Aku Anton

Bahagia itu sederhana

TERSENYUM Dan-Tetap BERSYUKUR Apa-Yang KITA MILIKI..!!!

Otonomi Daerah Dan Permasalahan


MAKALAH
OTONOMI DAERAH DAN PERMASALAHAN  Pelengkap Mata Kuliah : Sistem Pemerintahan Lokal
Dosen Pembina : LP. Eka Wilantari. M.Hum


Di susun Oleh :
Antonius
NPM : 120405010034
Fakultas/Jurusan : Ilmu Hukum

UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG
2014


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia adalah negara demokrasi. Demokrasi adalah prinsip bangsa atau negara ini dalam menjalankan pemerintahannya. Semenjak awal bergulirnya era reformasi, demokrasi kian marak menjadi perbincangan seluruh lapisan bangsa ini. Demokrasi menjadi kosa kata umum yang digunakan masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya.
Dalam hal ini otonomi daerah diatur menurut UU No. 32 Tahun 2004, peraturan ini merupakan revisi dari peraturan sebelumnya tentang otonomi daerah. Dengan demikian, masyarakat suatu daerah memperoleh kebebasan dalam mengatur dan membangun daerahnya. Dengan adanya otonomi daerah, pemerintahan indonesia di era reformasi ini berbanding terbalik dengan orde baru. Jika orde baru menerapkan sistem pemerintahannya secara sentralisasi kepada pemerintah pusat, maka pada era reformasi ini dengan adanya otonomi daerah, sistem pemerintahannya menjadi desentralisasi. Tujuan diberlakukannya otonomi daerah secara umum yakni agar pembangunan dan pembagian kekayaan alam di setiap daerah merata,kesenjangan sosial antar daerah tidak mencolok, dan tidak adanya ketimpangan sosial.
Otonomi daerah dipandang perlu dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik dalam dan luar negeri, serta tantangan persaingan global. Otonomi daerah memberikan kewenangan yang luas dan nyata, bertanggung jawab kepada daerah secara proposional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan kemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Itu semua harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran masyarakat, pemerataan, keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penyelenggaraan Otonomi di daerah didasarkan pada isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya. Menurut Hukum Tata Pemerintahan Negara atau Hukum Administrasi Negara Otonomi Daerah merupakan suatu kewenangan daerah untuk menjalankan pengaturan, penetapan, penyelenggaraan, pengawasan, pertanggungjawaban Hukum dan Moral dan Penegakan Hukum Administrasi di daerah untuk terciptanya pemerintahan yang taat hukum, jujur, bersih, dan berwibawa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.Otonomi daerah sebagai suatu kebijakan Desentralisasi ini diberlakukan dikarenakan Otonomi Daerah diharapkan dapat menjadi solusi terhadap problema ketimpangan pusat dan daerah, disintegrasi nasional, serta minimnya penyaluran aspirasi masyarakat local. Otonomi merupakan solusi terpenting untuk menepis disintegrasi.
Otonomi untuk daerah propinsi diberikan secara terbatas yang meliputi kewenangan lintas kabupaten dan kota, dan kewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota, serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya.Mengapa propinsi mendapat kedudukan sebagai daerah otonom dan sekaligus sebagai wilayah administrasi ? Ada beberapa pertimbangan yang mendasarinya, yaitu:Pertama;Untuk memelihara hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.Kedua;Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah yang bersifat lintas daerah kabupaten dan daerah kota serta melaksanakan kewenangan Otonomi Daerah yang belum dapat dilaksanakan untuk daerah kabupaten dan daerah kota.Ketiga;Untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tertentu yang dilimpahkan dalam rangka pelaksanaan Asas Dekonsentrasi.
Dari uraian diatas, saat ini yang menjadi permasalahannya adalah “Siapkah sumber daya manusia di daerah dalam menerima otonomi ?”

1.2  RUMUSAN MASALAH
Permasalahan yang akan kita bahas dalam makalah ini, meliputi beberapa hal:
1.    Penyebab timbulnya otonomi daerah
2.    Permasalahan-permasalahan yang timbul akibat otonomi daerah.
3.    Antisipasi terhadap problem yang terjadi akibat pemberlakuan otonomi daerah.

1.3 MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dan tujuan dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemerintahan Umum
2.   Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai otonomi daerah di Indonesia
3.    Membahas permasalahan-permasalahan yang timbul akibat otonomi daerah

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN OTONOMI DAERAH
Istilah otonomi daerah berasal dari bahasa Yunani yaitu autos yang berarti berdiri sendiri, dan nomos yang berarti peraturan. Oleh karena itu secara harfiah otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri yang selanjutnya berkembang menjadi pemerintahan sendiri. Otonomi Daerah adalah suatu pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kewenangan tersebut diberikan secara proposional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998.
Menurut Wayong, “otonomi daerah sebenarnya merupakan bagian dari pendewasaan politik rakyat di tingkat lokal dan proses mensejahterakan rakyat”,    Menurut UU No. 32/2004 Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terdapat dua komponen utama pengertian otonomi, yaitu pertama komponen wewenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan sebagai komponen yang mengacu pada konsep “pemerintahan” yang terdapat dalam pengertian otonomi.

2.2  LATAR BELAKANG OTONOMI DAERAH DI  INDONESIA
Otonomi daerah muncul sebagai bentuk veta comply terhadap sentralisasi yang sangat kuat di masa orde baru. Berpuluh tahun sentralisasi pada era orde baru tidak membawa perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakat daerah. Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat sangat tinggi sehingga sama sekali tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah daerah saat itu. Di masa orde baru semuanya bergantung ke Jakarta dan diharuskan semua meminta uang ke Jakarta. Tidak ada perencanaan murni dari daerah karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak mencukupi.
Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun 1997 dan tidak bisa cepat bangkit, menunjukan sistem pemerintahan nasional Indonesia gagal dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada. Ini dikarenakan aparat pemerintah pusat semua sibuk mengurusi daerah secara berlebih-lebihan. Semua pejabat Jakarta sibuk melakukan perjalanan dan mengurusi proyek di daerah. Dari proyek yang ada ketika itu, ada arus balik antara 10 sampai 20 persen uang kembali ke Jakarta dalam bentuk komisi, sogokan, penanganan proyek yang keuntungan itu dinikmati ke Jakarta lagi. Terjadi penggerogotan uang ke dalam dan diikuti dengan kebijakan untuk mengambil hutang secara terus menerus. Akibat perilaku buruk aparat pemerintah pusat ini, disinyalir terjadi kebocoran 20 sampai 30 persen dari APBN.
              Akibat lebih lanjut, adalah adanya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat yang sangat besar. Dan otonomi daerah adalah jawaban terhadap persoalan sentralisasi yang terlalu kuat di masa orde baru. Caranya adalah mengalihkan kewenangan ke daerah. Ini berdasarkan paradigma, hakikatnya daerah sudah ada sebelum Republik Indonesia (RI) berdiri.Prinsipnya, daerah itu bukan bentukan pemerintah pusat, tapi sudah ada sebelum RI berdiri. Karena itu, pada dasarnya kewenangan pemerintahan itu ada pada daerah, kecuali yang dikuatkan oleh UUD menjadi kewenangan nasional. Semua yang bukan kewenangan pemerintah pusat, asumsinya menjadi kewenangan pemerintah daerah.Maka, tidak ada penyerahan kewenangan dalam konteks pemberlakuan kebijakan otonomi daerah. Tapi, pengakuan kewenangan.
            Tahun 1999 menjadi titik awal terpenting dari sejarah desentralisasi di Indonesia. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie melalui kesepakatan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1999 ditetapkan Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah untuk mengoreksi UU No.5/1974 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan perkembangan keadaan.Kedua Undang-Undang tersebut merupakan skema otonomi daerah yang diterapkan mulai tahun 2001. Undang-undang ini diciptakan untuk menciptakan pola hubungan yang demokratis antara pusat dan daerah,Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya.     Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.Diharapkan dengan adanya kewenangan di pemerintah daerah maka akan membuat proses pembangunan, pemberdayaan dan pelayanan yang signifikan. Prakarsa dan kreativitasnya terpacu karena telah diberikan kewenangan untuk mengurusi daerahnya. Sementara di sisi lain, pemerintah pusat tidak lagi terlalu sibuk dengan urusan-urusan domestik. Ini agar pusat bisa lebih berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro strategis serta lebih punya waktu untuk mempelajari, memahami, merespons, berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat darinya.         

2.3.      PERMASALAHAN-PERMASALAHAN YANG MUNCUL SETELAH PEMBERLAKUAN OTONOMI DAERAH
Implementasi Otonomi daerah bukan tanpa masalah.  Ia melahirkan banyak persoalan ketika diterjemahkan di lapangan. Banyaknya permasalahan yang muncul menunjukan implementasi kebijakan ini menemui kendala-kendala yang harus selalu dievakuasi dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya tercapai. Beberapa persoalan itu adalah:
1.    Kewenangan yang tumpang tindih
Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai oleh kewenangan yang tumpang tindih antar institusi pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik antara aturan yang lebih tinggi atau aturan yang lebih rendah. Peletakan kewenangan juga masih menjadi pekerjaan rumah dalam kebijakan ini. Apakah kewenangan itu ada di kabupaten kota atau provinsi. Dengan pemberlakuan otonomi daerah yang mendadak mengejutkan pihak-pihak daerah yang tidak memiliki sumber daya manusia kualitatif.Terjadilah artikulasi otonomi daerah kepada aspek-aspek finansial tanpa pemahaman substatife yang cukup terhadap hakekat otonomi itu sendiri.
2.    Anggaran
Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga menghambat pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah dalam kebijakan menarik investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak terjadi persoalan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang merugikan rakyat. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah bergeser ke arah apa yang disebut dengan anggaran partisipatif. Tapi dalam prakteknya, keinginan masyarakat akan selalu bertabrakan dengan kepentingan elit sehingga dalam penetapan anggaran belanja daerah, lebih cenderung mencerminkan kepentingan elit daripada kepentingan masyarakat.
3.    Pelayanan Publik
Masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat. Ini disebabkan rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak jelasnya standar pelayanan yang diberikan. Belum lagi rendahnya akuntabilitas pelayanan yang membuat pelayanan tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah daerah mengalami kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan PNS dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak sedikit juga gejala mengedepankan ”Putra Asli Daerah” untuk menduduki jabatan strategis dan mengabaikan profesionalitas jabatan.
4.    Politik Identitas Diri
Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah yang mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri dari induknya yang sebelumnya menyatu. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi konflik horizontal yang bernuansa etnis. Atau dapat dikatakan Bangkitnya egiosemtrisme ditiap daerah.
5.    Orientasi Kekuasaan
Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di kalangan elit daripada isu untuk melayani masyarakat secara lebih efektif. Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang mencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai momentum untuk mencapai kepentingan politiknya dengan cara memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan seperti ”putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah.
6.    Lembaga Perwakilan
Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti dengan terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga perwakilan rakyat. Ini disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota DPRD, termasuk kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundangan. Akibatnya meski kewenangan itu ada, tidak berefek terhadap kebijakan yang hadir untuk menguntungkan publik. Persoalan lain juga adalah banyak terjadi campur tangan DPRD dalam penentuan karir pegawai di daerah.
7.    Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab ternyata ini tidak dilakukan dengan grand desain dari pemerintah pusat. Semestinya desain itu dengan pertimbangan utama guna menjamin kepentingan nasional secara keseluruhan. Jadi prakarsa pemekaran itu harus muncul dari pusat. Tapi yang terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal dari masyarakat di daerah. Ini menimbulkan problem sebab pemekaran lebih didominasi oleh kepentingan elit daerah dan tidak mempertimbangkan kepentingan nasional  secara keseluruhan.
8.    Pilkada Langsung
Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata menimbulkan banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya tidak diatur di UUD, sebab yang diatur untuk pemilihan langsung hanyalah presiden. Pilkada langsung menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan suksesi kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial masyarakat masih terjebak kemiskinan. Disamping itu, pilkada langsung juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat akibat politik uang yang beredar. Tidak hanya itu pilkada langsung juga tidak menjamin hadirnya kepala daerah yang lebih bagus dari sebelumnya.

2.4.      BEBERAPA CONTOH KASUS PENYALAHGUNAAN OTONOMI DAERAH OLEH          ELIT  LOKAL
            Dalam kenyataannya, otonomi daerah yang dalam hakikatnya merupakan suatu tujuan yang sangat baik bagi kemajuan bangsa ini, justru banyak sekali terjadi penyalahgunaan dalam pelaksanaannya, tidak hanya di tingkat pemerintah pusat melainkan di tingkat pemerintah daerah hingga unsur pelaksana lainnya dalam pelaksanaan otonomi daerah ini. Walaupun pemerintah sering menyuarakan program otonomi daerah ini di setiap sudut wilayah negara, namun pada kenyataannya pembangunan masih belum merata di setiap daerah di Indonesia. Berbagai cara dilakukan demi meratanya pembangunan dan kesejahteraan bangsa ini yang pada kenyataannya mendapatkan hasil yang kurang memuaskan bahkan nihil. Lalu, apakah ada yang salah dalam konteks otonomi daerah ini?
            Pelaksanaan otonomi daerah yang disalahgunakan mengakibatkan kekecewaan masyarakat daerah setempat. Kekecewaan masyarakat Indonesia terhadap ketidakpuasan pelaksanaan Otonomi Daerah rata-rata diwujudkan dalam bentuk hal negatif.
Beberapa contoh kasus adalah sebagai berikut:

1)  Kekecewaan masyarakat Papua terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah yang tidak sesuai harapan.
            Beberapa kasus muncul di Papua sebagai akibat kesalahan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, antara lain kasus Freeport dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kasus Freeport adalah kasus mengenai suatu perusahaan tambang yang sudah sekian lama mengeruk kekayaan alam Papua, namun tidak berimbas baik bagi penduduk pribumi Papau, justru kehadiran PT. Freeport merugikan penduduk pribumi. Sedangkan kasus Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah kasus yang menginginkan penduduk pribumi Papua untuk lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan membentuk negara sendiri.
            Pada kasus freeport, pemerintah memberikan ijin kepada PT Freeport untuk melakukan kegiatan pertambangan di daerah Papua. Pemberian ijin dalam melakukan kegiatan pertambangan ini merupakan suatu bentuk kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, guna membangun daerahnya. Dalam pemberian ijin ini pemerintah pusat pun terlibat. Adanya suatu industri di suatu daerah harusnya memberikan kemajuan bagi masyarakat sekitar, entah itu industri yang dijalankan bangsa Indonesia itu sendiri maupun bangsa luar.
            Sebagai akibat dari rasa ketidakpuasan atau kekecewaan mendapatkan perilaku yang tidak adil, beberapa penduduk Papua menghendaki adanya negara baru, Organisasi Papua Merdeka (OPM). Beberapa aksi gencar diluncurkan demi mewujudkan keinginan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aksi yang sering mereka lakukan dalam menyampaikan aspirasinya adalah melalui mengibarkan bendera bintang kejora di berbagai wilayah Papua. Namun pemerintah Indonesia tidak tinggal diam menanggapi permasalahan ini. Aparat keamanan dikerahkan untuk menjaga kesatuan negara Indonesia ini dan menindak tegas segala oknum yang ikut campur dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM).
            Sebab terjadinya berbagai konflik di Papua menurut Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin ada 4 faktor, yakni Pertama, masih adanya perbedaan persepsi masalah integrasi Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurut dia, pemerintah menganggap masalah Papua telah final sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Kedua, adanya marjinalisasi terhadap penduduk asli Papua.Ketiga, masih adanya pelanggaran HAM yang terus terjadi kendati memasuki era reformasi. Keempat, masalah otonomi khusus (Otsus) yang dianggap masyarakat Papua tak jalan.

2)    Korupsi para Pejabat daerah
            Otonomi daerah dibuat dengan tujuan agar daerah-daerah dapat mengelola secara mandiri segala sumberdaya, keuangan, maupun sumber-sumber lain sebagai pendapatan bagi daerah. Antusias yang tinggi “untuk meningkatkan kemajuan daerah” terlihat dari banyaknya daerah-daerah yang meminta dimekarkan sehingga terjadi pemekaran daerah besar-besaran di seluruh wilayah Indonesia. Yang menarik dari “proses mekarnya suatu daerah” ini adalah menjamurnya praktik korupsi yang dilakukan oleh oknum yang bernama pemimpin/petinggi di daerah. Banyak contoh kasus yang dapat memperlihatkan hal ini. Beberapa contoh kasus korupsi yang dilakukan pemimpin daerah dari Provinsi Sumatra Barat yang saya ambil dari beberapa sumber.
            Pertama, Yumler Lahar. Yang menjabat Walikota Solok. Kasus yang menjeratnya adalah “pembatalan kerjasama antara Pemerintah Kota Solok, Sumatra Barat dan Investor Hariadi, yang menyebabkan kerugian negara”. Dalam hal ini negara dirugikan sebesar 1,3 miliar (Kompas, 11 Agustus 2004)
            Kedua, kasus korupsi yang menimpa Wakil Bupati Agam. Umar diduga terlibat dalam kasus korupsi proyek swakelola perbaikan jalan lingkungan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Agam tahun 2008 dengan kerugian negara RP 2.9 miliar (Kompas, selasa, 9 November 2010)
            Ketiga, kasus pengalihan tanah negara di Kabupaten Solok yang dilakukan oleh Wakil Walikota Pariaman Helmi Darlis. Dalam kasus ini Kejati Sumbar telah menetapkan tujuh tersangka termasuk mantan Bupati Solok, Gusmal. Dalam kasus ini negara dirugikan sekitar Rp 288 juta (Padangekspress, Sabtu, 9 Juli 2011).
            Keempat, Masriadi Martunus dan Edityawarman (Mantan Bupati dan Asisten III, Pemkab Tanah Datar, Sumbar) ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan bagi-bagi bunga deposito APBD Tanah Datar tahun 2001-2004 senilai Rp 1,7 miliar (Suara Karya, 16 Januari 2007)
            Kelima, kasus korupsi yang menimpa Wakil Walikota Bukittinggi pada tahun 2009 (Kompas, 14 Maret 2009)
            Keenam, kasus korupsi yang menimpa ketua DPRD Kota Payakumbuh Chin Star. Chin Star mengakui telah menyalahgunakan keuangan APBD di luar ketentuan Peraturan Pemerintah No 110 Tahun 2000, sekitar Rp 167 juta. Masih banyak contoh kasus lain yang dapat membuktikan betapa maraknya praktik korupsi yang dilakukan oknum yang berada di daerah.
            Berbagai contoh kasus diatas memperlihatkan kepada kita bahwa korupsi benar-benar berada pada kawasan elit pemerintah. Jika fenomena tersebut dapat dibongkar secara lebih besar, tentu kita akan melihat kenyataan yang sangat mecengangkan. Hal ini diperkuat data Indonesia Coruption Watch, bahwa hingga akhir 2010 ada 148 mantan kepala daerah dan mantan wakil kepala daerah, serta kepala daerah yang masih aktif terjerat kasus korupsi. Namun kasus yang diizinkan disidik hanya 84 kasus, di luar 27 kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sedangkan sisanya belum diizinkan presiden.Sepertinya  otonomi daerah dan tuntutan pemekaran daerah, hanya dijadikan kedok untuk mencari kekuasaan dan kekayaan.Tampak disini, perluasan kekuasaan dan  kewenangan yang besar bukan dianggap amanah sesuai dengan cita-cita awal tetapi sebagai ajang untuk mencari kekayaan berlebih.                           
2.5       ANTISIPASI TERHADAP PROBLEM YANG TERJADI AKIBAT PEMBERLAKUAN            OTONOMI DAERAH
Yang sebaiknya dilakukan agar otonomi daerah dapat berhasil mencapai tujuannya. Adapun hal-hal yang perlu dilakukan adalah:
Memperkuat fungsi kontrol terhadap pemda yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga legislatif daerah.
Pemberdayaan politik warga masyarakat.
Pemahaman terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik meliputi:
Asas persamaan
Asas Kepercayaan
Asas Kepastian Hukum
Asas Kecermatan
Asas Pemberian Alasan
Asas Larangan bertindak kesewenang-wenangan
Dan lain-lain.
Dan yang terakhir adalah meningkatkan mutu pendidikan sehingga memunculkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Terkait berbagai problematika otonomi daerah tersebut, menjadi sangat urgen bagi pemerintah untuk mengambil langkah-langkah tegas dan strategis. Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah:
Pertama, segera merevisi UU 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terutama masalah pembagian wewenang pemerintah pusat dan daerah dan terkait pasal 126 yang memuat status kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Selama ini, dasar hukum tersebut memberi ketentuan bahwa sejauh belum menjadi terdakwa dan tuntutannya kurang dari lima tahun penjara, mereka bisa bebas dan tetap menempati jabatannya.Status sebagai pejabat negara juga kerap menyulitkan aparat penegak hukum ketika akan menahan dan memeriksa mereka. Undang-undang mengharuskan pemeriksaan terhadap kepala daerah atas izin presiden. Sedangkan izin tersebut juga harus melalui birokrasi yang panjang dan rumit. Dengan merevisi undang-undang tersebut, diharapkan gubernur, bupati/walikota yang tersangkut kasus korupsi akan dinon-aktifkan begitu menjadi tersangka. Jabatan dan hak mereka akan diberikan kembali jika penyidikan kasusnya dihentikan.Kedua, pemerintah juga dapat mengefektifkan peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya memerangi korupsi di daerah yang semakin menggurita. Argumentasi ini didasarkan pada kapasitas legal yang dimiliki KPK untuk untuk masuk ke semua lembaga negara dan melakukan evaluasi untuk pencegahan korupsi. Sebelum itu ditempuh, tentu langkah yang harus diambil adalah penguatan posisi KPK di daerah, yakni dengan pembentukan KPK di daerah.Ketiga,penting untuk menerapkan asas pembuktian terbalik. Asas pembuktian terbalik merupakan aturan hukum yang mengharuskan seseorang untuk membuktikan kekayaan yang dimilikinya, sebelum menjabat dibandingkan setelah menjabat. Serta darimana sumber kekayaan itu berasal. Jika kekayaan melonjak drastis dan bersumber dari kas Negara atau sumber lain yang ilegal, tentu merupakan tindak pidana korupsi. Korupsi memang merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), maka harus ditangani secara luar biasa pula dan tentu dengan melibatkan semua pihak. Karena, langkah-langkah strategis tersebut tidak akan berarti tanpa kerja sama dari semua pihak, terutama aparat penegak hukum untuk menjunjung hukum seadil-adilnya. Ini diperlukan agar otonomi daerah benar-benar bernilai serta menjadi berkah bagi rakyat di daerah.

BAB III
PENUTUP

3.1  KESIMPULAN
Dari berbagai pembahasan diatas maka saya dapat menyimpulkan keadaan otonomi daerah saat ini di Negara Indonesia sebagai berikut:
ü  Pemberian otonomi daerah yang mendadak mengakibatkan artikulasi otonomi daerah kepada aspek-aspek finansial tanpa pemahaman yang cukup terhadap hakekat otonomi itu sendiri.
ü  Pemberlakuan otonomi daerah akibat kecenderungan pemerintah pusat yang tidak menguntungkan daerah.
ü  Di daerah sumber daya manusia yang berkualitas masih sedikit karena terdistribusi ke pusat.ap
ü  Dengan otonomi maka daerah bebas melakukan apa saja.
ü  Dengan otonomi daerah pusat akan melepaskan tanggung jawab untuk membantu dan membina daerah.
           
Dengan demikian masalah Otonomi Daerah dalam pelaksanaannya perlu ditinjau kembali demi pemerataan kesejahteraan bangsa ini. Pemerintah pusat mampu memberikan wewenang sepenuhnya kepada pemerintah daerah, akan tetapi tidak lepas tanggung jawab sepenuhnya dan selalu memberikan pengawasan. Dan peran seluruh masyarakat Indonesia dalam pelaksanaan Otonomi Daerah yang benar sangat dibutuhkan.

3.2  SARAN
Otonomi daerah sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah melalui optimalisasi pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia bisa terwujud dengan baik, maka perlu selalu dalam pengawasan, baik secara internal dari pemerintah melalui Kementrian Dalam Negeri juga partisipasi masyarakat di daerah. Dengan demikian sangat diharapkan peran masyarakat sipil di daerah seperti lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial keagamaan di daerah.


DAFTAR PUSTAKA
Okezone.com. (2011). Rusuh Papua Dendam yang Tak Tuntas. [online]. Available from: news.okezone.com/read/2012/02/05/337/520432/rusuh-papua-dendam-yang-tak-tuntas. [Accessed at: 02 Mei 2012].
Okezone.com. (2011). Empat Permasalahan Pemicu Gejolak Papua. [online]. Available from:news.okezone.com/read/2012/02/05/337/519053/empat-permasalahan-pemicu-gejolak-papua. [Accessed at: 02 Mei 2012].


Information

Print Logo

Copyright © 2013 ANTONIUS, SH by Anto Kolarov!.