TUGAS
ASAS ASAS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
Pelengkap Mata Kuliah : Hukum Pidana
Internasional
Dosen Pembina : Erika Kindyawati,
SH.
Di susun Oleh :
Antonius
NIM : 120405010034
Fakultas/Jurusan : Ilmu Hukum
UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG
2014
ASAS-ASAS HUKUM PIDANA
INTERNASIONAL
1.
PENDAHULUAN
Hukum pidana internasional sendiri bersumber dari dua bidang
hukum yaitu, hukum internasional mengenai masalah-masalah pidana dan hukum
pidana nasional yang mengandung dimensi-dimensi internasional.
Oleh
karena itu, maka asas-asas hukumnya pun juga bersumber dari asas-asas hukum
dari kedua bidang hukum tersebut. Untuk lebih jelasnya, masing-masing akan
dibahas satu persatu dibawah ini dan selanjutnya akan dibahas hubungan antar
keduanya serta bagaimana perwujudannya dalam bentuk kaidah-kaidah hukum pidana
internasional dan akhirnya bagaimana seharusnya Negara-negara menyikapinya.
Pada
hakekatnya, asas hukum menurut Bellefroid adalah pengendapan hukum poitif dalam
suatu mayarakat. demikian pula van Eikema Hommes yang menyatakan bahwa asas
hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkret akan tetapi
perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang
berlaku. Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa asas hukum atau prinsip hukum
bukanlah peraturan hukum konkret, melakinkan pikiran daar yang umum sifatnya
atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat di
dalam dan di belakang sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan
dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan
mencari sifat-sifat umum dalam peraturan hukum konkret terebut. Ditegaskan lagi
oleh Sudikno, bahwa asas asas hukum bukanlah kaedah hukum konkret
dan berifat umum atau abstrak.
Berbeda
dengan asas hukum pada umumnya, sebgaian asas hukum dalam hukum pidana
dituangkan dalam peraturan konkret. Asas-asas hukum terebut biaanya merupakan
ketentuan umum dalam KUHP masing-masing negara. Oleh
karena itu, selain berasal dari asas-asas hukum internasional, asas-asas dalam
hukum pidana internasional juga berasal dari asas-asas hukum pidana nasional.
2.
ASAS-ASAS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL YANG BERASAL DARI HUKUM
PIDANA INTERNASIONAL
Asas-asas
dari hukum internasional yang paling utama dalam hukum pidana internasional
adalah asas kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan
derajat Negara-negara. Selanjutnya dari asas-asas tersebut yang paling
utama ini dapat diturunkan beberapa asas lainnya yang secara umum sudah diakui
didalam teori maupun praktek hukum dan hubungan internasional. Masing-masing
asas tersebut meliputi :
a. Asas kemerdekaan,
kedaulatan dan kesamaan derajat negara-negara
Asas inilah yang
menempatkan negara-negara di dunia ini tanpa memandang besar ataupun kecil,
kuat ataupun lemah, maju atau tidaknya, memiliki kedudukan yang sama antara
yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan hukum internasional. Turunan
asas-asas ini meliputi :
Ø Asas non intervensi,
Ø Asas saling
menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat Negara-negara,
Ø Asas hidup
berdampingan secara damai ,
Ø Asas penghormatan dan
perlindungan atas hak asasi manusia,
Ø Asas bahwa suatu
Negara tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang mencerminkan kedaulatan
didalam wilayah Negara lainnya,
Ø Dan lain-lain.
Dari asas-asas inilah selanjutnya dapat diturunkan kaidah-kaidah
hukum internasional yang lebih konkrit dan positif yang mengikat dan diterapkan
terhadap subyek-subyek hukum internasional pada umumnya dan Negara-negara pada
khususnya yang terlibat dalam suatu peristiwa hukum internasional.
Dalam hubungannya dengan hukum pidana internasional, kaidah
hukum pidana internasional yang secara konkrit dapat dirumuskan adalah, berupa
larangan bagi suatu Negara untuk melakukan penangkapan secara langsung atas seseorang
yang sedang berada di wilayah Negara lain yang diduga telah melanggar hukum
pidana nasionalnya, kecuali Negara yang bersangkutan menyetujuinya, sebab
tindakan semacam ini jelas bertentangan dengan kemerdekaan, kedaulatan, dsan
kesamaan derajat Negara-negara. Salah satu contoh pelanggaran asas ini adalah
tindakan Israel yang menculik Adolf Eichmann untuk membawa dan mengadili beliau
di Israel.
b. Asas non-intervensi
Menurut asas ini,
suatu Negara tidak boleh campur tangan atas masalah dalam negeri Negara lain,
kecuali Negara itu menyetujuinya secara tegas. Jika suatu Negara, misalnya,
dengan menggunakan kekuatan bersenjata berusaha memadamkan ataupun mendukung
pemberontakan bersenjata yang gerjadi didalam suatu Negara lain tanpa
persetujuan Negara yang bersangkutan, tindakan ini jelas melanggar asas
non-intervensi. Contoh konkrit dari pelanggaran asas non-intervensi adalah
tindakan Israel mengintervensi Libanon pada tahun 1984 dan tindakan Amerika
Serikat dan sekutunya untuk menyerbu Irak pada tahun 2004.
c. Asas hidup
berdampingan secara damai
Asas ini menekankan
kepada Negara-negara dalam menjalankan kehidupannya, baik secara internal
maupun eksternal, supaya dilakukan dengan cara hidup bersama secar damai,
saling menghargai antara satu dengan yang lainnya. Apabila ada masalah atau
sengketa yang timbul, antara dua atau lebih Negara, supaya diselsaikan secar
damai. Wujud dari asas hiddup berdampingan secara damai adalah dapat dilihat
dari pengaturan masalah-masalah internasional baik dalam ruang lingkup global,
regional, maupun bilateral adalah dengan merumuskan kesepakatan,kesepakatan
untuk mengatur masalah-masalah tertentu dalam perjanjian internasional.
d. Asas penghormatan dan perlindungan
terhadap hak asasi manusia
Asas ini membebani
kewajiban kepada Negara-negara bahkan kepada siapapun untuk menghormati dan
melindungi hak asasi manusia dalam situasi dan kondisi bagaimanapun juga.
Berdasarkan asas ini, tindakan apapun yang dilakukan oleh Negara-negara atau
seseorang tidka boleh melanggar ataupun bertentangan dengan hak asasi manusia.
Contoh, sebuah Negara membuat peraturan perundang-undangan nasional dalam hukum
pidana, seperti undang-undang anti terorisme, dan lain-lain. Tidka boleh ada
ketentuan yang bertentangan dengan hak asasi manusia.
Hal ini sudah tertuang dalam Convention
against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment,
10 Desember 1984 dan mulai berlaku pada tanggal 26 Juni 1987 atau yang lebih
dikenal dengan Konvensi Anti Penyiksaan, adalah salah satu contoh konvensi
dalam bidang hukum pidana internasional yang secara langsung berkenaan dengan
penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.
3.
ASAS-ASAS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL YANG BERASAL DARI HUKUM
PIDANA NASIONAL NEGARA-NEGARA
Asas-asas
hukum pidana nasional Negara-negara pada dasarnya tidak berbeda antara astu
dengan yang lainnya. Dua asas utama dalam hukum pidana nasional Negara-negara
adalah asas legalitas (asas nullum delictum danasas
culpabilitas. Dari kedua asas ini diturunkan beberapa asas lainnya
dari hukum pidana nasional. Asas hukum pidana nasional yang diturunkan
dari asas culpabilitas adalah asas tidak ada hukuman tanpa
kesalahan, asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dan asas
ne bis in idem.
a. Asas legalitas
Asas legalitas yang
dikenal juga dengan nama asas nullum delictum noela poena sine lege………sebagai
salah satu asas utama di dalam hukum pidana nasional Negara-negara, pada
hakekatnya menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana apabila atas
perbuatan itu tidak atau belum diatur dalam suatu perundangan-undangan pidana
nasional. Tegasnya, seseorang untuk dapat diadili dan atau dijatuhi hukuman
atas perbuatannya jika terbukti bersalah ataupun dibebaskan dari tuntutan
pidana jika tidak terbukti bersalah, haruslah didasarkan pada pada adanya
undang-undang pidana yang ada dan berlaku sebelum perbuatan itu dilakukan.
b. Asas non-retroactive
Asas non-retroactive
ini merupakan turunan dari asas legalitas. Dengan keharusan untuk menetapkan
terlebih dahulu suatu perbuatan sebagai kejahatan atau tindakan pidana didalam
hukum atau perundang-undangan pidana nasional, dan atas dasar itu barulah
Negara menerapkannya terhadap si pelaku perbuatan tersebut.
c. Asas culpabilitas
Asas ini yang juga
merupakan salah satu asas utama dari hukum pidana nasional Negara-negara
menyatakan, bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila kesalahannya sudah
dapat dibuktikan berdasarkan atas peraturan perundang-undangan pidana yang
didakwakan kepadanya melalui proses pemeriksaan oleh badan peradilan yang
memang memiliki wewenang untuk itu. Sebaliknya jika kesalahannya tidak berhasil
dibuktikan, maka dia harus dibebaskan, dari tuntutan pidana.
d. Asas praduga tak
bersalah (presumption of innocent)
Menurut asas ini,
seseorang yang diduga melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana wajib untuk
dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan berdasarkan suatu
putusan badan peradilan yang sudah memiliki kekuatan mengikat yang pasti.
Berdasarkan asas ini, setiap orang yang didakwa melakukan suatu kejahatan atau
tindak pidana harus diperlakukan sebagaimana layaknya manusia biasa yang tidak
bersalah, denagn segala hak asasi manusia yang melekat pada dirinya.
e. Asas ne/non bis in
idem
Asas ini menegaskan,
bahwa orang yang sudah diadili dan atau dijatuhi hukuman yang sudah memiliki
kekuatan mengikat yang pasti oleh badan peradilan yang berwenang atas suatu
kejahatan atau tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, tidak boleh diadili
dan atau diajtuhi putusan untuk yang kedua kalinya atau lebih, atas kejahatan
atau tindak pidana tersebut. Dengan perkataan lain, seseorang tidak boleh
diadili dan atau dijatuhi putusan lebih dari satu kali atas perbuatan
yangdialkukannya. Adapun dasar pertimbangannya adalah, karena dia akan sangat
dirugikan dan terhadapnya tidak diberikan jaminan kepastiqan hukum.
Perlu ditegaskan
disini, bahwa putusan badan peradilan itu bisa saja berupa putusan penghukuman
ataupun putusan pembebasan atau pelepasan terhadap dirinya. Jika dia sudah
diputuskan dengan sanksi pidana tertentu dan sudah selesai dilaksanakan, maka
sesudahnya dia akan kembali seperti orang biasa pada umumnya, dengan segala hak
dan kewajibannya.
Kewajiban suatu Negara
(termasuk badan peradilannya) untuk menghormati Negara lain (termasuk badan
peradilan dan perutusannya), berdasarkan pada asas kemerdekaan, kedaulatan dan
kesamaan, derajat Negara-negara. Seperti telah dikemukakan diatas. Tegasnya,
setiap Negara wajib menghormati segala apa yang dilakukan oleh suatu Negara di
dalam batas-batas wilayahnya. Termasuk dalam mengadili dan memutuskan suatu
kasus yang dilakukan oleh badan peradilannya. Oleh karena itu, proses
pemeriksaan suatu perkara dihadapan badan peradilan nasionalnya serta
putusannya sendiri juga harus dihormati. Jika ini dilanggar, maka sama artinya
dengan tidak menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat
Negara-negara.
4.
Asas-Asas Hukum Pidana Internasional Yang Benar-Benar Mandiri
Asas-asas Hukum Pidana Internasional yang benar-benar mandiri
dihasilkan melalui kesepakatan yang dituangkan dalam sebuah konvensi
internasional, yakni perjanjian london 8 Agustus 1945 yang juga merupakan
Piagam atau Charter dari Mahkamah Militer Internasional (International Military
Tribunal) di Nurenberg 1945 dan di Tokyo 1946 maupun yang menjiwai putusannya
dalam kasus-kasus pengadilan atas penjahat perang pada waktu Perang Dunia
II, Ada tujuh prinsip atau asas yang ditetapkan dalam perjanjian ini.
Pada kurun waktu tersebut perjanjian ini dipandang sebagai langkah progresif,
dimana sebelumnya individu / orang perorangan tidak pernah dimintakan
pertanggung jawaban secara internasional atas kejahatan-kejahatan yang
dilakukannya berdasarkan hukum internasional (crimes under international law).
Prinsip atau asas hukum dalam Mahkamah Militer Internasional di
Nurenberg kemudian diadopsi oleh Komisi Hukum Internasional (International Law
Commission) dalam sidang kedua tahun 1950, yang disampaikan kepada Majelis Umum
PBB namun tidak ada tindak lanjut yang jelas tetapi kini telah diakui sebagai
prinsip-prinsip atau asas-asas hukum pidana internasional.
Sejak berlakunya perjanjian London 1945 ini ditindak lanjuti
dengan pembentukan Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg 1945 dan Tokyo
1946 serta putusan-putusan yang telah dikeluarkan, kedudukan individu sebagai
subjek hukum internasional secara de jure dan de facto dikukuhkan sebab dapat
dimintakan pertanggung jawaban secara langsung pada tataran internasional melalui
badan peradilan pidana internasional (Pengadilan Nurenberg dan Tokyo, dan
diperkuat dengan pembentukan badan pengadilan internasional ad hoc, seperti
Mahkamah Kejahatan Perang dalam kasus ex-Yugoslavia 1993 dan Rwanda 1994, dan
berdirinya Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court)
berdasarkan Statuta Roma 1998.
Ketujuh prinsip atau asas hukum pidana internasional sebagaimana
terdapat didalam Piagam Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg 1946 yang
diformulasikan pada tahun 1950 yaitu :
Principle
I :
Any
person who commits an act which constitutes a crime under internasional law is
responsible therefor and liable to punishment. (Setiap orang
yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan suatu kejahatan berdasarkan hukum
internasional harus bertanggung jawab dan oleh karena itu dapat dijatuhi
hukuman).
Principle
II :
The
fact that internal law does not impose a penalty for an act which constitutes a
crime under international law does not relieve the person who committed the act
from responsibility under international law. (Suatu kenyataan bahwa hukum nasional
atau domestik tidak memaksakan suatu hukuman terhadap suatu perbuatan yang
merupakan kejahatan berdasarkan hukum internasional tidaklah membebaskan orang
yang bersangkutan yang telah melakukan perbuatan tersebut dari
pertanggung-jawabannya berdasarkan hukum internasional).
Principle
III :
The
fact that a person who committed an act which constitutes a crime under
international law acted as a Head of State or responsible Government official
does not relieve him from responsibility under international law. (suatu kenyataan
bahwa seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan kejahatan
berdasarkan hukum internasional bertindak sebagai kepala negara atau pejabat
pemerintah yang bertanggung jawab tidaklah membebaskan yang bersangkutan dari
pertanggung jawaban berdasarkan hukum internasional).
Principle
IV :
The
fact that a person acted persuant to order of his Government or of a superior
does not relieve him from responsibility under international law, provided a
moral choice was in fact possible to him. (suatu kenyataan bahwa
seseorang yang melakukan suatu perbuatan untuk menjalankan perintah dari
pemerintahnya atau dari kekuasaan yang lebih tinggi, tidaklah membebaskannya dari
pertanggungjawaban berdasarkan hukum internasional, sepanjang masih ada
perimbangan moral yang dapat dipilihnya).
Principle
V :
Any
person charged with a crime under international law has the right to a fair
trial on the facts and law. (seseorang yang dituduh melakukan suatu
kejahatan berdasarkan hukum internasional mempunyai hak atas peradilan yang
fair atau tidak memihak atas fakta-fakta dan hukumannya).
Priciple
VI :
The
crime hereinafter set out are punishable as crimes under international law (kejahatan-kejahatan
dibawah ini yang dapat dihukum sebagai kejahatan berdasarkan hukum
internasional, adalah) :
a. Crimes againts
peace (Kejahatan terhadap perdamaian) :
Ø Planning, preparation,
initiation or waging of a war of aggression or a war in violation of
international treaties, aggreements or assurances(Perencanaan,
persiapan, berinisiatif, atau mengobarkan perang agresi atau perang yang
merupakan pelanggaran atas perjanjian-perjanjian, persetujuan-persetujuan, atau
penjaminan-penjaminan internasional);
Ø Partisipation in a
common plan or conspiracy for the accomplishment of any of the acts mentioned
under (i) (berpartisipasi dalam perencanaan bersama atau berkonspirasi
dalam perbuatan-perbuatan yang ditentukan dalam butir (i)) ;
b. War crimes (Kejahatan perang) :
Violations of the laws
or customs of war which include, but are not limited to, murder, ill-treatment
or deportation to slave labour or for any other purpose of civilian population
of or in occupied terrirtory; murder or ill-treatment of prisoners of war, of
persons on the seas, killing of hostages, plunder of public or private
property, wanton destruction of cities, towns, or villages, or devastation not
justified by military necessity.(Pelanggaran-pelanggaran atas kaidah-kaidah
hukum dan kebiasaan dalam perang, yang termasuk didalamnya, tetapi tidak
terbatas pada pembunuhan, perlakuan sewenang-wenang atau pendeportasian
terhadap tenaga kerja budak atau untuk tujuan lain dari penduduk sipil dari
atau di wilayah pendudukan, pembunuhan atau perlakuan sewenang-wenang terhadap
tawanan perang, orang-orang yang sedang berlayar dilaut, membunuh sandera,
pengrusakan atas properti milik pribadi ataupun umum, perusakan brutal atas
kota-kota besar maupun kecil, desa-desa, atau tindakan pengrusakan yang tidak dibenarkan
berdasarkan kebutuhan militer) ;
c. Crimes againts
humanity (Kejahatan terhadap kemanusiaan) :
Murder, extermination,
enslavement, deportation and other inhuman acts done againts any civilian
population, or persecutions on political, racial or religious grounds, when
such acts are done or such persecutions are carried on in execution of or in
connexion with any crime againts peace or any war crimes. (Pembunuhan,
pemusnahan, perbudakan, pendeportasian, dan perbuatan perbuatan lain yang tidak
berprikemanusiaan yang dilakukan terhadap penduduk sipil, atau penyiksaan atas
dasar alasan politik, ras atau agama, apabila perbuatan atau penyiksaan itu
dilakukan dalam hubungan dengan suatu kejahatan terhadap perdamaian atau suatu
kejahatan perang).
Priciple
VII :
Complicity
in the commission of a crime againts peace, a war crime, or a crime againts
humanity as set forth in principle VI is a crime under international law(Keterlibatan dalam
suatu perbuatan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, atau kejahatan
terhadap kemanusiaan sebagaimana ditentukan dalam Prinsip VI adalah merupakan
kejahatan berdasarkan hukum internasional).
Prinsip
I
Di dalam Prinsip I secara tegas dinyatakan beberapa butir
penting yang perlu ditelaah secara lebih mendalam, yaitu :
a. Orang atau individu
sebagai pelaku kejahatan;
b. Kejahatan yang
dilakukannya tergolong sebagai kejahatan berdasarkan hukum internasional;
c. Individu si pelaku
kejahatan berdasarkan hukum internasional itu dapat dimintakan
pertanggungjawaban atas perbuatannya;
d. Sebagai individu yang
harus bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukannya, maka individu tersebut
dapat dikenakan hukuman.
Mengenai orang atau individu, adalah setiap
orang atau individu, tanpa memandang apapun kedudukannya. Dia bisa seorang kepala
negara, kepala pemerintahan, ataupun pejabat tinggi sipil maupun militer,
bahkan orang-perorangan biasapun juga termasuk. Semuanya bisa saja melakukan
kejahatan baik secara sendiri-sendiri, secara bersama-sama, ataupun yang satu
sebagai pelaku utama, yang lain sebagai turut serta, ataupun sebagai pembantu
saja.
Kejahatan-kejahatan berdasarkan hukum
internasional (Prinsip VI) adalah kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan
perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Jika kejahatan yang dilakukannya tidak
termasuk dalam hukum internasional maka sepenuhnya tunduk pada hukum pidana
nasional.
Pertanggungjawaban atas kejahatan atau
perbuatan yang dilakukannya berdasarkan hukum internasional adalah tanggung
jawab pidana (kriminal), prosedurnya dengan mengajukannya sebagai terdakwa
dihadapan badan peradilan pidana internasional. Tetapi jika atas perbuatannya
(kejahatan berdasarkan hukum internasional) itu sudah diatur didalam hukum
pidana nasional negara-negara, maka negara yang memiliki yurisdiksi atas perbuatannya
itu dan juga memiliki kemauan dan kemampuan untuk menerapkan hukum pidana
nasionalnya, dapat mengadili sendiri berdasarkan hukum pidana nasionalnya.
Setelah orang atau individu bersangkutan
dimintakan pertanggung jawaban dihadapan badan peradilan (nasional ataupun
internasional) melalui proses peradilan yang adil, fair, dan tidak memihak,
maka sebagai konsekuensinya jika ia terbukti bersalah maka dijatuhi hukuman,
jika tidak terbukti bersalah maka dia akan dibebaskan dari tuntutan hukum.
Adapun tempat menjalani hukuman jika yang mengadili adalah badan peradilan
pidana nasional suatu negara maka dinegara itulah ia menjalani hukuman,
sedangkan jika yang mengadili adalah badan peradilan pidana internasional maka
badan peradilan itulah yang menentukan dinegara mana ia harus menjalani
hukuman.
Prinsip
II
Substansi dari Prinsip II ini menekankan pada usaha untuk
menghindari impunitas (impunity) bagi sipelaku kejahatan berdasarkan hukum
internasional. Ada kemungkinan seseorang pelaku kejahatan, termasuk pelaku
kejahatan berdasarkan hukum internasional, menghindar dari tuntutan hukum dari
negara yang memiliki yurisdiksi dengan jalan meninggalkan wilayah negara
tersebut dan bersembunyi diwilayah negara lain. Atau negara yang memiliki
yurisdiksi ternyata tidak mengatur perbuatan yang merupkan kejahatan
berdasarkan hukum internasional itu didalam hukum pidana nasionalnya, atau jika
negara itu sudah mengaturnya tetapi negara itu tidak mampu dan atau tidak mau
mengadili orang yang bersangkutan, bahkan melindunginya.
Prinsip II ini menegaskan, jika hukum nasional tidak mengancam
dengan sanksi pidana (hukuman pidana) atas kejahatan berdasarkan hukum
internasional hal ini tidaklah membebaskan orang yang bersangkutan dari
tanggung-jawabnya atas perbuatannya. Pertanggung-jawaban yang harus dihadapinya
adalah pertanggung-jawaban menurut hukum internasional.
Prinsip
III
Prinsip III ini berkenaan dengan kejahatan berdasarkan hukum
internasional yang dilakukan oleh seseorang dalam kedudukannya sebagai kepala
negara atau pejabat pemerintah yang bertanggung jawab. Dalam hubungan keluar,
negaranya melalui pemerintahnyalah yang harus bertanggung jawab atas perbuatan
kepala negara, kepala pemerintah ataupun pejabat negara bersangkutan. Jika
negaranya sudah mempertanggung jawabkan perbuatannya itu yang mungkin merugikan
salah satu pihak atau lebih (negara, organisasi internasional, ataupun
subjek-subjek hukum internasional lainnya), maka sudah selesailah masalahnya.
Jika perbuatan dari kepala negara, kepala pemerintah, ataupun
pejabat negara yang berwenang itu merupakan suatu kejahatan atau tindak pidana
berdasarkan hukum internasional (crimes under international law) maka tidak
bisa menghindarkan diri dari pertanggungjawaban berdasarkan hukum internasional
dengan berlindung dibalik jabatannya maupun negaranya, dia tetap dapat
dimintakan pertanggungjawaban menurut hukum internasional dihadapan badan
peradilan pidana internasional, dengan asalan ia sebagai individu yang melakukan
kejahatan tersebut (meskipun dengan mengatasnamakan jabatan atau negaranya).
Prinsip
IV
Berkenaan dengan perintah atasan terhadap bawahannya untuk
melakukan kejahatan berdasarkan hukum internasional, seorang pelaku kejahatan
berdasarkan hukum internasional tidak boleh berlindung atau berdalih untuk
menghindarkan diri dari pertanggung jawaban atas perbuatannya, dengan alasan ia
melakukan perbuatan tersebut disebabkan karena adanya perintah dari
pemerintahnya sendiri atau dari kekuasaan yang lebih tinggi kedudukannya dari
dirinya.
Berdasarkan Prinsip IV apapun alasannya untuk menghindari
tanggung jawab atas perbuatannya, alasan itu tidak dapat digunakan. Artinya dia
harus mempertanggung jawabkan kejahatan yang telah dilakukannya berdasarkan
hukum internasional, meskipun ia melakukannya karena perintah dari pemerintah
maupun dari atasannya.
Prinsip
V
Merupakan pengakuan atas hak-hak dari individu atau orang yang
didakwa sebagai pelaku kejahatan berdasarkan hukum internasional, yaitu hak
atas peradilan yang fair baik atas masalah hukum maupun fakta-fakta didalam
proses persidanganya, dan hak lainnya seperti hak untuk mendapatkan bantuan
hukum, hak untuk tidak dianggap bersalah (presumption of innocent), hak untuk
tidak dikenakan hukum secara berlaku surut, dan lain-lain yang sudah umum
berlaku didalam proses peradilan negara-negara demokrasi didunia.
Prinsip
VI
Berkenaan dengan kejahatan apa saja yang merupakan kejahatan
berdasarkan hukum internasional (crimes under international law), yaitu :
a. Kejahatan terhadap
perdamaian (crimes against peace);
b. Kejahatan perang (war
crimes), dan
c. Kejahatan terhadap
kemanusiaan (crimes against humanity)
Kejahatan inilah yang dapat dituduhkan
terhadap siapapun yang didakwa melakukan kejahatan berdasarkan hukum
internasional oleh Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg 1945 dan di
Tokyo 1946, dan yang diadopsi dan diterapkan oleh Mahkamah Kejahatan Perang
dalam kasus ex.Yugoslavia 1993 dan Rwanda 1994, serta Mahkamah Pidana
Internasional yang termuat dalam Pasal 5 ayat 1 statuta Roma 1998.
Prinsip
VII
Prinsip ini memperluas subjek-subjek hukum, tidak saja mereka
yang melakukannya tetapi juga mereka yang terlibat didalamnya, sejauh mana
seseorang dapat dipandang terlibat atau melibatkan diri dalam suatu kejahatan
berdasarkan hukum internasional (kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan
perang, atau kejahatan terhadap kemanusiaan) masalah ini ditentukan secara
kasus demi kasus.
5.
Asas-Asas Hukum Pidana Nasional Negara-Negara dan
Instrumen-Instrumen Hukum Internasional tentang Hak Asasi manusia.
Asas-asas hukum pidana nasional yang sudah dipaparkan secara
singkat diatas, hampir keseluruhannya dapat dijumpai didalam
instrumen-instrumen hukum internasional tentang hak asasi manusia, seperti
didalam Universal Declaration of Human Rights 1948; International
Convenant on Economic, Sosial, and Cultural Rights 1966; International
Convenant on Civil and Political Rights 1966; maupun didalam
instrumen-instrumen hukum internasional tentang hak asasi manusia yang
regional, seperti dalam European Convention on Human Rights and
Fundamental Freedoms 1950; American Convention on Human Rights 1969; dan
African Charter on Human and People’s Rights 1981.
Asas-asas hukum pidana nasional itu sendiri dapat dikatakan
adalah juga merupakan asas-asas dari hukum pidana internasional yang bersumber
dari hukum (kebiasaan) internasional.
6.
Asas-Asas Hukum Pidana Internasional Merupakan Perpaduan Antara
Asas-Asas Hukum Internasional dan Asas-Asas Hukum Pidana Nasional
Negara-Negara.
Asas-asas hukum internasional menjadi landasan bagi
negara-negara didalam melakukan hubungan-hubungan internasional, misalnya dalam
membuat perjanjian-perjanjian internasional tersebut tidak bertentangan antara
satu dengan lainnya, bahkan dapat saling mengisi atau saling melengkapi yang
semuanya terjalin dalam satu sistem yang terintegrasi serta tampaklah
keterpaduannya.
Dalam praktek penerapan hukum pidana nasionalnya masing-masing,
terutama dalam menghadapi suatu kejahatan atau tindak pidana internasional,
negara-negara berkewajiban untuk berlandaskan pada asas-asas hukum
internasional tersebut. Sehingga suatu negara tidak akan melanggar asas
kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat, tidak akan melakukan
tindakan-tindakan yang merupakan campur tangan atas masalah dalam negeri negara
lain, ataupun tindakan tidak bersahabat yang lainnya, yang bertentangan dengan
asas hidup berdampingan secara damai, dan lain sebagainya.
Asas-asas hukum pidana nasional negara-negara tersebut sudah
merupakan hukum kebiasaan internasional, adanya kesadaran atau perasaan hukum
yang sama yang tampak berupa perilaku atau tindakan yang secara sama atau terus
menerus, berulang-ulang, secara luas dan konsisten, menunjukan bahwa perilaku
atau tindakan itu sudah merupakan hukum kebiasaan internasional. Penerapan asas-asas
hukum internasional pada umumnya tetap harus menghormati asas-asas hukum pidana
nasional negara-negara. Asas-asas dari hukum pidana internasional yang berasal
dari asas-asas kedua bidang hukum tersebut (hukum internasional dan hukum
nasional negara-negara) tidak dapat dipandang secara terpisah ataupun berdiri
sendiri, melainkan harus dipandang sebagai satu kesatuan yang terintegrasi atau
terpadu, yakni sebagai asas-asas dari hukum pidana internasional.
Sumber