MAKALAH
MEKANISME DAN PROSEDUR PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL
PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA
Pelengkap Mata Kuliah : Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
DOSEN: Dr Didik Sukriono, SH, MH
Disusun Oleh:
NAMA : Ainul ulum (120405010005)
Antonius (120405010034)
Ivone dhebora
mahdar (120405010001)
Melisa susanti (120405010015)
Rezeqi pangistian (120405010045)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Masa peralihan Indonesia menuju suatu cita demokrasi
merupakan salah satu proses yang menjadi tahapan penting perkembangan
Indonesia. Salah satu aspek yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia
menuju cita demokrasi adalah terjadinya perubahan di bidang ketatanegaraan yang
diantaranya mencakup proses perubahan konstitusi Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945). Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan-perubahan mendasar
sejak dari Perubahan Pertama pada tahun 1999 sampai ke Perubahan Keempat pada
tahun 2002.
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 banyak merubah sistem
hukum Indonesia, yang juga mempengaruhi sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah
satunya ketentuan penting yang lahir dari perubahan tersebut yakni mengenai
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal ini sebenarnya merupakan
konsekuensi logis dari adanya kesepakatan untuk mempertahankan sistem
presidesial dengan menyempurnakan ciri-ciri sistem presidensial. Selain itu,
adanya pengaturan tersebut juga dilatarbelakangi adanya pemikiran bahwa negara
yang identik dengan kekuasaan perlu adanya pembatasan kekuasaan dan adanya
fungsi pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) yang bertujuan
untuk mencegah terjadinya penyimpangan kekuasaan.
Setelah terjadinya
empat kali perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengakibatkan beberapa
perubahan antara lain adanya ketentuan yang secara eksplisit mengatur
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden disebutkan secara
limitatif dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut
diatur dalam Pasal 7A dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945.
Hampir semua negara mengatur mekanisme
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di dalam konstitusi mereka. Hal
yang dapat diperbedakan hanya jenis pelanggaran hukum yang dijadikan alasan
untuk pendakwaan dan prosedur pemberhentian. Selain perbedaan jenis pelanggaran
hukum yang dijadikan alasan untuk pendakwaan, pemberian kewenangan terhadap
lembaga yang menyelesaikan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden juga memiliki perbedaan.
Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden selanjutnya akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh
Mahkamah Konstitusi (MK) apakah pendapat DPR tersebut mempunyai landasan
konstitusional atau tidak. Amar putusan MK atas pendapat DPR tersebut
sekurang-kurangnya terdiri dari tiga kemungkinan.
Kemungkinan dari amar putusan MK itu adalah; Pertama,
amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima apabila
permohonan tidak memenuhi syarat. Kedua, amar putusan MK menyatakan
membenarkan pendapat DPR apabila Presiden dan/ atau Wakil Presiden terbukti
melakukan tindakan yang dituduhkan. Ketiga, amar putusan MK menyatakan
bahwa permohonan ditolak apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak
terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan.[1][1]
Munculnya ketentuan ini sebenarnya merupakan konsekuensi
logis dari adanya keinginan untuk lebih mempertegas sistem pemerintahan
presidensial. Penegasan sistem pemerintahan presidensial tersebut mengandaikan
adanya lembaga kepresidenan yang mempunyai legitimasi kuat yang dicirikan
dengan (1) adanya masa jabatan Presiden yang bersifat tetap (fixed term);
(2) Presiden selain sebagai kepala negara juga kepala pemerintahan; (3) adanya
mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances); dan
(4) adanya mekanisme impeachment.
Impeachment tersebut dilakukan dengan cara yang relatif mudah. Bila DPR
berpendapat bahwa presiden telah melanggar Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) atau mengambil sikap politik yang berlawanan dengan sikap politik DPR,
DPR dapat mengundang MPR untuk melakukan Sidang Istimewa (SI) untuk
membicarakan impeachment presiden. Bila MPR setuju,presiden harus
berhenti.
Mudahnya impeachment presiden di bawah UUD 1945
sebelum amandemen mengakibatkan timbulnya pendapat bahwa sistem presidensial
tersebut tidak murni karena telah bercampur dengan sistem parlementer. Dalam
sistem parlementer, perdana menteri yang merupakan kepala pemerintahan dapat
diberhentikan setiap saat (yang juga berarti bubarnya kabinet) bila tidak lagi
mendapat dukungan DPR. Hilangnya dukungan DPR berarti DPR memberikan “mosi
tidak percaya” kepada perdana menteri dan kabinetnya yang menyebabkan bubarnya
pemerintah. Oleh karena itu sistem parlementer cenderung menghasilkan
ketidakstabilan politik karena kabinet bisa jatuh setiap waktu yang menyebabkan
sulitnya pemerintah melaksanakan program-program pembangunan. Sistem
presidensial yang digunakan di bawah UUD 1945 setelah amandemen telah semakin
mendekati sistem presidensial murni karena presiden dipilih langsung oleh
rakyat dan presiden tetap dapat diberhentikan bila terjadi pelanggaran hukum
sebagai mekanisme kontrol terhadap presiden.
Sebelum terjadinya perubahan terhadap UUD 1945, Presiden
dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dengan alasan-alasan yang bersifat
politik, bukan yuridis. Hal ini tidak lazim diterapkan di negara dengan sistem
pemerintahan presidensial. Oleh karena itu, Perubahan Ketiga UUD 1945 memuat
ketentuan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
yang semata-mata didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat yuridis dan hanya
mengacu pada ketentuan normatif-limitatif yang disebutkan di dalam konstitusi.
Proses pemberhentian tersebut hanya dapat dilakukan setelah
didahului adanya proses konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK) yang
akan memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Adanya
kemungkinan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya oleh MPR atas usul DPR inilah yang secara teknis ketatanegaraan
disebut dengan istilah impeachment.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah Impeachment ditinjau
secara global, sejarah impeachment di Indonesia dan penerapan impeachment
?
2. Bagaimana proses pemakzulan (impeachment)
presiden menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN PEMAKZULAN (IMPEACHMENT)
Istilah impeachment berasal dari kata “to impeach”,
yang berarti meminta pertanggungjawaban. Jika tuntutannya terbukti, maka
hukumannya adalah “removal from office”, atau pemberhentian dari
jabatan. Dengan kata lain, kata “impeachment” itu sendiri bukanlah
pemberhentian, tetapi baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran hukum
yang dilakukan. Oleh karena itu, dikatakan Charles L. Black, “Strictly
speaking, ‘impeachment’ means ‘accusating’ or ‘charge’.” Artinya, kata impeachment
itu dalam bahasa Indonesia dapat kita alih bahasakan sebagai dakwaan atau
tuduhan.
Black's Law Dictionary mendefinisikan impeachment sebagai “A criminal
proceeding against a public officer, before a quasi political court,
instituted by a written accusation called ‘articles of impeachment”.8 Impeachment
diartikan sebagai suatu proses peradilan pidana terhadap seorang pejabat
publik yang dilaksanakan di hadapan Senat, disebut dengan quasi political
court. Suatu proses impeachment dimulai dengan adanya articles of
impeachment, yang berfungsi sama dengan surat dakwaan dari suatu peradilan
pidana.
Menurut Marsilam Simanjuntak impeachment
adalah “Suatu proses tuntutan hukum (pidana) khusus terhadap seorang Pejabat
Publik ke depan sebuah quasi-pengadilan politik, karena ada tuduhan pelanggaran
hukum sebagaimana yang ditentukan Undang Undang Dasar RI 1945. Hasil akhir dari
mekanisme impeachment ini adalah pemberhentian dari jabatan, dengan
tidak menutup kemungkinan melanjutkan proses tuntutan pidana biasa bagi
kesalahannya sesudah turun dari jabatannya”.
Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie Banyak pihak yang
memahami bahwa impeachment merupakan turunnya, berhentinya atau
dipecatnya Presiden atau pejabat tinggi dari jabatannya. Sesungguhnya arti impeachment sendiri merupakan
tuduhan atau dakwaan sehingga impeachment lebih menitikberatkan pada
prosesnya dan tidak mesti berakhir dengan berhenti atau turunnya Presiden atau
pejabat tinggi negara lain dari jabatannya.
Dengan demikian nyatalah bahwa impeachment berarti
proses pendakwaan atas perbuatan menyimpang dari pejabat publik. Pengertian
demikian seringkali kurang dipahami, sehingga seolah-olah lembaga “impeachment”
itu identik dengan ‘pemberhentian’.
2.
SEJARAH IMPEACHMENT TERHADAP PRESIDEN DI INDONESIA DI
INDONESIA
Masa Soekarno
Sejak awal berlakunya demokrasi terpimpin, Soekarno sudah
menunjukkan tanda-tanda otoritariannya. Di antaranya yang paling menonjol
diawali dengan pembubaran DPR hasil pemilu 1955, yang kemudian atas dasar
Penetapan Presiden No. 4/1960, dibentuk DPRGR.
Kemudian pada tanggal 13 November 1963, Soekarno sebagai
presiden merombak Kabinet Kerja III menjadi Kabinet Kerja IV yang juga
menempatkan Ketua dan Wakil Ketua DPRGR, Ketua dan Wakil Ketua MPRS, Ketua dan
Wakil Ketua DPA, dan Ketua Dewan Perancang Nasional sebagai Menteri. Dengan
demikian kedudukan keempat badan negara tersebut berada di bawah posisinya.
Di tengah krisis ekonomi saat itu, muncul pula pemberontakan
G 30S/PKI yang semakin mengharu-birukan konstelasi politik saat itu. Mahasiswa
pun ramai menggelar aksi demostrasi, mengusung Tritura, disusul dengan reshuffle
kabinet Soekarno yang terjadi berkali-kali. Terakhir, upaya reshuffle Soekarno
dengan merombak kabinet Dwikora yang disempurnakan yang terdiri dari 100
menteri dengan kabinet Dwikora yang disempurnakan lagi.
Setelah itu, akhirnya Soekarno melakukan upaya terakhir pada
tanggal 22 Juni 1966 bersamaan dengan pelantikan pimpinan MPRS, dengan
melakukan yang disebutnya sebagai pidato pertanggungjawaban sukarela.102 DPRGR tidak puas dengan pidato pertanggungjawaban presiden
Soekarno yang berjudul Nawaksara pada Sidang Umum MPRS 1966 itu, khususnya
hal-hal yang berkaitan dengan sebab-sebab terjadinya G 30S/PKI. Karenanya DPRGR
saat itu mengajukan pernyataan pendapat kepada presiden dan memorandum kepada
MPRS yang menghendaki dilengkapinya pidato Nawaksara oleh presiden.
Atas dasar memorandum ini, maka diadakanlah Sidang Istimewa
MPRS untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Soekarno. Karena
pertanggungjawaban yang disampaikan Presiden Soekarno tidak dapat diterima,
maka melalui Tap No. XXXIII/MPRS/1967, Majelis mencabut kekuasaan pemerintahan
dari Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden. Pasal 8
Undang-Undang Dasar 1945 yang mengharuskan Wakil Presiden menggantikan posisi
Presiden saat terjadi kekosongan kekuasaan, tidak berlaku. Karena saat itu
tidak ada Wakil Presiden.
Ketika itu MPRS menyatakan bahwa Presiden Soekarno sebagai
mandataris, telah tidak dapat memenuhi pertanggungan jawab konstitusionalnya
serta dinilai telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan MPRS. Suksesi
kepemimpinan negara dari Soekarno ke Soeharto ini, dengan demikian bukan karena
alasan mangkat atau berhentinya Soekarno, melainkan karena kondisi yang dinilai
sebagai tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Memang tidak ada definisi yang
jelas mengenai hal ini. Namun penulis berkesimpulan bahwa dalam ketentuan
maupun praktek ketatanegaraan, kondisi ini pada akhirnya digunakan sebagai
alasan pemberhentian presiden pada masa jabatannya. Walaupun tidak ada ukuran
yang jelas mengenai alasan pemberhentian presiden, tetapi pada prakteknya
proses impeachment telah terjadi pada presiden RI.
Pada Ketetapan MPRS tentang pencabutan kekuasaan Presiden
Soekarno itu, ditegaskan pula bahwa penetapan penyelesaian persoalan hukum
selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Soekarno, dilakukan menurut
ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini
semakin menegaskan bahwa forum previlegiatum sebagai proses penegakan
hukum seorang Kepala Negara dan/atau Kepala Pemerintahan melalui peradilan
pidana biasa pada saat yang bersangkutan masih menjabat, tidak diakui oleh Undang-Undang
Dasar 1945 maupun pada praktek ketatanegaraannya.[2][2] Di sisi lain, hal ini bertentangan
dengan prinsip equality before the law, yang juga dianut oleh
Undang-Undang Dasar 1945 melalui Pasal 27 ayat 1.
Masa Soeharto
Menyusul aksi mahasiswa yang marak di seluruh pelosok tanah
air yang menuntut Presiden Soeharto untuk turun dari kursi kepresidenan. Pada
tanggal 21 Mei 1998, penguasa 32 tahun semasa Orde Baru ini pun akhirnya
menyatakan berhenti dari jabatannya. Saat itu kabinet dinyatakan demisioner dan
kemudian jabatan Presiden digantikan oleh Wakil Presiden Prof. Dr. B.J. Habibie
yang disusul dengan pengangkatan sumpah jabatannya di hadapan Mahkamah Agung.
Saat itu, terjadi eforia di kalangan masyarakat luas
menyambut pengunduran diri Soeharto, termasuk sebagian kelompok yang kemudian
mempertanyakan legitimasi kepemimpinan Habibie. Antara lain argumentasi yang
kontra terhadap proses pergantian tersebut menyatakan bahwa Habibie tidak
mempunyai legitimasi yang kuat untuk memegang kekuasaan Presiden. Padahal
merujuk pada ketentuan Pasal 4 Tap MPR No. III/MPR/1978 tentang kedudukan dan
Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga
Tinggi Negara, dinyatakan bahwa salah satu alasan pemberhentian Presiden oleh
MPR sebelum habis masa jabatannya adalah karena atas permintaan sendiri.
Sebagai konsekwensi dari kondisi tersebut, berlakulah
ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 jo. Pasal 2 ayat 1 Tap MPR No.
VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik
Indonesia Berhalangan, sehingga Habibibe pun diambil sumpahnya di hadapan
Mahkamah Agung, sehubungan dengan kondisi gedung MPR/DPR yang masih hiruk-pikuk
karena dibanjiri massa sehingga tidak memungkinkan menggunakannya untuk
pengambilan sumpah dan janji Presiden yang baru.
Dengan demikian status B.J. Habibie secara konstitusional
sah sebagai Presiden RI yang menggantikan Soeharto sampai habis masa
jabatannya. Namun, karena kontroversi tersebut tak kunjung usai, akhirnya masa
jabatannya pun dipercepat dengan perubahan jadwal pemilu yang dipercepat pula.
Padahal dari sudut hukum ketatanegaraan, Habibie harus menjalankan tanggung
jawabnya sebagai Presiden sampai dengan habis masa jabatannya, yakni hingga
tahun 2003.
Di tengah perlakuan sewenang-wenang Soeharto, dalam kondisin
ketatanegaraan yang normal, sesungguhnya ia berpeluang untuk diberhentikan oleh
MPR sebelum habis masa jabatannya, bahkan jauh sebelum tahun 1998. Namun
demikian, selain karena berhalangan tetap dan atas permintaan sendiri, MPR
hanya dapat memberhentikan Presiden sebelum habis masa jabatannya dengan alasan
sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara Sementara tidak ada penjelasan lebih lanjut apa saja
tindakan-tindakan yang secara jelas dapat dikategorikan sebagai melanggar
haluan negara. Walaupun pada prakteknya hal ini pernah terjadi pada Presiden
Soekarno.
Masa B.J. Habibie
Berdasarkan konstitusi, B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden
saat Soeharto menyatakan berhenti secara sepihak, seharusnya menggatikan posisi
Presiden sampai habis masa jabatannya. Namun melalui kompromi politik tingkat
tinggi, Sidang Istimewa MPR telah disepakati untuk terselenggara agar dapat
mempercepat jadwal pemilu. Dan dalam Sidang Umum MPR hasil pemilu 1999, Habibie
menyampaikan pidato pertanggungjawabannya. Sebagaimana kita ketahui bersama,
pidato pertanggungjawaban Habibie itu kemudian ditolak oleh MPR, yang karenanya
ia menyatakan untuk tidak bersedia dicalonkan sebagai presiden periode
berikutnya.
Dari aspek hukum tata negara, pertanggungjawaban presiden
kepada MPR termasuk pada kategori pertanggungan jawab dalam arti luas, karena
ada sanksinya. Dalam hal ini penolakan pidato pertanggungjawaban Habibie
memiliki sanksi yang berakibat ia tidak dapat mencalonkan diri lagi pada
pemilihan presiden untuk periode berikutnya.
3.
MEKANISME dan PROSEDUR IMPEACHMENT
Bangsa indonesia pada masa reformasi mencapai keberhasilan
dalam penyempurnaan UUD 1945 yang dilakukan dalam empat tahap rangkaian
perubahan. Perubahan- perubahan yang dilakukan cukup luas dan mendasar, baik
dari segi kualitas dan kuantitasny. Terbukti dengan adanya Impechment yang terdapat dalam pasal 7A perubahan ketiga UUD 45.
Pejabat negara yang dapat di-impeach di Indonesia
menurut UUD setelah perubahan hanyalah Presiden dan/atau Wakil Presiden. Berbeda
dengan aturan di negara lain dimana mekanisme impeachment bisa dilakukan
terhadap pejabat-pejabat tinggi negara. Misalkan di Amerika Serikat, Presiden
dan Wakil Presiden serta Pejabat Tinggi Negara adalah objek yang dapat
dikenakan tuntutan impeachment sehingga dapat diberhentikan. Pengaturan
bahwa hanya Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat dikenakan tuntutan impeachment
terdapat pada pasal 7A UUD 1945 yang menyebutkan “Presiden dan/atau Wakil
Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat,...”
Mekanisme impeachment di Indonesia harus melalui 3
(tiga) tahap pada 3 (tiga) lembaga tinggi negara yang berbeda. Tahapan pertama
proses impeachment adalah pada DPR. DPR dalam menjalankan fungsi
pengawasannya memiliki tugas dan kewenangan untuk mengawasi jalannya
pemerintahan. Bilamana dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan tersebut DPR
menemukan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran-pelanggaran yang termasuk dalam alasan impeachment sebagaimana
disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945[3][3] maka DPR setelah sesuai dengan ketentuan prosedur
internalnya (tata tertib DPR) mengajukan tuntutan impeachment tersebut
kepada MK.
Tahapan kedua proses impeachment berada di
tangan MK. Sesuai dengan ketentuan pasal 7B ayat (4) maka MK wajib memeriksa,
mengadili dan memutus pendapat DPR tersebut. Kedudukan DPR dalam persidangan MK
adalah sebagai pihak pemohon karena DPR-lah yang memiliki inisiatif dan
berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
yang disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945.
Setelah MK memberi putusan atas pendapat DPR dan isi putusan
MK adalah membenarkan pendapat DPR tersebut maka tahapan ketiga proses impeachment
berada di MPR. UUD 1945 memberikan batasan bahwa hanya bilamana MK
membenarkan pendapat DPR tersebut maka DPR dapat meneruskan proses impeachment
atau usulan pemberhentian ini kepada MPR. Keputusan DPR untuk melanjutkan
proses impeachment dari MK ke MPR juga harus melalui keputusan yang
diambil dalam sidang paripurna DPR.[4][4]
Proses pengambilan keputusan MPR atas usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden ini dilakukan dengan mengambil suara terbanyak
dalam rapat paripurna. Komposisi dan tata cara pengambilan suara terbanyak itu
juga diatur secara rinci oleh UUD 1945 yaitu rapat paripurna MPR harus dihadiri
oleh sekurang-kurangnya ¾ dari seluruh anggota MPR. Dan persetujuan atas usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus disepakati oleh sekurang-kurangnya
2/3 dari anggota MPR yang hadir dalam rapat paripurna.
Kemudian terkait dengan ketentuan dan prosedur Impeachment yang ada dalam UUD 1945,
sebelum dan sesudahnya perubahan ketiga juga memiliki perbedaan. Sebelum
perubahan ketiga, ada dua lembaga yang terlibat dalam proses impeachment, yiatu DPR dan MPR. DPR
berwenagn mengontrol kekuasaan eksekutif. Jika dianggap melanggar haluan
negara, DPR dapat mengajukan memorandum I dan II. Jika dua bulan setelah
memorandum ke II, mayoritas DPR tidak puas terhadap respon presiden, mereka
dapat mengajukan permohonan sidang istimewa kepada MPR.
MPR kemudaian
menetapkan jadwal sidang dan meminta presiden untuk menyampaikan
pertanggungjawabannya. Setelah mendegarkan keterangan pesiden MPR akan
mengadakan voting apakah presiden di impeach
atau tidak..
Setelah amandemen UUD 45 yang ketiga barulah prosedur
mengenai impeachment, muncul satu
lembaga lagi yang terlibat dalam prosedur impeachment,
yaitu Mahkamah Konstitusi. Dimana DPR mengajukan kasus impeachment terhadap Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini, DPR
meminta Mahkamah Konstitusi menginvestigasi dan memutuskan, apakah presiden
melanggar hukum atau tidak.
4.
Proses Impeachment
Proses Impeachment di DPR
UUD 1945
mengatur bahwa DPR memiliki tiga fungsi yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran
dan fungsi pengawasan.[5][5]
Atas dasar pelaksanaan fungsi pengawasan ini maka DPR dapat mengajukan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal 7B ayat (2) UUD 1945
menyebutkan “Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/ atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden adalah dalam rangka
pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Proses
fungsi pengawasan dari DPR dalam rangka usul pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden ini dimulai dari hak menyatakan pendapat yang dimiliki oleh
setiap anggota DPR. Mekanisme pengajuan hak menyatakan pendapat ini diatur
dalam pasal 182 sampai dengan pasal 188 Peraturan Tata Tertib DPR (Keputusan
DPR nomor 15/DPR RI/I/2004-2005).
Pertama-tama,
minimal harus ada 17 (tujuh belas) orang anggota DPR yang mengajukan usul
menyatakan pendapat mengenai dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Usul menyatakan
pendapat beserta penjelasannya tersebut disampaikan secara tertulis kepada
Pimpinan DPR dengan disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul serta nama
Fraksinya. Pimpinan DPR memberitahukan kepada Anggota masuknya usul menyatakan
pendapat pada Rapat Paripurna, kemudian usul tersebut dibagikan kepada seluruh
Anggota.
Setelah
pemberitahuan Pimpinan DPR dalam Rapat Paripurna, Usulan tersebut dibahas dalam
Rapat Badan Musyawarah untuk menentukan waktu dan agenda Rapat Paripurna
berikutnya. Dalam Rapat Badan Musyawarah yang membahas penentuan waktu
pembicaraan dalam Rapat Paripurna tentang usul menyatakan pendapat tersebut,
kepada pengusul diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang
usulnya secara ringkas.
Dalam
Rapat Paripurna yang telah ditentukan agendanya pada Rapat Badan Musyawarah,
anggota yang mengusulkan pendapat atas tuntutan impeachment kepada Presiden
dan/atau wakil Presiden diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan atas
usulnya. Fraksi-Fraksi diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangannya
atas usulan tersebut. Kemudian, kepada anggota yang mengusulkan pendapat
tuntutan impeachment diberikan hak untuk menjawab pandangan fraksi itu.
Selanjutnya,
Rapat Paripurna memutuskan apakah usulan hak menyatakan pendapat tersebut
secara prinsip dapat diterima atau tidak. Bilamana Rapat Paripurna memutuskan
untuk menolak usulan hak menyatakan pendapat maka usulan tersebut tidak dapat
diajukan kembali pada Masa Sidang itu. Namun bila Rapat Paripurna menyetujui
usulan hak menyatakan pendapat, DPR kemudian membentuk Panitia Khusus.
Tugas
Panitia Khusus adalah melakukan pembahasan dengan Presiden dan atau Wakil
Presiden. Dalam melakukan pembahasan atas tuduhan impeachment kehadiran
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat diwakili. Hal ini berkaitan dengan
hak subpoena yang dimiliki oleh Panitia Khusus dalam rangka hak angket atau hak
menyatakan pendapat. Hak subpoena adalah memanggil secara paksa seseorang yang
dirasakan perlu didengar keterangannya pada penyelidikan yang dilakukan panitia
khusus. Bilamana yang bersangkutan tidak hadir dalam pemanggilan yang dilakukan
oleh Panitia Khusus maka ada ancaman sandera selama 15 (lima belas) hari.
Pengaturan ini adalah aturan lebih lanjut dari ketentuan pasal 30 UU nomor 22
tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Meskipun
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden namun
proses penyelidikan yang dilakukan oleh DPR adalah dalam konteks fungsi
pengawasan dan hak menyatakan pendapat yang diatur dalam peraturan tata tertib
DPR. Sehingga proses penyelidikan yang dilakukan DPR bukanlah dalam arti sedang
menyelidiki perkara pidana sebagaimana yang dilakukan oleh penyelidik, penyidik
atau penuntut umum. Proses penyelidikan pelanggaran hukum oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden oleh DPR harus sesuai dengan mekanisme yang telah
diatur dalam peraturan tata tertibnya. Selain itu Panitia Khusus dalam
melakukan pembahasan juga dapat mengadakan Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat,
dan/atau Rapat Dengar Pendapat Umum dengan pihak yang dipandang perlu, termasuk
dengan pengusul. Pembahasan yang dilakukan oleh Panitia Khusus menjadi bahan
pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna untuk menyetujui atau menolak
pernyataan pendapat tersebut.
Pengambilan
keputusan dalam hal tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden
pada Rapat Paripurna harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)
dari seluruh Anggota. Keputusan untuk menyetujui atau menolak pernyataan
pendapat, harus didukung oleh sekurang-kurangnya 2/ 3 (dua pertiga) dari Anggota
yang hadir dalam rapat tersebut.
Bila
Keputusan Rapat Paripurna menyetujui usulan tuduhan impeachment tersebut maka pendapat tersebut disampaikan kepada MK
untuk mendapatkan putusan. Dan hanya apabila MK memutuskan membenarkan pendapat
DPR, DPR kemudian menyelenggarakan Rapat Paripurna untuk melanjutkan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
Proses Impeachment di MK
Yang
menjadi fokus perhatian dalam proses impeachment di MK adalah bahwa MK
memutus benar atau salahnya pendapat DPR atas tuduhan impeachment yang
ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketika proses impeachment
di MK, MK berarti tidak sedang mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden
atas tuduhan impeachment karena yang menjadi obyek dalam proses impeachment
di MK adalah pendapat DPR.
MK wajib
memeriksa, mengadili dan memberikan putusan atas pendapat tersebut. Pendapat
DPR yang diputuskan dalam rapat paripurna adalah lebih bernuansa politis. Oleh sebab
itu proses impeachment di MK adalah untuk melihat tuduhan impeachment
kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam perspektif hukum. Karena MK
merupakan institusi peradilan sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman
maka putusan yang dijatuhkan MK atas pendapat DPR adalah untuk memberi
justifikasi secara hukum.
DPR adalah
satu-satunya pihak yang memiliki legal standing untuk beracara di MK
dalam rangka tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Disebutkan secara eksplisit dalam pasal 80 ayat (1) bahwa ”Pemohon
adalah DPR”. Akan tetapi, permasalahan yang muncul adalah siapakah yang akan
mewakili DPR dalam persidangan di MK atau dapatkah DPR menunjuk kuasa hukum
untuk mewakili kepentingannya di persidangan MK?
Dalam hal
penunjukkan kuasa hukum, UU MK secara umum mengatur bahwa setiap pemohon
dan/atau termohon yang beracara di MK dapat didampingi atau diwakili oleh
kuasanya.[6][6]
Berarti DPR sebagai pemohon dalam perkara tuduhan impeachment di MK juga
dapat menunjuk kuasa untuk mendampingi atau mewakilinya dalam beracara di MK.
Akan tetapi, dengan pertimbangan untuk memberikan keterangan
selengkap-lengkapnya kepada Majelis Hakim Konstitusi tentu lebih baik bilamana
DPR menunjuk anggota-anggotanya yang terlibat secara intens dalam rapat-rapat
di DPR ketika penyusunan tuduhan impeachment. Misalnya anggota-anggota
yang mengusulkan hak menyatakan pendapat maupun anggota Panitia Khusus yang
dibentuk untuk melakukan pembahasan tuduhan impeachment di DPR.
Bagaimana
dengan kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam proses impeachment di
MK?
Dari
seluruh ketentuan hukum acara pelaksanaan kewenangan dan kewajiban MK yang
diatur dalam UU MK hanya ada satu ketentuan hukum acara pelaksanaan kewenangan
MK yang secara eksplisit menyebutkan adanya termohon yaitu kewenangan MK
memutus sengketa antar lembaga negara. Hal ini berarti bahwa selain kewenangan
memutus sengketa lembaga negara, seluruh pelaksanaan hukum acara kewenangan dan
kewajiban MK bersifat adversarial. Kehadiran atau pemanggilan pihak-pihak
selain pemohon dalam persidangan bukanlah untuk saling berhadapan dengan
pemohon namun untuk dimintai keterangan bagi Majelis Hakim Konstitusi melakukan
pemeriksaan silang (cross check) ataupun memperkaya data-data yang
dibutuhkan.
Dengan
demikian, dalam proses impeachment di MK kehadiran Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam persidangan MK bukanlah sebagai termohon. Dan kehadiran
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan MK adalah hak bukanlah
kewajiban. Hak Presiden dan/atau Wakil Presiden yang mengalami tuduhan impeachment
untuk memberikan keterangan dalam persidangan MK menurut versinya bilamana
Presiden dan/atau Wakil Presiden menganggap bahwa pendapat maupun keterangan
yang diberikan oleh DPR dalam persidangan MK tidak benar.
Dalam hal
penunjukan kuasa hukum dalam persidangan MK maka Presiden dan/atau Wakil
Presiden juga memiliki hak untuk didampingi atau diwakili oleh kuasa hukum.
Namun untuk mencegah adanya distorsi akan lebih baik bilamana Presiden dan/atau
Wakil Presiden hadir dalam persidangan MK sebagaimana Presiden dan/atau Wakil
Presiden diwajibkan hadir untuk memberikan keterangan dalam rapat pembahasan
Panitia Khusus yang dibentuk oleh DPR sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata
Tertib DPR.
Proses Impeachment di MPR
Apabila MK
menjatuhkan putusan membenarkan pendapat DPR maka DPR menyelenggarakan Rapat
Paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
kepada MPR. MPR setelah menerima usul DPR wajib menyelenggarakan sidang untuk
memutus usulan DPR dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
MPR menerima usulan tersebut.Tata cara Impeachment dalam lembaga MPR diatur
dalam bab XV (pasal 83) mengenai Tata Cara pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden Dalam Masa Jabatannya Peraturan Tata Tertib (Keputusan MPR RI
nomor 7/MPR/2004 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI sebagaimana telah diubah
dengan Keputusan MPR RI nomor 13/MPR/2004 tentang Perubahan Peraturan Tata
Tertib MPR RI).
Pimpinan
MPR kemudian mengundang Anggota MPR untuk mengikuti Rapat Paripurna yang
mengagendakan memutus usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
yang diajukan oleh DPR. Pimpinan MPR juga mengundang Presiden dan/atau Wakil
Presiden untuk menyampaikan penjelasan yang berkaitan dengan usulan pemberhentiannya
didalam rapat Paripurna Majelis.
Presiden
dan/atau Wakil Presiden wajib hadir untuk memberikan penjelasan atas usul
pemberhentiannya. Apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak hadir untuk
menyampaikan penjelasan, maka Majelis tetap mengambil putusan terhadap usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pengambilan
Putusan terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang
diajukan DPR setelah adanya putusan MK dilaksanakan melalui mekanisme
pengambilan suara terbanyak. Persyaratan pengambilan suara terbanyak itu adalah
diambil dalam rapat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya dari jumlah Anggota
Majelis (kuorum), dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota
yang hadir yang memenuhi kuorum.
5.
Alasan Impeachment
Alasan-alasan
impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden diatur secara rinci
oleh UUD 1945. Hanya saja contoh-contoh perbuatan atau penafsiran atas
bentuk-bentuk perbuatan yang diatur dalam UUD tersebut masih merupakan subyek perdebatan.
Perdebatan ini tidak hanya terjadi di Indonesia yang baru mengadopsi ketentuan
tentang proses impeachment, namun perdebatan ini juga terjadi pada
negara-negara yang telah mengadopsi mekanisme impeachment sejak lama.
Misalkan saja di Amerika Serikat, perdebatan atas penafsiran kata high
crimes dan misdemeanor[7][7] masih merupakan perdebatan yang panjang dan tidak ada suatu
bentuk batasan atas perbuatan konkrit yang menunjukkan pada pelaksanaan
perbuatan tersebut sehingga seorang Presiden, Wakil Presiden dan Pejabat Tinggi
Negara Amerika Serikat dapat dituntut atas perbuatan tersebut. Penafsiran kata
atas perbuatan tersebut diserahkan kepada DPR (House of Representatives)
sebagai landasannya untuk menuntut Presiden, Wakil Presiden dan Pejabat Tinggi
Negara dan kata akhir atas penafsiran high crimes dan misdemeanor menjadi
kewenangan hakim dalam pengadilan impeachment untuk mengambil putusan
apakah benar Presiden, Wakil Presiden dan/atau Pejabat Tinggi Negara tersebut
telah melakukan high crimes dan misdemeanor.
Pasal 7A
UUD 1945 menyebutkan bahwa alasan-alasan impeachment adalah
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Penjabaran
atas bentuk-bentuk perbuatan sebagai alasan impeachment tersebut diatur
dalam UU yang mengatur mengenai masalah-masalah itu sebagaimana disebutkan
dalam pasal 10 ayat (3) UU nomor 24 tahun 2003 tentang MK. Berikut ini adalah
alasan-alasan impeachment dengan bentuk-bentuk perbuatan yang diatur
dalam UU-nya :
a. Pengkhianatan Terhadap
Negara : UU nomor 24 tahun 2003, Pasal 10 ayat (3) huruf a menyebutkan bahwa
yang dimaksud pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap
keamanan negara sebagaimana diatur dalam UU. Mengenai kejahatan terhadap
keamanan negara, hal ini diatur dalam KUHP buku II tentang Kejahatan pada Bab I
Kejahatan terhadap Keamanan Negara, disebutkan dalam pasal 104 sampai dengan
129 serta UU nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
b. Korupsi dan Penyuapan:
UU nomor 24 tahun 2003, Pasal 10 ayat (3) huruf b menyebutkan bahwa yang
dimaksud korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan
sebagaimana diatur dalam UU.
c.
Tindak Pidana Berat
Lainnya: UU nomor 24 tahun 2003, Pasal 10 ayat (3) huruf c menyebutkan bahwa
yang dimaksud tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
d.
Perbuatan Tercela: UU
nomor 24 tahun 2003 Pasal 10 ayat (3) huruf d menyebutkan bahwa yang dimaksud
perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
e. Tidak Lagi memenuhi
Syarat Sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden UU nomor 24 tahun 2003 Pasal 10
ayat (3) huruf e menyebutkan bahwa yang dimaksud tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 6 UUD 1945.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Proses pemberhentian Presiden dan/atau wakil Presiden dari
jabatannya bukanlah hal yang baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Sebelum perubahan UUD, Indonesia juga memiliki mekanisme bagaimana Presiden
dan/atau wakil Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya. Sebagaimana pernah
terjadi dalam masa keperintahan sebelumnya. Namun demikian proses pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden atas tuduhan (impeachment) melalui
proses politik dan hukum baru diadopsi dalam perubahan UUD 1945.
DPR
menjadi pemain utama dalam drama impeachment di Indonesia. Diawali oleh
tuduhan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat oleh DPR berdasarkan pelaksanaan
fungsi pengawasannya, kemudian DPR menjadi pemohon dalam proses impeachment di
MK. Bila MK membenarkan pendapat DPR, maka DPR pula-lah yang akan membawa
tuduhan tersebut kepada MPR untuk mendapat penyelesaian akhir dari kasus impeachment
ini. Pada intinya, impeachment adalah suatu proses yang didesain
untuk menjalankan sebuah mekanisme checks and balances dalam kekuasaan.
Alasan-alasan
impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden ditentukan secara limitatif
dalam konstitusi, meskipun alasan-alasan tersebut memiliki penafsiran yang
sangat luas dan dapat saja subjektif terutama dalam sebuah lembaga politik di
DPR. Alasan-alasan impeachment yang memancing banyak tafsir adalah atas
tuduhan “tindak pidana berat lainnya” (high crimes) dan “perbuatan
tercela” (misdemeanor). Bahkan di Amerika Serikat serta negara-negara
lain yang mencantumkan anasir high crimes dan misdeameanor masih
terdapat wacana dan perdebatan yang hebat dalam menafsirkan alasan impeachment
tersebut.
Alasan impeachment yang dituduhkan DPR tersebut
adalah alasan yang berangkat dari sebuah proses politik dimana
kepentingan-kepentingan yang lebih bermain untuk menghasilkan sebuah keputusan.
Oleh sebab itu, ada sebuah lembaga yang memberikan legitimasi dalam perspektif
yuridis dengan memberikan tafsiran atas tuduhan yang dijatuhkan kepada Presiden
dan/atau Wakil Presiden tersebut. Lembaga konstitusional yang berwenang untuk
memberikan tafsir yuridis atas tuduhan DPR tersebut adalah Mahkamah Konstitusi.
Pada posisi ini MK memiliki peranan yang sangat strategis karena MK adalah
salah satu lembaga pemegang kekuasaan kehakiman. Akan tetapi pada proses impeachment
ini MK tidak sedang mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai
pribadi yang melakukan “tindak pidana”. Tapi obyek sengketa yang menjadi fokus
pemeriksaan MK adalah pendapat DPR. Oleh sebab itu, bilamana ada pengadilan
yang memeriksa Presiden dan/atau Wakil Presiden yang telah diberhentikan atas
tuduhan melakukan pelanggaran hukum maka pengadilan tersebut tetap memiliki
kewenangan untuk melakukannya dan tidak bertentangan dangan asas ne bis in
idem. Karena pengadilan tersebut mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden
a quo dalam kapasitasnya sebagai pribadi yang melakukan tindak pidana.
Drama impeachment pada episode persidangan di MK adalah dalam kerangka
peradilan tata negara. Sehingga MK tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan
putusan yang berupa sanksi pidana.
Jika
dan hanya jika putusan yang dijatuhkan MK adalah “membenarkan pendapat DPR”
maka DPR dapat melanjutkan proses impeachment ke MPR. Suara terbanyak
anggota MPR sesuai dengan prosedur yang diatur oleh konstitusi (Pasal 7B ayat
(7) UUD 1945) yang akan menjadi kata akhir dalam persoalan impeachment di
Indonesia.
B. SARAN ATAU REKOMENDASI
1. DPR memegang peranan kunci dalam
proses impeachment karena DPR-lah yang memulai proses impeachment bagi
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Oleh karena itu, DPR harus segera melengkapi
ketentuan dalam peraturan tata tertibnya yang mengatur mengenai proses impeachment.
Bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan yang harus dilengkapi adalah
mengenai penetapan siapa yang akan mewakili DPR dalam beracara di Mahkamah
Konstitusi, mengenai proses dan aturan yang mengikat panitia khusus DPR dalam
melakukan penyelidikan atas tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
2. Seharusnya Presiden dan/atau Wakil
Presiden diberikan waktu untukm membela dirinya di depan pengadilan MK, karena
presiden dan/atau wakil presiden hanya diberikan waktu untuk membela dirinya di
depan sidang paripurna MPR, setelah ada keputusan MK, berarti jelas disini
terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. Mekanisme
Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi. Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan
Konrad Adenauer Stiftung, Jakarta, 2005.
Ibrahim, Harmaily. Majelis
Permusyawaratan Rakyat: Suatu Tinjauan dari Sudut Hukum Tata Negara. Jakarta:
Sinar Bakti, 1979.
Junal Media Hukum. Yogyakarta:
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2009.
Kunthi Dyah Wardani. Impeachment
Dalam Ketatanegaraan Indonesia.
Yogyakarta: UII Press, 2007.
Undang-undang Dasar Republik
Indonesia 1945
Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
istilah-istilah-impeachment
armingsh.blogspot di akses tanggal 12 Oktober 2012
pemberhentian-presiden-danatau-wakil-presiden-dalam-masa-jabatannya-menurut-sistem-ketatanegaraan-indonesia
fristianhumalanggionline.wordpress. di akses tanggal 12 Oktober 2012
pemberhentian-presiden
Cpemakzulan-impeachment ilhamendra.wordpress di akses tanggal 12 Oktober 2012