.2 Di situlah letak peran pentingnya pengawasan bank, karena system perbankan memiliki fungsi dan peran yang penting dan strategis dalam menggerak-tumbuhkan perekonomian. Fungsi pengaturan dan pengawasan bank di tangan Bank Indonesia tidak pernah lepas dari sorotan masyarakat. Fungsi ini semakin krusial setelah pemerintah melalui Pakto 88 meliberalisasikan industri perbankan nasional dengan mempermudah syarat-syarat pendirian bank baru. Momemtum liberalisasi memang benar-benar dimanfaatkan pelaku dunia usaha, sehingga lahirnya bank-bank baru terjadi dengan sangat cepat. Sayangnya, liberalisasi perbankan ini tidak disetai dengan peningkatan supply tenaga banker yang berkualitas. Setelah melintasi kurun yang cukup panjang dan terus menerus berupaya memberi karya dan karsa bagi negeri, Bank Indonesia berupaya untuk menebarkan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Sesuai dengan Undang-Undang tentang Bank Indonesia, upaya tersebut ditempuh dengan menjaga kestabilan nilai mata uang Rupiah yang ditandai dengan tercapainya sasaran inflasi dan stabilnya nilai tukar. Kestabilan nilai mata uang sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Nilai uang yang stabil dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan dunia usaha dalam melakukan berbagai aktivitas ekonominya. Lebih dari itu, inflasi yang terkendali dan rendah dapat mendukung terpeliharanya daya beli masyarakat, khususnya mereka yang berpendapatan tetap seperti pegawai negeri sipil dan masyarakat kecil lainnya. Untuk mewujudkan hal itu, Bank Indonesia memiliki kewenangan dalam melakukan tiga tugas yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank.

1. SEJARAH BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL
Bank Indonesia adalah : “Bank Sentral Republik Indonesia, dengan tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, yang akan dicapai melalui pelaksanaan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.” Untuk memperbaiki keadaan keuangan sebagai warisan VOC dan pemerintahan Raffles, pemerintah Hindia Belanda memerlukan kehadiran lembaga bank, dan pada tanggal 10 Oktober 1827 berdirilah De Javasche Bank.Konferensi Meja Bundar yang berlangsung di Den Haag, Belanda tahun 1949, boleh dikatakan merupakan tonggak sejarah lahirnya bank sentral di Indonesia. Salah satu keputusan penting Konferensi Meja Bundar adalah menunjuk De Javasche Bank NV sebagai bank sentral. De Javasche Bank adalah bank komersial dan sirkulasi milik pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sudah berdiri sejak tahun 1828. Meskipun De Javasche Bank disepakati dan diputuskan bersama oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda sebagai bank sentral akan tetapi pengaruh kepentingan kolonial dalam menentukan kebijakan masih kental. Posisi De Javasche Bank menjadi dilematis karena suatu negara mempunyai bank sentral yang masih berada di bawah pengaruh kepentingan lain.
uu no 3 tahun 2004
Didik J.Rachbini, dkk., Op.cit., hlm. Berdirinya De Javashe Bank telah mengawal sejarah perbankan di Indonesia. Sejak berdirinya, ketentuan-ketentuan yang mengatur bekerjanya De Javasche Bank sering kali mengalami perubahan dan yang terakhir sebelum nasionalisasi adalah Wet tot Vaststelling van de Javasche Bankwet, Stb. 1922 No. 180. Nasionalisasi De Javasche Bank direalisasikan direalisasikan melalui Keputusan Pemerintah No. 118 tertanggal 2 Juli 1951. Titik kulminasi proses nasionalisasi De Javasche Bank terjadi tatkala ditunjuk seorang putra bangsa Indonesia menjadi presiden baru bank tersebut, mengakhiri tradisi sebelumnya yang selalu dijabat oleh seorang Belanda. Pada tahun 1953, keluarlah Undang-undang Pokok Bank Indonesia atau Undang-undang No. Tahun 1953 yang dimuat dalam Lembaran Negara No. 40 tahun 1953, dimana isinya antara lain mencabut De Javasche Bank Wet Stb. 1922 No. 180 dan Stb. 1922 No. 181 dan didirikan Bank Indonesia yang merupakan bank sentral sebagai pengganti De Javasche Bank NV sebagai bank nasional kepercayaan negara.5
Berdasarkan Penetapan Presiden No. 17 Tahun 1965, Bank Indonesia bersama-sama dengan Bank Koperasi Tani dan Nelayan, Bank Negara Indonesia, Bank Umum Negara dan Bank Tabungan Negara dilebur ke dalam bank tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Urusan Bank Sentral No. KCP.65/UBS/1965, bank tersebut menjalankan usahanya masing-masing dengan nama Bank Negara Indonesia Unit I, Unit II, Unit III, Unit IV, Unit V. Bank Negara Indonesia Unit I berfungsi sebagai sirkulasi, bank sentral, dan bank umum. Dan berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 1965, bank unit Indonesia Unit I dipisahkan kembali dari bank tunggal dan didirikan sebuah bank sentral di Indonesia dengan nama Bank Indonesia.
Marhaynis Abdul Hay, Hukum Perbankan di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977, hlm. 3
2. TUJUAN DAN FUNGSI BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL
Kestabilan nilai rupiah yang dimaksud adalah kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa serta terhadap mata uang negara lain, dan kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pada Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, peran dan tugas utama Bank Indonesia difokuskan pada tiga sub sistem perekonomian yang terdiri atas moneter, perbankan, dan pembayaran. Pelaksanaan tiga bidang tugas tersebut akan sangat menentukan keberhasilan Bank Indonesia mencapai tujuan utamanya yaitu mempertahankan dan memelihara stabilitas nilai rupiah, Fungsi Menetapkan dan Melaksanakan Kebijakan moneter.

Lender of Last Resort
Peran pokok Bank Indonesia yang tetap dan tidak berubah dari ketentuan Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 adalah sebagai pemberi pinjaman dalam keadaan darurat (lender of last resort) kepada bank yang mengalami krisis kesulitan pendanaan jangka pendek. Dalam hal ini, Bank Indonesia hanya membantu dengan kriteria mengalami mismatch yang disebabkan oleh risiko kredit dan risiko pembiayaan. berdasarkan prinsip syariah, risiko kredit atau risiko pasar. Bank Indonesia memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban pemerintah, dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistematis dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan.Untuk mencegah penyalahgunaan kredit dari Bank Indonesia tersebut maka pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibatasi selama-lamanya 90 (sembilan puluh) hari dan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah itu harus dijamin dengan surat berharga yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan, bila kredit dari Bank Indonesia tersebut tidak dapat dilunasi pada saat jatuh tempo, Bank Indonesia berhak mencairkan agunan yang dikuasainya. Formula seperti itu penting diungkapkan secara terbuka agar publik mempunyai kesempatan menilai kondisi suatu bank sebelum dikategorikan insolvent, bangkrut, mengalami mismatch atau ada indikasi moral hazard dijajaran pengurus atau pemiliknya. Di samping itu juga untuk menepis berkembangnya isu atau desas-desus tidak jelas yang tidak menguntungkan upaya menciptakan sistem perbankan yang sehat, transparan dan kompetitif. Selain itu, juga untuk menagkal penilaian subjektif seperti ketakutan yang tidak proporsional Transaparansi Bank Indonesia akan dinilai dari akuntabilitas yang terukur dalam menerapkan formula atau mengkategorikan lembaga keuangan yang patut memperoleh fasilitas pertolongan darurat. hanya atas dasar alih penutupan atau pencabutan izin suatu bank akan membawa risiko sistematik berupa domino effect yang membuat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan yang menjadi runtuh.

Pengendalian Moneter
Bank Indonesia dalam hal dalam menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah, dimana dalam menetapkannya pemerintah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Bank Indonesia menetapkan kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian, sistem pembayaran yang cepat dan tepat, serta sistem perbankan dan keuangan yang sehat dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. 8 Dalam hal nilai tukar, Bank Indonesia melaksanakan kebijakan nilai tukar yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Keputusan Presiden. Fungsi Bank Indonesia dalam hal ini adalah hanya terbatas sekedar memberi usulan kepada pemerintah dan hanya bertugas menjalankan kebijakan nilai tukar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 6 Abdul Kadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 38. 7 Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia
8 O. P. Simorangkir, Pengantar Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000, hlm. 23. Kewenangan Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan nilai tukar itu antara lain : Devaluasi atau revaluasi terhadap mata uang asing dalam sistem nilai tukar tetap (fixed rate) Intervensi pasar dalam sistem nilai tukar mengambang (floating rate) Penetapan nilai tukar harian serta lebar peta intervensi dalam sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating rate). Bank Indonesia juga berwenang melakukan pengendalian moneter melalui operasi pasar terbuka di pasar uang baik berupa rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, pengaturan kredit atau pembiayaan.
Fungsi Mengatur dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran Bank Indonesia memiliki wewenang untuk melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran, mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran melaporkan kegiatannya serta menetapkan penggunaan alat pembayaran. 10 Kewajiban menyampaikan laporan secara berkala dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat memantau penyelenggaraan sistem pembayaran. Sedangkan, penetapan alat pembayaran dimaksudkan agar alat pembayaran yang digunakan dalam masyarakat memenuhi persyaratan keamanan bagi pengguna, termasuk membatasi penggunaan alat pembayaran tertentu dalam rangka prinsip kehati-hatian.
9 Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
10 Pasal 15 Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
Tuntutan yang mengemuka di masa depan adalah bagaimana Bank Indonesia mampu melengkapi instrumentasi dan keahliannya agar dapat mengikuti atau menselaraskan kepesatan kemajuan teknologi dan derivat sistem pembayaran yang telah berkembang demikian canggih dan mengglobal.Bank Indonesia bertugas dalam hal memperluas, memperlancar serta mengatur lalu lintas pembayaran giral antar bank, yaitu kegiatan bayar-membayar dengan warkat bank yang diperhitungkan atas beban dan untuk kepentingan nasabah bank yang telah ditetapkan.

Sistem dan Penyelenggaraan kliring
Penyelenggaraan kegiatan kliring antar bank serta penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang mendapat persetujuan Bank Indonesia, dan Bank Indonesia akan mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia dalam menetapkan mekanisme untuk meminimalkan risiko kegagalan pemenuhan kewajiban bank dalam penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank.



Mengeluarkan dan Mengedarkan uang
Salah satu fungsi bank sentral yang cukup vital adalah kewenangannya dalam menerbitkan uang dari suatu Negara (note issue), dan ini adalah kewenangan yang memonopoli dari bank sentral.Sesuai amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengatur peredaran uang rupiah. Bank Indonesia mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam yang merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia. Kewenangan itu adalah mencabut, menarik serta memusnahkan uang, menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan yang digunakan dan penentuan tanggal mulai berlakunya sebagai alat pembayaran yang sah. Sebagai konsekuensi dari ketentuan tersebut, maka Bank Indonesia harus menjamin ketersediaan uang di masyarakat dalam jumlah yang cukup dan dengan kualitasmemadai.Uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dibebaskan dari bea materai dan mencabut atau menarik uang rupiah dari peredaran dengan memberikan penggantian yang sama nilainya. Dalam hal ini, Bank Indonesia memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan penukaran uang dalam pecahan yang sama.
Penjelasan Pasal 18 Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.

Fungsi Mengatur dan Mengawasi Bank Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan terhadap bank baik dengan cara pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision). Pengawasan tidak langsung adalah dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian,analisis, dan evaluasi laporan bank. Pengawasan dini dilakukan dengan cara sebagai berikut : Bank Indonesia mewajibkan setiap bank untuk memenuhi beberapa kegiatan yakni kewajiban untuk memberikan dan menyampaikan segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya dan kewajiban bank untuk menyampaikan laporan keuangan dan laporan lainnya yang berkaitan dengan operasional bank. Laporan keterangan dan penjelasan tersebut disampaikan secara tertulis sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Kewajiban penyampaian laporan ini dapat dikenakan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank bila mereka mendapat fasilitas tertentu dari bank atau diduga mempunyai peran dalam kegiatan operasional bank. Pengawasan langsung adalah dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan. Pada dasarnya, pemeriksaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia dilaksanakan secara berkala sekurang-kurangnya satu tahun sekali untuk setiap bank. Di samping itu, pemeriksaan dapat dilakukan setiap waktu jika dipandang perlu, untuk meyakinkan pengawasan hasil tidak langsung dan apabila terdapat indikasi adanya penyimpangan dari praktek perbankan yang sehat.
3. KEWENANGAN BANK INDONESIA DALAM PERBANKAN DI INDONESIA
Krisis ekonomi pada 1997 menyebabkan banyak pihak mempertanyakan mengenai sejauh mana Bank Indonesia telah melaksanakan tiga fungsi utamanya secara maksimal. Jawaban atas pertanyaan tersebut berkaitan dengan aspek-aspek internal Bank Indonesia yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan ketiga fungsi Bank Indonesia. Aspek-aspek internal tersebut terdiri dari kemampuan Bank Indonesia sebagai lembaga kepekaan Bank Indonesia terhadap permasalahan lingkungan, serta daya antisipatif Bank Indonesia dalam menghadapi situasi yang akan dating dan penelaahan tterhadap aspek-aspek internal ini harus diletakkan pada kedudukan Bank Indonesia yang sesuai dengan Undang-undang No. 13 Tahun 1968 merupakan bagian pemerintah. Sesuai dengan status independen, pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia wajib menolak dan atau mengakibatkan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
Kewenangan Bank Indonesia dalam Pengendalian Moneter Implementasi kebijakan moneter dilakukan dengan menetapkan susunan operasional, yaitu uang primer (base money) dan selanjutnya untuk mengamati perkembangan indicator-indikator yang memberikan tekanan pada harga dan nilai tukar rupiah. Perkembangan indikator tersebut dikendalikan melalui piranti moneter tidak langsung, yaitu : Menggunakan Operasi Pasar Terbuka Operasi pasar terbuka dilaksanakan untuk mempengaruhi likuiditas rupiah di pasar uang, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat suku bunga. Operasi pasar terbuka dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu melaui penjualan Sertifikat Bank Indonesia dan intervensi rupiah. Penjualan Sertifikat Bank Indonesia dilakukan melalui lelang sehingga tingkat diskonto yang terjadi benar-benar mencerminkan kondisi likuiditas pasar uang. Sedangkan kegiatan intervensi rupiah dilakukan oleh Bank Indonesia untuk menyesuaikan kondisi pasar uang, baik likuiditas maupun tingkat suku bunga. Penentuan Tingkat Diskonto Fasilitas ini disediakan bagi bank-bank dalam rangka memperlancar pengaturan likuiditas sehari-hari, khususnya bank yang menghadapi maturity mismatch antara penanam dan pendanaannya. Fasilitas diskonto dilakukan dengan cara penjualan surat berharga repo atau penjamin suratberharga. Surat berharga yang dewasa ini dapat digunakan adalah Sertifikat Bank Indonesia dan atau Surat Berharga Pasar Uang yang dikeluarkan bank lain. Pengaturan Kredit atau Pembiayaan
Pengaturan kredit merupakan pengawasan terhadap praktek perkreditan yang dijalankan oleh perbankan dan membatasi pemberian kredit untuk kestabilan dan mencegah terjadinya inflasi. Penetapan Cadangan Wajib Minimum bagi Perbankan Kebijakan ini mewajibkan setiap bank mencadangkan sejumlah aktiva lancar yang besarnya dalah persentasi tertentu dari kewajiban segeranya. Saat ini, kebijakan ini tertuang dalam ketentuan Giro Wajib Umum (GWM) sebesar 5 % (lima persen) dari dana pihak ketiga yang diterima baik yang wajib dipelihara dalam rekening bank yang bersangkutan di Bank Indonesia. Apabila Bank Indonesia memandang perlu untuk mengetatkan kebijakan moneter, maka cadangan wajib tersebut dapat ditingkatkan, dan demikian pula sebaliknya. Persuasi Moral (Moral Suasion) Kebijakan persuasi moral ini pada dasarnya dimaksudkan untuk mendorong perbankan agar senantiasa menerapkan prinsip kehati-hatian bank Kebijakan ini dilakukan oleh Bank Indonesia dengan meminta atau menghimbau bank-bank untuk selalu mempertimbangkan kondisi makro ekonomi maupun kondisi mikro masing-masing bank dalam menyusun rencana ekspansi kredit dan realistis. dalam memberikan kredit, namun dengan tetap memberikan kebebasan bagi perbankan untuk tumbuh dan berkembang berdasarkan mekanisme pasar. Alur mekanisme transmisi kebijakan moneter berawal dari operasi kebijakan moneter yang diarahkan untuk mempengaruhi suku bunga jangka pendek sebagai target operasional, dimana perubahan suku bunga jangka pendek mempengaruhi berbagai variabel seperti suku bunga jangka panjang, harga aset, variabel ekspektasi, dan nilai tukar.
Kebijakan pengendalian moneter dimaksudkan untuk memberikan kepercayaan kepada perbankan dan sektor swasta untuk mengatur dirinya sendiri dalam memaksimalkan dan mengefisienkan sumber-sumber pendanaan masyarakat pada sektor-sektor yang memerlukan bantuan kredit perbankan.Demikian pula dalam mengelola cadangan devisa negara yang dikuasainya, Bank Indonesia berwenang menyelenggarakan berbagai jenis transaksi devisa (menjual, membeli, dan/ atau menempatkan devisa, emas, dan surat-surat berharga secara tunai atau berjangka termasuk pemberian pinjaman) serta dapat menerima pinjaman luar negeri. Tiga asas utama yang menjadi pegangan Bank Indonesia dalam mengelola cadangan devisa adalah likuiditas (liquidity), keamanan (security), dan pendapatan yang optimal (profitability). Untuk mencapai kestabilan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, Bank Indonesia menyusun rencana devisa dengan memperlancar usaha-usaha pembangunan ekonomi nasional serta memperhatikan posisi likuiditas dan solvabilitas internasional. Rencana devisa yang disusun digunakan untuk menyusun rencana sistem moneter. Berkaitan dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia dalam pengendalian moneter, maka terdapat kewajiban menyelenggarakan survei, makro maupun mikro secara berkala maupun sewaktu-waktu untuk memperoleh data ataupun informasi ekonomi dan keuangan secara tepat waktu dan akurat.
Kegiatan atau survei itu dapat dilakukan Bank Indonesia itu sendiri maupun pihak lain yang ditunjuk dan setiap badan wajib memberikan keterangan atau data yang diperlukan dengan catatan akan dijamin kerahasiaannya, kecuali yang secara tegas dinyatakan lain dalam undang-undang.
 Kewenangan Bank Indonesia dalam Sistem Pembayaran
Sub-sub sistem itu adalah, pertama, instrumen pembayaran yang dapatberupa alat pembayaran tunai maupun elektronik. Kedua, lembaga-lembagapeserta kliring yang terdiri dari bank dan lembaga non bank yang biasamengeluarkan alat pembayaran yang berlaku dalam sistem pembayaran. Sistem pembayaran tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan teknisberkaitan dengan kegiatan kliring antar bank. Tetapi sebenarnya sistempembayaran setidaknya terdiri dari lima sub sistem yang berada di dalamnya. Yang dimaksud dengan lembaga non bank adalah perusahaan-perusahaan penerbit kartu kredit. Sebagai anggota dan peserta kliring, maka bank dan lembaga keuangan non bank berada dalam pengaturan dan pengawasan Bank Indonesia yang berkaitan dengan upaya menjaga kelancaran sistem pembayaran. Ketiga adalah prosedur pembayaran, dari sisi Bank Indonesia sebagai pengatur sistem pembayaran, prosedur yang dikehendaki adalah yang mampu meminimalkan risiko dan mengupayakan proses pembayaran sesingkat mungkin. Bank Indonesia bertanggung jawab menjaga agar proses perputaran uang dalam sistem pembayaran berjalan dengan cepat, sehingga setiap orang yang membutuhkan uangnya dapat segera menerima uangnya tanpa harus menunggu terlalu lama. Makin cepat uang diterima oleh pihak yang berhak, dengan sendirinya risiko yang harus dihadapi oleh pihak-pihak yang bersangkutan termasuk Bank Indonesia juga makin kecil. Sub sistem keempat dalam sistem pembayaran adalah infrastruktur yang tersedia. Ketersediaan dan kualitas infrastruktur sistem pembayaran sangat ditentukan oleh penguasaan teknologi sistem pembayaran oleh Bank Indonesia maupun lembaga-lembaga peserta kliring. Kelancaran sistem pembayaran juga ditentukan oleh teknologi yang memadai, sangat penting dalam memberikan jaminan kepastian sebagai bentuk perlindungan kepentingan masyarakat luas, sehingga masyarakat selalu merasa aman saat memasukkan dananya ke dalam sistem perbankan. Bank Indonesia menangkap setiap masalah sistem pembayaran nasional yang sedang dan akan berkembang, Bank Indonesia selau menyerap dan mempelajari masukan-masukan dan informasi dari seluruh anggota kliring. Selain hubungan-hubungan non formal dengan peserta kliring dalam sistem pembayaran nasional, Bank Indonesia juga aktif melakukan hubungan dengan pihak-pihak luar negeri. Hubungan itu dilakukan melalui forum pertemuan bank-bank sentral negara lain. Melalui forum internasional itu, Bank Indonesia mendapat informasi mengenai perkembangan yang terjadi pada sistem pembayaran di masing-masing negara peserta. Informasi-informasi tersebut dibandingkan dengan kondisi sistem pembayaran nasional dan dipelajari kemungkinan penerapannya. Wewenang Bank Indonesia dalam kelancaran sistem pembayaran adalah : Melaksanakan dan memberikan persetujuan dari izin atas penyelenggaraan jasa sistem perbankan, Menetapkan penggunaan alat pembayaran, Mengatur sistem kliring antar bank, baik dalam mata uang rupiah maupun asing, Menyelenggarakan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank. Menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan yang digunakan dan tanggal mulai berlakunya sebagai alat pembayaran yanng sah.
Mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik, dan memusnahkan uang dari peredaran, termasuk memberikan penggantian dengan nilai yang sama.
 Kewenangan dalam Memberikan dan Mencabut Izin atas Kelembagaan dan Kegiatan Usaha Tertentu dari Bank
Dalam hal pemberian dan pencabutan izin atas suatu bank, Bank Indonesia berwenang memberikan dan mencabut izin usaha bank, memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, dan memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.
Pengaturan tersebut merupakan strategi pembuka (entry strategy), dalam pengaturan bank guna melakukan seleksi terhadap integritas dari calon pemilik dan pengurus, kecukupan modal guna mendukung perkembangan risiko bank, profesinalisme manajemen untuk mengelola bank secara sehat dan bertanggung jawab, serta feasibilitas dan prospek usaha yang layak, sehingga dapat merealisasikan kontribusi positif bagi sistem perbankan yang sehat.
Pengaturan terhadap pemilik merupakan aspek pokok, karena motivasi dan arah perkembangan bank ditentukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham sehingga penilaian terhadap integritas, reputasi, dan komitmen pemegang saham terutama pemegang saham mayoritas atau pemegang saham yang memiliki kontrol suara merupakan syarat yang sangat penting bagi terwujudnya usaha bank yang sehat. Oleh karena itu, aspek pengaturan perizinan ini cukup mencakup syarat perizinan bagi perubahan pemegang saham, terutama pemegang saham yang memegang kontrol terhadap bank, serta perubahan pemegang saham dalam rangka akuisisi, merger, dan konsolidasi.


Hukum Dan Stratifikasi Sosial


MAKALAH
HUKUM DAN STRATIFIKASI SOSIAL           PELENGKAP MATA KULIAH : SOSIOLOGI HUKUM
DOSEN PEMBINA : DR. SUCIATI, SH,. M.HUM


      DI SUSUN OLEH :
1.      ANTONIUS (NPM  120405010034)
2.      HENORIUS TEDE (NPM 120405010031)
3.      NOTEN SUHUN (120405010033)
4.      ERMA ARIFFAI ARGANATA (NPM 120405010024)
5.      HENDRO AGUS PRASETYAWAN (NPM 120405010025)
6.      ROBERTO ANDREASSIBUEA (NPM 120405010032)

UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG
2014


BAB.I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.
Masyarakat dengan segala aspek yang mencakup di dalamnya merupakan suatu objek kajian yang menarik untuk diteliti. Begitu pula dengan sesuatu yang dihargai oleh masyarakat tersebut. Dengan kata lain, sesuatu yang dihargai dalam sebuah komunitas masyarakat akan menciptakan pemisahan lapisan atau kedudukan seseorang tersebut di dalam masyarakat. Pada kajian yang dibahas dalam makalah ini, yaitu Hukum dan stratifikasi sosial  adalah sesuatu yang menarik dimana menurut Lawrence M.Friedmann[1], Stratifikasi social ini merupkan kunci bagi penjelasan, mengapa hukum itu bersifat diskriminatif, baik pada peraturan-peraturannya sendiri, maupun melalui penegakannya. Tidak bisa dihindari hal ini membutuhkan sebuah kajian, yang berguna untuk menindak lanjuti dampak-dampak yang berasal dari stratifikasi sosial dalam masyarakat kaitannya dengan hukum.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, akan dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1.Apa pengertian dari stratifikasi sosial?
2.Bagaimana stratifikasi sosial pada masyarakat kuno?
3.Bagaimana stratifikasi sosial pada masyarakat modern?
4.Apa dampak dari adanya stratifikasi social terhadap hukum?
1.3 Tujuan
1.Mengetahui pengertian dari stratifikasi sosial.
2.Mengetahui stratifikasi sosial yang terjadi pada masyarakat kuno.
3.Mengetahui stratifikasi sosial yang terjadi pada masyarakat modern.
4.Mengetahui dampak dari stratifikasi social dalam masyarakat dan peran hukum.



BAB II
STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT KUNO DAN MODERN
2.1 Pengertian
Stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (vertikal), yakni pemisahan kedudukan anggota masyarakat ke dalam tingkat-tingkat kelas pada masyarakat. Menurut Robert MZ. Lawang [i] Pelapisan sosilal merupakan penggolongan orang –orang dalam suatu sistam sosial tertentu secara hierarki menurut dimensi kekuasaan, privelese, dan prestise.
Jadi stratifikasi sosial adalah perbedaan yang terjadi baik disengaja atau tidak dalam masyarakat secara vertikal. Sedangkan menurut Kingsley Davis dan Wilbert Moore. Menyatakan bahwa tak ada masyarakat yang tidak terstratifikasi atau sama sekali tanpa kelas,menurut pandangan mereka, stratifikasi adalah keharusan fungsional.[ii] Stratifikasi sosial terjadi karena ada sesuatu yang dihargai dalam masyarakat, misalnya: harta, kekayaan, ilmu pengetahuan, kesalehan, keturunan dan lain sebagainya. Stratifikasi sosial akan selalu ada selama dalam masyarakat terdapat sesuatu yang dihargai (Prof. Selo Sormardjan)[iii]. Stratifikasi sosial akan menimbulkan kelas sosial, dimana setiap anggota masyarakat akan menempati kelas sosial sesuai dengan kriteri yang mereka miliki. Kelas sosial adalah golongan yang terbentuk karen adanya perbedaan kedudukan tinggi dan rendah, dan karena adanya rasa segolongan dalam kelas tersebut masing-masing, sehingga kelas yang satu dapat dibedakan dari kelas yang lain (Hasan Sadili)[iv]
Jadi dapat dikatakan bahwa stratifikasi social sangat erat kaitannya dengan Teori evolusi social sebagaimana di gambarkan oleh Herbert Spencer, yang menyatakan bahwa masyarakat tumbuh melalui perkembangbiakan individu dan penyatuan kelompok-kelompok. Peningkatan ukuran masyarakat menyebabkan strukturnya makin luas dan makin terdiferensiasi serta meningkatkan diferensiasi fungsi yang dilakukannya. Disamping pertumbuhan ukurannya, masyarakat berubah melalui penggabungan, yakni makin lama makin menyatukan kelompok-kelompok yang berdampingan. Dengan semakin besarnya kelompok masyarakat tersebut maka didalmnya terjadi pemisahan-pemisahan kelas social. Adapun stratifikasi sosial pada masyarakat kuno dan modern berbeda karena kriteria sesuatu yang dihargai juga berbeda.

2.2 Stratifikasi Sosial pada Masyarakat Kuno
Masyarakat kuno sering disamakan dengan masyarakat pra-industri yang dalam hal ini dilekatkan dengan masyarakat pedesaan. Menurut Riedfeld [v], masyarakat kuno (pra-industri) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.Agak rendah pengetahuan dan teknologinya
2.Komunitasnya kecil
3.Belum benyak mengenal pembagian kerja dan spesialisasi
4.Masih tidak banyak diferensiasi social
5.Tidak banyak heterogenitas
6.Adanya ciri-ciri orde moral, yaitu sebuah prinsip yang mengikat mekanisme masyarakat Sedangkan stratifikasi sosial yang terjadi pada masyarakat kuno adalah:

2.3 Stratifikasi Sosial pada Masyarakat Modern.
Masyarakat modern sering disebut dengan masyarakat industri yang juga sering dilekatkan dengan masyarakat kota. Adapun ciri-ciri masyarakat modern adalah sebagai berikut:
1.Hubungan antar manusia didasarkan atas kepentingan pribadi
2.Hubungan dengan masyarakat lain dilakukan secara terbuka dan suasana saling mempengaruhi, kecuali penjelasan penemuan rahasia
3.Kepercayaan pada manfaat IPTEK sebagai sarana untuk senantiasa meningkatkan kesejahteraan masyarakat
4.Masyarakat tergolong pada macam-macam profesi serta keahlian masing-masing
5.Tingkat pendidikan formal yang tinggi dan merata
6.Hukum tertulis secara sangat kompleks
7.Hampir seluruh ekonomi adalah ekomomi pasar. (Selo Soemardjan)[vi]

BAB. III
DAMPAK STRATIFIKASI SOSIAL PADA KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN PERAN HUKUM

3.1 Dampak Stratifikasi Sosial Pada Kehidupan Masyarakat.
Pengaruh atau dampak stratifikasi sosial pada kehidupan masyarakat sangat besar dan berpengaruh. Karena dengan kelas sosial yang ada akan menyediakan masyarakat dengan apa yang mereka butuhkan. Stratifikasi sosial dalam masyarakat digambarkan mengerucut atau seperti piramida, hal ini disebabkan semakin tinggi kelas sosial, semakin sedikit pula jumlah yang menempatinya. Lebih jauh Davis dan Moore menguraikan, bahwa posisi yang tinggi tingkatannya dalam system stratifikasi dianggap kurang menyenagkan untuk diduduki,tetapi hal tersebut menurutnya penting untuk kelangsungan hidup masyarakat, masyarakat harus memberikan reward yang memadai bagi posisi ini,dan hanya segelintir orang yang menduduki posisi puncak dalam masyarakat, sebaliknya posisi tingkat rendah dalam system stratifikasi dianggap lebih menyenagkan, namun menurutnya posisi seperti ini kurang penting dan diisi oleh kebanyakan masyarakat.[vii]
Kemudian Robert K.Merton menguraikan tipe perilaku yang diakibatkan dengan adanya struktur social dia mencontohkan misalnya,dalam masyarakat Amerika, kulturnya menekankankan pada kesuksesan material.tetapi karena posisi mereka didalam struktur social, banyak orang tercegah dari upaya mencapai sukses material.Jika seseorang terlahir dalam kelas sosioekonomi yang lebih rendah, dan sebagai akibatnya hanya mampu mencapai tingkatan pendidikan terbaik di sekolah menegah, maka peluang orang itu untuk mencapai kesuksesan ekonomi menurut cara yang diterima secara umum (misalnya, melalui kesuksesan di lapangan kerja konvesional) adalah tipis atau tidak ada sama sekali.berdasarkan keadaan demikian sebagai akibatnyaterdapat kecenderungan ke arah perilaku yang menyimpang.dalam keadaan ini penyimpangan sering mengambil bentuk alternative yang tak dapat diterima dan kadang-kadang berbentuk cara-cara illegal dalam mencapai kesuksesan ekonomi, seperti menjadi penyalur obat-obatan terlarang atau menjadi pelacur untuk mecapai kesuksesan tadi.[viii]

Dari uraian diatas, sehingga dapat disimpulkan bahwa dampak stratifikasi sosial pada dalam kehidupan masyarakat adalah:
1.Orang yang menduduki kelas sosial yang berbeda akan memiliki kekuasaan, privelese, dan prestise yang bebeda pula, dalam artian akan menciptakan sebuah perbedaan status sosial.
2.Kemungkinan timbulnya proses sosial yang disosiatif berupa persaingan, kontravensi, maupun konflik
3.Penyimpangan perilaku karena kegagalan atau ketidak mampuan mencapai posisi tertentu. Kejahatan tersebut dapat berupa prostitusi,perdagangan narkotika, alkoholisme, korupsi, kenakalan remaja dan lain sebagainya
4.Konsentrasi elite status, yaitu pemusatan kedudukan yang penting pada golongan
tertentu, misalnya kolusi.

3.2 Peran Hukum sebagai tool of social engineering.
          Stratifikasi social adalah institusi yang menyentuh begitu banyak ciri kehidupan seperti, kekayaan, politik, karier, keluarga, klub, komunitas, gaya hidup.(Collins,1975:49)[ix] dengan demikian hal-hal yang kompleks seprti diatas membutuhkan hokum sebagai alat pengendali social,yang menurut Ronny Hantijo Soemitro[x] control social merupakan aspek normative dari kehidupan social atau dapat di sebut sebagai pemberi defenisi dari tingkah laku yang menyimpang serta akibat-akibatnya seperti larangan-larangan,tuntutan-tuntutan, pemidanaan dan pemberian ganti rugi.walaupun kita ketahui bahwa hukum bukan satu-satunya alat pengendali social, namun fungsi hukum disini dapat dikatakan untuk menetapkan tingkah laku mana yang dianggap penyimpangan terhadap aturan hokum, dan apa sangksi atau tindakan yang dilakukan oleh hukum jika terjadi penyimpangan tersebut.
Rescoe Pound mengemukakan bahwa masyarakat itu terdiri dari kelompok-kelompok dimana di dalamnya sering terjadi konflik antara kepentingan satu dengan kepentingan lainnya.dan disinilah fungsi hokum sebagai rekonsiliasi dan sekaligus diharapkan dapat menciptakan keharmonisan terhadap berbagai tuntutan dan kebutuhan yang saling bertentangan diantara sesama warga masyarakat.[xi]
          Dengan demikian peran hukum dalam kaitannya dengan adanya stratifikasi social dalam masyarakat menjadi hal yang sangat penting, karena dengan adanya hukum, perbedaan-perbedaan kelas yang ada dimasyarakat yang kemudian rentan akan timbulnya konflik dan berbagai macam pelanggaran norma, maka hukum tampil sebagai alat penindak, sehingga dengan demikian harmonisasi antara semua lapisan social yg ada dimasyarakat dapat terjaga.

BAB IV
  PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sebelum kita menarik kesimpulan mari kita melihat kondisi realitas masyarakat modern yang di tandai dengan perkembangan sains dan teknologi, yang disamping membawa banyak kemudahan-kemudahan juga menina bobokan manusia yang membawa kedalam berbagai krisis. Kondisi masyarakat modernitas sekarang semakin kompleks lagi, adanya stratifikasi social membuat kesenjangan social semakin menganga lebar, berbagai macam problem dan krisis global yang serius sangat kompleks dan multidimensional. seperti krisis  ekologis, kekerasan, dehumanisasi, moral, kriminalitas, kelaparan serta penyakit yang menghantui dunia merupakan problema yang terkait satu sama lain dengan peradaban modern tersebut. Di era informasi global, membuat dunia seakan sempit, akses informasi yang begitu cepat, membawa dampak yang luar biasa, maraknya kasus-kasus perceraian, penggunaan obat-obat terlarang, depresi, psikopat, aborsi dan bunuh diri, oleh Fritjop Capra [xii] disebut sebagai penyakit peradaban. Hal yang sama namun distilahkan lain oleh Samuel Huntington [xiii] sebagi konflik peradaban. Hal tersebut dikarenakan terjadinya ketimpangan yang sangat besar antara sains dan teknologi yang berkembang sedemikian pesatnya tanpa diimbangi dengan kearifan moral serta kemanusiaan yang semakin merosot.
 
Dari pembahasan bab-bab diatas  dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.Stratifikasi sosial adalah pembedaan masyarakat dalam kelas-kelas secara bertingkat
2.Stratifikasi sosial ada karena terdapat sesuatu yang dihargai
3.Stratifikasi sosial pada masyarakat kuno dan masyarakat modern berbeda karena perbedaan kriteria sosial yang digunakan.                                                                                
4.Dampak dari stratifikasi sosial sangat besar karena pada kelas sosial yang ada akan menyediakan masyarakat dengan kebutuhan yang mereka butuhkan.timbulnya ketimpangan social yang menganga lebar adalah hal yg tidak bisa terhindarkan deitengah-tengah kehidupan modernis sekarang yang serba indiviualistik, menuntut semua orang untuk berlomba mencapai posisi puncak dalam stratifikasi social dalam masyarakat yang lambat laun akan mengikis, nilai-nilai humanism, moral, bahkan Agama.

4.2Saran-saran
1.Stratifikasi sosial bukan halangan bagi kita untuk menjadi lebih baik. Maka sifat optimis dan merasa cukup dalam hal ini diperlukan.
2.stratifikasi social adalah hal yang sulit terhindarkan dalam masyarakat, maka optimalisasi peran adalah yang terbaik.
3.Norma hukum beserta norma-norma lainnya seperti norma Agama,norma kesusilaan,norma kesopanan,merupakan alat yang efektif dalam mengahadapi berbagai macam problema.yang ditimbulkan dengan adanya stratifikasi social.
4.bahwa kajian yang dibahas dalam makalah ini adalah,bahagian pendekatan sosiologis terhadap hukum

[1] .Prof.DR.Syamsuddin  Pasamai,SH,MH  “Sosiologi & sosiologi hokum.suatu pengetahuan praktis dan terapan.
[i].teori social klasik dan modern.
[ii] .teori sosiologi modern,George Ritzer-Douglas J.Goodman,Jakarta: Kencana 2008
[iii]. Http:// sosionamche. Blogspot. Com.
[iv] . Http:// sosionamche. Blogspot. Com.
[v] .sosiologi untuk smu.2 terbitan airlangga 2009.
[vi] . Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press. SoemardjanSelo, dan Soelaiman Soemardi. (1974). Setangkai Bunga Sosiologi
[vii] . teori sosiologi modern,George Ritzer-Douglas J.Goodman,Jakarta: Kencana 2008 .
[viii] . teori sosiologi modern,George Ritzer-Douglas J.Goodman,Jakarta: Kencana 2008.
[ix] .Collins,Randall,1975,conflict sociology:Toward an Explanatory science.New York
 x.Achmad Ali,Lembaga Penerbitan UNHAS:1990,Mengembara di belantara hukum.
 xi.Prof.DR.Syamsuddin  Pasamai,SH,MH  “Sosiologi & sosiologi hokum.suatu pengetahuan praktis dan terapan.
[ix] . Yesmil & Adang,Pengantar Sosiologi Hukum,:2008,PT.Grasindo Jakarta.
[ix] . Yesmil & Adang,Pengantar Sosiologi Hukum,:2008,PT.Grasindo Jakarta.


DAFTAR PUSTAKA

1.Maftuh, bunyamin dan yadi ruyadi. 1996. Sosiologi 2 untuk SMU. Bandung: Ganeca Exact
2. teori sosiologi modern,George Ritzer-Douglas J.Goodman,Jakarta: Kencana 2008.
3. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press. SoemardjanSelo, dan Soelaiman Soemardi. (1974). Setangkai Bunga Sosiologi
4. Achmad Ali,Lembaga Penerbitan UNHAS:1990,Mengembara di belantara hukum.
5. Prof.DR.Syamsuddin  Pasamai,SH,MH  “Sosiologi & sosiologi hokum.suatu pengetahuan praktis dan terapan.
6. Yesmil & Adang,Pengantar Sosiologi Hukum,:2008,PT.Grasindo Jakarta.
7. Http:// sosionamche. Blogspot. Com. (di akses tgl.14 mei pukul 22.00 wita)

Information

Print Logo

Copyright © 2013 ANTONIUS, SH by Anto Kolarov!.