MAKALAH
OTONOMI DAERAH DAN PERMASALAHAN
Pelengkap
Mata Kuliah : Sistem Pemerintahan Lokal
Dosen Pembina : LP. Eka Wilantari.
M.Hum
Di susun Oleh :
Antonius
NPM : 120405010034
Fakultas/Jurusan : Ilmu Hukum
UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG MASALAH
Indonesia
adalah negara demokrasi. Demokrasi adalah prinsip bangsa atau negara ini dalam
menjalankan pemerintahannya. Semenjak awal bergulirnya era reformasi, demokrasi
kian marak menjadi perbincangan seluruh lapisan bangsa ini. Demokrasi menjadi
kosa kata umum yang digunakan masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya.
Hal ini didasarkan pada
pengertian demokrasi menurut Abraham Lincoln. Demokrasi menurut Abraham Lincoln
adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Salah satu perwujudan dari
sistem demokrasi di Indonesia adalah otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hal,
wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Dalam hal ini otonomi
daerah diatur menurut UU No. 32 Tahun 2004, peraturan ini merupakan revisi dari
peraturan sebelumnya tentang otonomi daerah. Dengan demikian, masyarakat suatu
daerah memperoleh kebebasan dalam mengatur dan membangun daerahnya. Dengan
adanya otonomi daerah, pemerintahan indonesia di era reformasi ini berbanding
terbalik dengan orde baru. Jika orde baru menerapkan sistem pemerintahannya
secara sentralisasi kepada pemerintah pusat, maka pada era reformasi ini dengan
adanya otonomi daerah, sistem pemerintahannya menjadi desentralisasi. Tujuan
diberlakukannya otonomi daerah secara umum yakni agar pembangunan dan pembagian
kekayaan alam di setiap daerah merata,kesenjangan sosial antar daerah tidak
mencolok, dan tidak adanya ketimpangan sosial.
Otonomi daerah
dipandang perlu dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik dalam dan luar
negeri, serta tantangan persaingan global. Otonomi daerah memberikan kewenangan
yang luas dan nyata, bertanggung jawab kepada daerah secara proposional, yang
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan kemanfaatan sumber daya nasional,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Itu semua harus dilakukan sesuai
dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran masyarakat, pemerataan, keadilan, serta
potensi dan keanekaragaman daerah yang dilaksanakan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Penyelenggaraan Otonomi
di daerah didasarkan pada isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 Undang-Undang
Dasar 1945 beserta penjelasannya. Menurut Hukum Tata Pemerintahan Negara atau
Hukum Administrasi Negara Otonomi Daerah merupakan suatu kewenangan daerah
untuk menjalankan pengaturan, penetapan, penyelenggaraan, pengawasan,
pertanggungjawaban Hukum dan Moral dan Penegakan Hukum Administrasi di daerah
untuk terciptanya pemerintahan yang taat hukum, jujur, bersih, dan berwibawa
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.Otonomi daerah sebagai suatu
kebijakan Desentralisasi ini diberlakukan dikarenakan Otonomi Daerah diharapkan
dapat menjadi solusi terhadap problema ketimpangan pusat dan daerah,
disintegrasi nasional, serta minimnya penyaluran aspirasi masyarakat local.
Otonomi merupakan solusi terpenting untuk menepis disintegrasi.
Otonomi untuk daerah
propinsi diberikan secara terbatas yang meliputi kewenangan lintas kabupaten
dan kota, dan kewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan oleh daerah
kabupaten dan daerah kota, serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu
lainnya.Mengapa propinsi mendapat kedudukan sebagai daerah otonom dan sekaligus
sebagai wilayah administrasi ? Ada beberapa pertimbangan yang mendasarinya,
yaitu:Pertama;Untuk memelihara hubungan yang serasi antara pusat dan daerah
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.Kedua;Untuk menyelenggarakan
Otonomi Daerah yang bersifat lintas daerah kabupaten dan daerah kota serta
melaksanakan kewenangan Otonomi Daerah yang belum dapat dilaksanakan untuk
daerah kabupaten dan daerah kota.Ketiga;Untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan
tertentu yang dilimpahkan dalam rangka pelaksanaan Asas Dekonsentrasi.
Dari uraian diatas,
saat ini yang menjadi permasalahannya adalah “Siapkah sumber daya manusia di
daerah dalam menerima otonomi ?”
1.2 RUMUSAN
MASALAH
Permasalahan yang akan
kita bahas dalam makalah ini, meliputi beberapa hal:
1. Penyebab
timbulnya otonomi daerah
2. Permasalahan-permasalahan
yang timbul akibat otonomi daerah.
3. Antisipasi
terhadap problem yang terjadi akibat pemberlakuan otonomi daerah.
1.3 MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dan tujuan
dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pemerintahan Umum
2. Meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman mengenai otonomi daerah di Indonesia
3. Membahas
permasalahan-permasalahan yang timbul akibat otonomi daerah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN OTONOMI
DAERAH
Istilah otonomi daerah
berasal dari bahasa Yunani yaitu autos yang berarti berdiri sendiri,
dan nomos yang berarti peraturan. Oleh karena itu secara harfiah
otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri yang selanjutnya
berkembang menjadi pemerintahan sendiri. Otonomi Daerah adalah suatu pemberian
hak dan kewenangan kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kewenangan
tersebut diberikan secara proposional yang diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan ketetapan MPR-RI Nomor
XV/MPR/1998.
Menurut Wayong, “otonomi
daerah sebenarnya merupakan bagian dari pendewasaan politik rakyat di tingkat
lokal dan proses mensejahterakan rakyat”, Menurut UU No.
32/2004 Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terdapat
dua komponen utama pengertian otonomi, yaitu pertama komponen wewenang
menetapkan dan melaksanakan kebijakan sebagai komponen yang mengacu pada konsep
“pemerintahan” yang terdapat dalam pengertian otonomi.
2.2 LATAR
BELAKANG OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
Otonomi daerah muncul
sebagai bentuk veta comply terhadap sentralisasi yang sangat kuat di masa orde
baru. Berpuluh tahun sentralisasi pada era orde baru tidak membawa perubahan
dalam pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakat daerah.
Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat sangat tinggi sehingga
sama sekali tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah daerah saat itu. Di
masa orde baru semuanya bergantung ke Jakarta dan diharuskan semua meminta uang
ke Jakarta. Tidak ada perencanaan murni dari daerah karena Pendapatan Asli
Daerah (PAD) tidak mencukupi.
Ketika Indonesia
dihantam krisis ekonomi tahun 1997 dan tidak bisa cepat bangkit, menunjukan
sistem pemerintahan nasional Indonesia gagal dalam mengatasi berbagai persoalan
yang ada. Ini dikarenakan aparat pemerintah pusat semua sibuk mengurusi daerah
secara berlebih-lebihan. Semua pejabat Jakarta sibuk melakukan perjalanan dan
mengurusi proyek di daerah. Dari proyek yang ada ketika itu, ada arus balik
antara 10 sampai 20 persen uang kembali ke Jakarta dalam bentuk komisi,
sogokan, penanganan proyek yang keuntungan itu dinikmati ke Jakarta lagi.
Terjadi penggerogotan uang ke dalam dan diikuti dengan kebijakan untuk
mengambil hutang secara terus menerus. Akibat perilaku buruk aparat pemerintah
pusat ini, disinyalir terjadi kebocoran 20 sampai 30 persen dari APBN.
Akibat
lebih lanjut, adalah adanya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat yang
sangat besar. Dan otonomi daerah adalah jawaban terhadap persoalan sentralisasi
yang terlalu kuat di masa orde baru. Caranya adalah mengalihkan kewenangan ke
daerah. Ini berdasarkan paradigma, hakikatnya daerah sudah ada sebelum Republik
Indonesia (RI) berdiri.Prinsipnya, daerah itu bukan bentukan pemerintah pusat,
tapi sudah ada sebelum RI berdiri. Karena itu, pada dasarnya kewenangan
pemerintahan itu ada pada daerah, kecuali yang dikuatkan oleh UUD menjadi
kewenangan nasional. Semua yang bukan kewenangan pemerintah pusat, asumsinya
menjadi kewenangan pemerintah daerah.Maka, tidak ada penyerahan kewenangan
dalam konteks pemberlakuan kebijakan otonomi daerah. Tapi, pengakuan
kewenangan.
Tahun
1999 menjadi titik awal terpenting dari sejarah desentralisasi di Indonesia.
Pada masa pemerintahan Presiden Habibie melalui kesepakatan para anggota Dewan
Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1999 ditetapkan Undang-Undang Nomor 22/1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat Daerah untuk mengoreksi UU No.5/1974 yang dianggap sudah tidak
sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan perkembangan
keadaan.Kedua Undang-Undang tersebut merupakan skema otonomi daerah yang
diterapkan mulai tahun 2001. Undang-undang ini diciptakan untuk menciptakan
pola hubungan yang demokratis antara pusat dan daerah,Secara khusus,
pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi
daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Pada
15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.Diharapkan dengan adanya
kewenangan di pemerintah daerah maka akan membuat proses pembangunan,
pemberdayaan dan pelayanan yang signifikan. Prakarsa dan kreativitasnya terpacu
karena telah diberikan kewenangan untuk mengurusi daerahnya. Sementara di sisi
lain, pemerintah pusat tidak lagi terlalu sibuk dengan urusan-urusan domestik.
Ini agar pusat bisa lebih berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro
strategis serta lebih punya waktu untuk mempelajari, memahami, merespons,
berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat
darinya.
2.3. PERMASALAHAN-PERMASALAHAN
YANG MUNCUL SETELAH PEMBERLAKUAN OTONOMI DAERAH
Implementasi Otonomi
daerah bukan tanpa masalah. Ia melahirkan banyak persoalan ketika
diterjemahkan di lapangan. Banyaknya permasalahan yang muncul menunjukan
implementasi kebijakan ini menemui kendala-kendala yang harus selalu dievakuasi
dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya tercapai. Beberapa persoalan itu
adalah:
1. Kewenangan
yang tumpang tindih
Pelaksanaan otonomi
daerah masih kental diwarnai oleh kewenangan yang tumpang tindih antar
institusi pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik antara aturan yang lebih
tinggi atau aturan yang lebih rendah. Peletakan kewenangan juga masih menjadi
pekerjaan rumah dalam kebijakan ini. Apakah kewenangan itu ada di kabupaten
kota atau provinsi. Dengan pemberlakuan otonomi daerah yang mendadak
mengejutkan pihak-pihak daerah yang tidak memiliki sumber daya manusia
kualitatif.Terjadilah artikulasi otonomi daerah kepada aspek-aspek finansial
tanpa pemahaman substatife yang cukup terhadap hakekat otonomi itu sendiri.
2. Anggaran
Banyak terjadi keuangan
daerah tidak mencukupi sehingga menghambat pembangunan. Sementara pemerintah
daerah lemah dalam kebijakan menarik investasi di daerah. Di sisi yang lain
juga banyak terjadi persoalan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam
penyusunan APBD yang merugikan rakyat. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran
telah bergeser ke arah apa yang disebut dengan anggaran partisipatif. Tapi
dalam prakteknya, keinginan masyarakat akan selalu bertabrakan dengan
kepentingan elit sehingga dalam penetapan anggaran belanja daerah, lebih
cenderung mencerminkan kepentingan elit daripada kepentingan masyarakat.
3. Pelayanan
Publik
Masih rendahnya
pelayanan publik kepada masyarakat. Ini disebabkan rendahnya kompetensi PNS
daerah dan tidak jelasnya standar pelayanan yang diberikan. Belum lagi
rendahnya akuntabilitas pelayanan yang membuat pelayanan tidak prima. Banyak
terjadi juga Pemerintah daerah mengalami kelebihan PNS dengan kompetensi tidak
memadai dan kekurangan PNS dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak
sedikit juga gejala mengedepankan ”Putra Asli Daerah” untuk menduduki jabatan
strategis dan mengabaikan profesionalitas jabatan.
4. Politik
Identitas Diri
Menguatnya politik
identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah yang mendorong satu daerah
berusaha melepaskan diri dari induknya yang sebelumnya menyatu. Otonomi daerah
dibayang-bayangi oleh potensi konflik horizontal yang bernuansa etnis. Atau
dapat dikatakan Bangkitnya egiosemtrisme ditiap daerah.
5. Orientasi
Kekuasaan
Otonomi daerah masih
menjadi isu pergeseran kekuasaan di kalangan elit daripada isu untuk melayani masyarakat
secara lebih efektif. Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang
mencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai momentum untuk mencapai kepentingan
politiknya dengan cara memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan
seperti ”putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah.
6. Lembaga
Perwakilan
Meningkatnya kewenangan
DPRD ternyata tidak diikuti dengan terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga
perwakilan rakyat. Ini disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota DPRD, termasuk
kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundangan. Akibatnya meski kewenangan
itu ada, tidak berefek terhadap kebijakan yang hadir untuk menguntungkan
publik. Persoalan lain juga adalah banyak terjadi campur tangan DPRD dalam
penentuan karir pegawai di daerah.
7. Pemekaran
Wilayah
Pemekaran wilayah
menjadi masalah sebab ternyata ini tidak dilakukan dengan grand desain dari
pemerintah pusat. Semestinya desain itu dengan pertimbangan utama guna menjamin
kepentingan nasional secara keseluruhan. Jadi prakarsa pemekaran itu harus
muncul dari pusat. Tapi yang terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran
itu berasal dari masyarakat di daerah. Ini menimbulkan problem sebab pemekaran
lebih didominasi oleh kepentingan elit daerah dan tidak mempertimbangkan kepentingan
nasional secara keseluruhan.
8. Pilkada
Langsung
Pemilihan kepala daerah
secara langsung di daerah ternyata menimbulkan banyak persoalan. Pilkada
langsung sebenarnya tidak diatur di UUD, sebab yang diatur untuk pemilihan
langsung hanyalah presiden. Pilkada langsung menimbulkan besarnya biaya yang
harus dikeluarkan untuk pelaksanaan suksesi kepemimpinan ini. Padahal kondisi
sosial masyarakat masih terjebak kemiskinan. Disamping itu, pilkada langsung
juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat akibat politik uang
yang beredar. Tidak hanya itu pilkada langsung juga tidak menjamin hadirnya
kepala daerah yang lebih bagus dari sebelumnya.
2.4. BEBERAPA
CONTOH KASUS PENYALAHGUNAAN OTONOMI DAERAH OLEH ELIT LOKAL
Dalam
kenyataannya, otonomi daerah yang dalam hakikatnya merupakan suatu tujuan yang
sangat baik bagi kemajuan bangsa ini, justru banyak sekali terjadi
penyalahgunaan dalam pelaksanaannya, tidak hanya di tingkat pemerintah pusat
melainkan di tingkat pemerintah daerah hingga unsur pelaksana lainnya dalam
pelaksanaan otonomi daerah ini. Walaupun pemerintah sering menyuarakan program
otonomi daerah ini di setiap sudut wilayah negara, namun pada kenyataannya
pembangunan masih belum merata di setiap daerah di Indonesia. Berbagai cara
dilakukan demi meratanya pembangunan dan kesejahteraan bangsa ini yang pada
kenyataannya mendapatkan hasil yang kurang memuaskan bahkan nihil. Lalu, apakah
ada yang salah dalam konteks otonomi daerah ini?
Pelaksanaan
otonomi daerah yang disalahgunakan mengakibatkan kekecewaan masyarakat daerah
setempat. Kekecewaan masyarakat Indonesia terhadap ketidakpuasan pelaksanaan
Otonomi Daerah rata-rata diwujudkan dalam bentuk hal negatif.
Beberapa contoh kasus
adalah sebagai berikut:
1) Kekecewaan
masyarakat Papua terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah yang tidak sesuai harapan.
Beberapa
kasus muncul di Papua sebagai akibat kesalahan dalam pelaksanaan Otonomi
Daerah, antara lain kasus Freeport dan Organisasi Papua Merdeka
(OPM). Kasus Freeport adalah kasus mengenai suatu perusahaan tambang
yang sudah sekian lama mengeruk kekayaan alam Papua, namun tidak berimbas baik
bagi penduduk pribumi Papau, justru kehadiran PT. Freeport merugikan penduduk
pribumi. Sedangkan kasus Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah kasus yang
menginginkan penduduk pribumi Papua untuk lepas dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan membentuk negara sendiri.
Pada
kasus freeport, pemerintah memberikan ijin kepada PT Freeport untuk
melakukan kegiatan pertambangan di daerah Papua. Pemberian ijin dalam melakukan
kegiatan pertambangan ini merupakan suatu bentuk kewenangan pemerintah daerah
dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, guna membangun daerahnya. Dalam pemberian
ijin ini pemerintah pusat pun terlibat. Adanya suatu industri di suatu daerah
harusnya memberikan kemajuan bagi masyarakat sekitar, entah itu industri yang
dijalankan bangsa Indonesia itu sendiri maupun bangsa luar.
Sebagai
akibat dari rasa ketidakpuasan atau kekecewaan mendapatkan perilaku yang tidak
adil, beberapa penduduk Papua menghendaki adanya negara baru, Organisasi Papua
Merdeka (OPM). Beberapa aksi gencar diluncurkan demi mewujudkan keinginan
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aksi yang sering
mereka lakukan dalam menyampaikan aspirasinya adalah melalui mengibarkan
bendera bintang kejora di berbagai wilayah Papua. Namun pemerintah Indonesia
tidak tinggal diam menanggapi permasalahan ini. Aparat keamanan dikerahkan
untuk menjaga kesatuan negara Indonesia ini dan menindak tegas segala oknum
yang ikut campur dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Sebab
terjadinya berbagai konflik di Papua menurut Wakil Ketua Komisi I DPR TB
Hasanuddin ada 4 faktor, yakni Pertama, masih adanya perbedaan persepsi
masalah integrasi Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menurut dia, pemerintah menganggap masalah Papua telah final sejak Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Kedua, adanya marjinalisasi terhadap
penduduk asli Papua.Ketiga, masih adanya pelanggaran HAM yang terus terjadi
kendati memasuki era reformasi. Keempat, masalah otonomi khusus (Otsus)
yang dianggap masyarakat Papua tak jalan.
2) Korupsi
para Pejabat daerah
Otonomi
daerah dibuat dengan tujuan agar daerah-daerah dapat mengelola secara mandiri
segala sumberdaya, keuangan, maupun sumber-sumber lain sebagai pendapatan bagi
daerah. Antusias yang tinggi “untuk meningkatkan kemajuan daerah” terlihat dari
banyaknya daerah-daerah yang meminta dimekarkan sehingga terjadi pemekaran
daerah besar-besaran di seluruh wilayah Indonesia. Yang menarik dari “proses
mekarnya suatu daerah” ini adalah menjamurnya praktik korupsi yang dilakukan
oleh oknum yang bernama pemimpin/petinggi di daerah. Banyak contoh kasus yang
dapat memperlihatkan hal ini. Beberapa contoh kasus korupsi yang dilakukan
pemimpin daerah dari Provinsi Sumatra Barat yang saya ambil dari beberapa
sumber.
Pertama, Yumler
Lahar. Yang menjabat Walikota Solok. Kasus yang menjeratnya adalah “pembatalan
kerjasama antara Pemerintah Kota Solok, Sumatra Barat dan Investor Hariadi,
yang menyebabkan kerugian negara”. Dalam hal ini negara dirugikan sebesar 1,3
miliar (Kompas, 11 Agustus 2004)
Kedua, kasus
korupsi yang menimpa Wakil Bupati Agam. Umar diduga terlibat dalam kasus
korupsi proyek swakelola perbaikan jalan lingkungan Dinas Pekerjaan Umum
Kabupaten Agam tahun 2008 dengan kerugian negara RP 2.9 miliar (Kompas, selasa,
9 November 2010)
Ketiga, kasus
pengalihan tanah negara di Kabupaten Solok yang dilakukan oleh Wakil Walikota
Pariaman Helmi Darlis. Dalam kasus ini Kejati Sumbar telah menetapkan tujuh
tersangka termasuk mantan Bupati Solok, Gusmal. Dalam kasus ini negara
dirugikan sekitar Rp 288 juta (Padangekspress, Sabtu, 9 Juli 2011).
Keempat,
Masriadi Martunus dan Edityawarman (Mantan Bupati dan Asisten III, Pemkab Tanah
Datar, Sumbar) ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan bagi-bagi bunga
deposito APBD Tanah Datar tahun 2001-2004 senilai Rp 1,7 miliar (Suara Karya,
16 Januari 2007)
Kelima,
kasus korupsi yang menimpa Wakil Walikota Bukittinggi pada tahun 2009 (Kompas,
14 Maret 2009)
Keenam,
kasus korupsi yang menimpa ketua DPRD Kota Payakumbuh Chin Star. Chin Star
mengakui telah menyalahgunakan keuangan APBD di luar ketentuan Peraturan
Pemerintah No 110 Tahun 2000, sekitar Rp 167 juta. Masih banyak contoh kasus
lain yang dapat membuktikan betapa maraknya praktik korupsi yang dilakukan oknum
yang berada di daerah.
Berbagai
contoh kasus diatas memperlihatkan kepada kita bahwa korupsi benar-benar berada
pada kawasan elit pemerintah. Jika fenomena tersebut dapat dibongkar secara
lebih besar, tentu kita akan melihat kenyataan yang sangat mecengangkan. Hal
ini diperkuat data Indonesia Coruption Watch, bahwa hingga akhir 2010 ada 148
mantan kepala daerah dan mantan wakil kepala daerah, serta kepala daerah yang
masih aktif terjerat kasus korupsi. Namun kasus yang diizinkan disidik hanya 84
kasus, di luar 27 kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sedangkan sisanya belum diizinkan presiden.Sepertinya otonomi daerah dan
tuntutan pemekaran daerah, hanya dijadikan kedok untuk mencari kekuasaan dan
kekayaan.Tampak disini, perluasan kekuasaan dan kewenangan yang besar
bukan dianggap amanah sesuai dengan cita-cita awal tetapi sebagai ajang untuk
mencari kekayaan
berlebih.
2.5 ANTISIPASI
TERHADAP PROBLEM YANG TERJADI AKIBAT
PEMBERLAKUAN OTONOMI
DAERAH
Yang sebaiknya
dilakukan agar otonomi daerah dapat berhasil mencapai tujuannya. Adapun hal-hal
yang perlu dilakukan adalah:
Memperkuat fungsi
kontrol terhadap pemda yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga legislatif
daerah.
Pemberdayaan politik
warga masyarakat.
Pemahaman terhadap
asas-asas umum pemerintahan yang baik meliputi:
Asas persamaan
Asas Kepercayaan
Asas Kepastian Hukum
Asas Kecermatan
Asas Pemberian Alasan
Asas Larangan bertindak
kesewenang-wenangan
Dan lain-lain.
Dan yang terakhir
adalah meningkatkan mutu pendidikan sehingga memunculkan sumber daya manusia
yang berkualitas.
Terkait berbagai
problematika otonomi daerah tersebut, menjadi sangat urgen bagi pemerintah
untuk mengambil langkah-langkah tegas dan strategis. Beberapa upaya yang dapat
dilakukan adalah:
Pertama, segera
merevisi UU 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terutama masalah pembagian
wewenang pemerintah pusat dan daerah dan terkait pasal 126 yang memuat status
kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Selama ini, dasar hukum tersebut
memberi ketentuan bahwa sejauh belum menjadi terdakwa dan tuntutannya kurang
dari lima tahun penjara, mereka bisa bebas dan tetap menempati
jabatannya.Status sebagai pejabat negara juga kerap menyulitkan aparat penegak
hukum ketika akan menahan dan memeriksa mereka. Undang-undang mengharuskan
pemeriksaan terhadap kepala daerah atas izin presiden. Sedangkan izin tersebut
juga harus melalui birokrasi yang panjang dan rumit. Dengan merevisi
undang-undang tersebut, diharapkan gubernur, bupati/walikota yang tersangkut
kasus korupsi akan dinon-aktifkan begitu menjadi tersangka. Jabatan dan hak
mereka akan diberikan kembali jika penyidikan kasusnya dihentikan.Kedua, pemerintah
juga dapat mengefektifkan peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya
memerangi korupsi di daerah yang semakin menggurita. Argumentasi ini didasarkan
pada kapasitas legal yang dimiliki KPK untuk untuk masuk ke semua lembaga
negara dan melakukan evaluasi untuk pencegahan korupsi. Sebelum itu ditempuh,
tentu langkah yang harus diambil adalah penguatan posisi KPK di daerah, yakni
dengan pembentukan KPK di daerah.Ketiga,penting untuk menerapkan asas
pembuktian terbalik. Asas pembuktian terbalik merupakan aturan hukum yang
mengharuskan seseorang untuk membuktikan kekayaan yang dimilikinya, sebelum
menjabat dibandingkan setelah menjabat. Serta darimana sumber kekayaan itu
berasal. Jika kekayaan melonjak drastis dan bersumber dari kas Negara atau sumber
lain yang ilegal, tentu merupakan tindak pidana korupsi. Korupsi memang
merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), maka harus ditangani
secara luar biasa pula dan tentu dengan melibatkan semua pihak. Karena,
langkah-langkah strategis tersebut tidak akan berarti tanpa kerja sama dari
semua pihak, terutama aparat penegak hukum untuk menjunjung hukum
seadil-adilnya. Ini diperlukan agar otonomi daerah benar-benar bernilai serta
menjadi berkah bagi rakyat di daerah.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari berbagai
pembahasan diatas maka saya dapat menyimpulkan keadaan otonomi daerah saat ini
di Negara Indonesia sebagai berikut:
ü Pemberian
otonomi daerah yang mendadak mengakibatkan artikulasi otonomi daerah kepada
aspek-aspek finansial tanpa pemahaman yang cukup terhadap hakekat otonomi itu
sendiri.
ü Pemberlakuan
otonomi daerah akibat kecenderungan pemerintah pusat yang tidak menguntungkan
daerah.
ü Di daerah
sumber daya manusia yang berkualitas masih sedikit karena terdistribusi ke
pusat.ap
ü Dengan
otonomi maka daerah bebas melakukan apa saja.
ü Dengan
otonomi daerah pusat akan melepaskan tanggung jawab untuk membantu dan membina
daerah.
Dengan demikian masalah
Otonomi Daerah dalam pelaksanaannya perlu ditinjau kembali demi pemerataan
kesejahteraan bangsa ini. Pemerintah pusat mampu memberikan wewenang sepenuhnya
kepada pemerintah daerah, akan tetapi tidak lepas tanggung jawab sepenuhnya dan
selalu memberikan pengawasan. Dan peran seluruh masyarakat Indonesia dalam
pelaksanaan Otonomi Daerah yang benar sangat dibutuhkan.
3.2 SARAN
Otonomi daerah sebagai
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah melalui optimalisasi
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia bisa terwujud dengan baik,
maka perlu selalu dalam pengawasan, baik secara internal dari pemerintah melalui
Kementrian Dalam Negeri juga partisipasi masyarakat di daerah. Dengan demikian
sangat diharapkan peran masyarakat sipil di daerah seperti lembaga swadaya
masyarakat, organisasi sosial keagamaan di daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Okezone.com. (2011).
Rusuh Papua Dendam yang Tak Tuntas. [online]. Available from:
news.okezone.com/read/2012/02/05/337/520432/rusuh-papua-dendam-yang-tak-tuntas.
[Accessed at: 02 Mei 2012].
Okezone.com. (2011).
Empat Permasalahan Pemicu Gejolak Papua. [online]. Available
from:news.okezone.com/read/2012/02/05/337/519053/empat-permasalahan-pemicu-gejolak-papua.
[Accessed at: 02 Mei 2012].