Nama : Antonius
NIM : 120405010034
Mata Kuliah
Hukum Pidana Internasional
Fakultas Hukum
Universitas Kanjuruhan Malang
MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC)
Mahkamah
Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan
Statuta Roma yang diadopsi pada tanggal 17 Juli 1998 oleh 120 negara yang
berpartisipasi dalam “United Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries
on the Establishment of an International Criminal Court” di kota Roma, Italia.
Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional mengatur kewenangan untuk
mengadili kejahatan paling serius yang mendapatkan perhatian internasional.
Kejahatan yang dimaksud terdiri dari empat jenis, yaitu kejahatan genosida (the
crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity),
kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (the crime of aggression).
Berbeda
dengan mahkamah internasional sebelumnya yang sifatnya ad hoc, seperti
International Criminal Tribunal for fomer Yugoslavia (ICTY) dan International
Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), Mahkamah Pidana Internasional merupakan
pengadilan yang permanen (Pasal 3(1) Statuta Roma). Mahkamah ini hanya berlaku
bagi kejahatan yang terjadi setelah Statuta Roma berlaku (Pasal 24 Statuta
Roma).
Mahkamah
Pidana Internasional merupakan mahkamah yang independen dan bukan merupakan
badan dari PBB karena dibentuk berdasarkan perjanjian multilateral, meskipun
dalam beberapa kondisi tertentu ada relasi peran antara Mahkamah dengan PBB
(Pasal 2 Statuta Roma).
Statuta
Roma memuat banyak pengaman yang menjamin penyelidikan dan penuntutan hanya
dilakukan untuk kepentingan keadilan, bukan kepentingan politik. Meskipun Dewan
Keamanan PBB dan negara dapat merujuk kepada Jaksa Penuntut Mahkamah Pidana
Internasional, keputusan untuk melaksanakan penyelidikan merupakan wewenang
Jaksa Penuntut. Namun, Jaksa Penuntut tidak hanya akan bergantung pada Dewan
Keamanan PBB atau rujukan negara saja, tetapi juga akan mendasarkan
penyelidikannya berdasarkan informasi dari berbagai sumber. Jaksa Penuntut
harus meminta kewenangan dari Pre-Trial Chamber baik untuk melakukan
penyelidikan maupun penuntutan dan permintaan tersebut dapat digugat oleh negara.
A. Proses Pembentukan Mahkamah
Pidana Internasional (ICC)
Tahun
1950 PBB melalui Majelis Umum membentuk sebuah panitia yang diberi nama
Committee on International Criminal Jurisdiction, dimana panitia ini bertugas
untuk menyiapkan sebuah Statuta Mahkamah Pidana Internasional.
Panitia
ini menyelesaikan tugasnya setahun kemudian tetapi kurang mendapatkan perhatian
dari anggota PBB. Permasalahan ini tenggelam seiring dengan konfrontasi politik
dan ideologi selama perang dingin. Tetapi dipertengahan tahun 1980-an, Pemimpin
Uni Sovyet, Gorbachev memunculkan kembali ide pendirian Mahkamah Pidana
Internasional terutama ditujukan kepada gerakan melawan terorisme.
Tahun
1989 ide untuk mendirikan Mahkamah Pidana Internasional kembali digulirkan
dengan usulan delegasi Trinidad dan Tobago yang mengatasnamakan enam negara
lainnya di wilayah Karibia pada Sidang Komite VI Majelis Umum PBB. Usulan
Trinidad dan Tobago adalah untuk mengaktifkan kembali kerja International Law
Commission (ILC) untuk menyusun kembali rancangan Statuta Mahkamah Pidana
Internasional berkaitan dengan usaha untuk memberantas perdagangan narkotika
internasional. Selanjutnya usulan ini ditanggapi dengan baik oleh Majelis Umum
PBB
Pada
tahun 1992, Majelis Umum PBB sekali lagi mengeluarkan resolusi untuk meminta
ILC menyusun rancangan Statuta Mahkamah Pidana Internasional. Baru pada tahun
1994, ILC menyelesaikan tugasnya menyusun rancangan Statuta Mahkamah Pidana
Internasional dan kemudian untuk membahasnya dibentuklah sebuah komite yang
dibentuk oleh Majelis Umum PBB dengan nama Ad Hoc Committe on the Establishment
of International Criminal Court.
Pada
saat yang sama ILC merekomendasikan sebuah konferensi diplomatik untuk
mempertimbangkan pengadopsian rancangan statuta tersebut namun tertunda karena
masih adanya ketidak sepakatan mengenai rancangan tersebut.
Selanjutnya
pada tahun 1995, Komite Ad Hoc diganti dengan Preparatory Committe on the
Establihment of International Criminal Court yang mempersiapkan segala sesuatu
bagi pembentukan ICC. Hasilnya adalah digelarnya sebuah konferensi diplomatik
PBB atau lengkapnya United Nations Conference of Plenipotentiaries on The
Establishment of an International Criminal Court, di Roma, Italia tanggal 15-17
Juli 1998 yang dihadiri 120 negara yang kemudian mengadopsi Statuta Roma
tentang Mahkamah Pidana Internasional.
B. Peran Indonesia dalam Proses
Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional
Dalam
proses pengadopsian Statuta Roma, Indonesia terlibat secara aktif dengan
mengirimkan delegasi untuk mengikuti Konferansi Diplomatik di Roma pada bulan
Juli 1998, ketika Statuta Roma itu disahkan. Pada saat bersejarah itu,
Indonesia menyatakan dukungannya atas pengesahan Statuta Roma dan pembentukan
Mahkamah Pidana Internasional . Indonesia juga menyatakan niatnya untuk
meratifikasi Statuta Roma. Tahun 1999, Indonesia menyampaikan pernyataan
positif kepada Komite Ke-6 Majelis Umum PBB dalam pandangannya mengenai Statuta
Roma. Indonesia menyatakan bahwa “partisipasi universal harus menjadi ujung
tombak ICC ” dan bahwa “Pengadilan menjadi bentuk hasil kerjasama seluruh
bangsa tanpa memandang perbedaan politik, ekonomi, sosial dan budaya.” Dalam
pernyataan yang sama, Indonesia menyatakan bahwa Statuta Roma menambah arti
penting pada nilai-nilai yang terkandung dalam Piagam PBB yang meliputi
persepakatan, imparsialitas, non-diskriminasi, kedaulatan negara dan kesatuan
wilayah. Dalam hal ini, Indonesia menegaskan bahwa Mahkamah berusaha untuk
melengkapi dan bukan menggantikan mekanisme hukum nasional.
Pada
tahun 2004, Presiden Megawati Sukarnoputeri mengesahkan Rencana Aksi Nasional
tentang Hak-Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2004 -2009. Rancangan tersebut
menyatakan bahwa Indonesia bermaksud meratifikasi Statuta Roma pada tahun 2008.
Untuk melaksanakan Rancangan tersebut, Presiden membentuk sebuah Komite
Nasional. Dalam beberapa kesempatan, pemerintah juga menyatakan bahwa Statuta
Roma sedang dipelajari dan bahwa legislasi nasional perlu dibuat demi keperluan
kerjasama dengan Mahkamah sebelum ratifikasi dilaksanakan.
Pada
Agustus 2006, perwakilan parlemen Indonesia berpartisipasi dalam konferensi
regional dengan seluruh parlemen Asia tentang Mahkamah Pidana Internasional dan
berjanji akan bekerja untuk mengupayakan ratifikasi/aksesi pada tahun 2008 atau
lebih cepat. Tahun 2007 telah didirikan pula Parliamentarian for Global Action
(PGA) Indonesia Chapters, dimana sekretariat internasional PGA selama ini
sangat aktif mendukung universalitas Mahkamah Pidana Internasional .
C. Pengadilan Kejahatan
Internasional: Dari Nuremberg Hingga Den Haag
Pembentukan
Mahkamah Pidana Internasional memiliki latar belakang dan erat hubungannya
dengan pembentukan beberapa pengadilan kejahatan internasional sebelumnya.
Pertama, pembentukan pengadilan kejahatan internasional setelah Perang Dunia
Kedua usai, yaitu International Military Tribunal (IMT) atau dikenal sebagai
Nuremberg Tribunal pada tahun 1945 dan International Military Tribunal for the
Far East (IMTFE) atau dikenal sebagai Tokyo Tribunal pada 1946. Kedua,
pembentukan mahkamah kejahatan internasional setelah usai perang dingin, yaitu
International Criminal Tribunal for fomer Yugoslavia (ICTY) dan International
Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang berkedudukan di Den Haag. Keempat
pengadilan kejahatan internasional tersebut bersifat ad hoc. Pembentukan IMT
didasarkan pada insiatif sekutu yang memenangkan perang untuk mengadili para
pemimpin Nazi-Jerman, baik sipil maupun militer, sebagai penjahat perang dengan
terlebih dahulu dituangkan dalam London Agreement tanggal 8 Agustus 1945.
Sedangkan IMTFE dibentuk berdasarkan Proklamasi Panglima Tertinggi Tentara
Sekutu Jenderal Douglas MacArthur pada 1946.
Kedua
pengadilan memiliki persaman dan perbedaan. Persamaan tersebut adalah bahwa
charter IMTFE merupakan hasil adopsi dari IMT. Selain itu, semangat dari
pembentukan kedua mahkamah kejahatan internasional itu didasari oleh kedudukan
sekutu sebagai pemenang dalam Perang Dunia Kedua, sehinggga dikenal dengan
keadilan bagi pemenang perang (victor’s justice).
Sedangkan
perbedaannya adalah bahwa sekalipun kedua charter memiliki isi yang sama, namun
perangkat dan proses persidangannya sangat berbeda jauh, sehingga, menghasilkan
perbedaan yang cukup signifikan menyangkut putusan persidangan. Pada IMT,
terdapat beberapa terdakwa yang diputus bebas, tetapi pada IMTFE tidak seorang
pun lolos dari hukuman.
Perbedaan
lainnya terletak pada dasar hukum dari pembentukannya. Pada IMT, seluruh
pemimpin Nazi-Jerman duduk di kursi pesakitan, sedangkan pada IMTFE, Kaisar
Hirohito selaku pemimpin tertinggi Jepang tidak disentuh sama sekali. Ini
disebabkan kesepakatan antara Pemerintah Jepang dengan Sekutu, dalam hal ini
Amerika Serikat, untuk tidak mengganggu eksistensi Hirohito sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi Jepang. Berdasarkan perbedaan tersebut dapat disimpulkan
bahwa kedua pengadilan tersebut tidak memiliki sifat independent dan impartial.
Berikutnya
adalah pembentukan pengadilan kejahatan internasional oleh Dewan Keamanan PBB
untuk bekas Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR). Kedua pengadilan ini juga
memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya, kedua pengadilan dibentuk oleh
lembaga yang sama, yaitu Dewan Keamanan PBB melalui sebuah resolusi. Sedangkan
perbedaannya adalah, pembentukan ICTY merupakan hasil dari evaluasi masyarakat
internasional melalui Dewan Keamanan PBB terhadap pelanggaran berat HAM yang
terjadi di bekas Yugoslavia. Pembentukannya sendiri tidak mendapatkan dukungan,
terutama dari “Yugoslavia baru” saat itu yang terdiri dari Serbia dan
Montenegro.
Telah
digelarnya peradilan terhadap para penjahat dalam Perang Dunia Kedua tidak
membuat pemikiran untuk membuat sebuah institusi peradilan permanen memudar
untuk mengadili para pelaku kejahatan internasional. Hal ini disebabkan karena
mekanisme pengadilan internasional yang bersifat ad hoc mempunyai kelemahan-kelemahan
yang mendasar, yaitu:
(1) Victor’s justice
Dari
keempat pengadilan internasional yang telah diselenggarakan, semuanya mempunyai
kesamaan, yaitu yang dianggap bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi
adalah individu-individu dari negara yang kalah perang, sementara bagi
negara-negara pemenang perang akan terbebas dari tanggung jawab, meskipun
mereka juga melakukan kejahatan-kejahatan serupa. Inilah mengapa keadilan yang
dicapai melalui keempat proses pengadilan tersebut dianggap sebagai victor’s
justice (keadilan bagi pemenang).
(2) Selective justice
Kelemahan
lain dari mekanisme pengadilan internasional ad hoc adalah terjadinya keadilan
“tebang pilih” (selective justice). Maksudnya adalah tidak semua kasus
kejahatan internasional paling serius mempunyai kesempatan yang sama untuk
dibentuk pengadilan internasional, hanya kasus-kasus tertentu yang dianggap
mempengaruhi stabilitas dan keamanan internasional saja yang akan diadili, dan
hanya kasus-kasus yang melibatkan negara-negara penting yang mempunyai
kesempatan untuk diselesaikan. Artinya, akan ada pelaku yang tidak ditindak,
dan akan ada korban yang tidak mendapatkan hak-haknya atas keadilan dan
kompensasi. Lebih jauh, kondisi seperti ini tidak banyak memberikan sumbangan
untuk menghentikan praktek-praktek impunitas di berbagai penjuru dunia.
(3) Tidak adanya efek jera dan
pencegahan di masa mendatang
Meskipun
terdapat kemajuan yang pesat dari kedua pengadilan kejahatan internasional
pasca Perang Dunia Kedua, kedua pengadilan berikutnya masih memiliki
keterbatasan yang sama. Di antaranya, tidak adanya kerjasama dengan negara di
mana kejahatan internasional yang serius terjadi; tidak bisa menghentikan
konflik yang sedang berlangsung dan tidak bisa mencegah berulangnya konflik;
serta jangkauan dari penuntutan terbatas pada kategori konflik yaitu konflik
internal atau internasional.
(4) Muatan politis
Lebih
dari setengah abad sejak peradilan Nuremberg dan Tokyo, banyak negara gagal
membawa mereka yang bertanggung-jawab atas genosida, kejahatan kemanusiaan dan
kejahatan perang ke pengadilan. Ini disebabkan karena mekanisme pembentukan
pengadilan internasional ad hoc HANYA bisa dilakukan melalui Dewan Keamanan
PBB. Artinya, “nasib” keadilan sangat tergantung pada komposisi anggota Dewan
Keamanan PBB dan penggunaan hak veto oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Dalam konteks ini tentu saja kepentingan politik akan lebih banyak berperan
ketimbang pertimbangan hukum dan keadilan.
Berangkat
dari alasan-alasan di atas, maka diperlukan sebuah mekanisme pengadilan
internasional yang relatif bebas dari intervensi politik internasional,
menjunjung tinggi kedaulatan negara, dan bersifat independen dan berlaku lebih
fair, bahkan kepada pelaku.