Hitung Adat Perkawinan Suku Dayak Ransa (Adant Milak Ricik) |
1.1 Latar Belakang
Dari zaman dahulu adat istiadat dayak
ransa sudah di kenal oleh warga masyarakat setempat dan di lakukan
sejak turun temurun dari nenek moyang hingga anak cucunya, sampai
sekarang adat-adat yang ada di masyarakat tersbut masih tetap di dipegang teguh
dan masih sangat kental serta dijalankan oleh warga masyarakat setempat.
Di dalam kehidupan bermasyarakat
setiap manusia baik individu maupun kelompok tidak terlpas dari satu sama lain.
Karena manusia merupakan makhluk sosial dan Tuhan menciptakan manusia yaitu
untuk saling berinteraksi dengan manusia lainnya, oleh sebab itu setiap manusia
tentu ingin memiliki keturunannya masing-masing untuk mewarisi harta kekayaan
mereka. Maka dari itu muncullah suatu norma/hukum, tradisi atau kebiasaan
didalam masyarakat dalam hal ini ialah peraturan adat yang mengatur tentang
hokum perkawinan dan itu berlaku bagi pemegang hak dan kewajiban sebagai subyek
hukum.
Dengan demikian tidak berbedanya hal
terhadap warga masyarakat adat dayak ransa yang merupakan
salah satu dari sekian banyak suku dayak yang ada di pulau Kalimantan
(borneo)yang memiliki tradisi atau kebiasaan adat tersendiri. Suku ini
geografis terletak di sebuah Desa pedalaman yaitu Desa Laman Mumbung Kecamatan
Menukung Kabupaten Melawi, di kawasan paling timur Kalimantan Barat. Suku ini
juga memiliki adat perkawinan /kebiasaan adat dayak ransa juga
di atur dalam ketentuan-ketentuan tertentu pada adatnya oleh Temenggung (kepala
adat) setempat. Namun hokum adat dayak ransa bentuk dan sifatnya juga tidak
tertulis, akan tapi budaya semacam ini tetap mereka jalankan terus menerus
dalam kehidupan bermasyarakat. System pada perkawinan suku dayak ransa yaitu
menganut system dengan garis keturunan patrilinear (dengan garis keturunan
bapak).
Masyarakat pada suku dayak ransa
dalam adat perkawinannya, seorang pria yang ingin menikahi atau mengawini
seorang wanita tidak serta merta atau spontanitas begitu saja langsung kawin,
akan tetapi melalui tahap, proses atau cara-cara yang sesuai pada adat yang
berlaku di daerah tersebut. Pada adat dayak ransa yang
melatarbelakangi adanya tradisi atau kebiasaan dalam proses perkawinan sudah
dari zaman ke zaman telah diwarisi oleh nenek moyang mereka hingga turun
temurun. Maka dari itu kebiasaan dalam masyrakat itu tidak bisa hilangkan dan
tetap melekat dalam diri masyarakat tesebut.
Sesuai dengan perkembangan zaman cara
atau proses tradisi/kebiasaan suatu masyarakat pun bisa berubah-ubah secara
substansialnya, maka dari itu di harapkan masyarakat di tuntut agar bisa
menyesuaikan diri dengan masyarakat lain. Hukum adat di wilayah-wilayah
tertentu memiliki kelebihan dan kekurangan pada masing-masing suku, oleh karena
itu di sebabkan adanya kebiasaan-kebiasaan yang di lakukan dalam
masyarakat di sesuaikan dengan tingkah laku atau tindakan-tindakan pada
masyarakat itu sendiri.
Dalam adat dayak ransa
perkawinan adalah hal yang sangat di sakralkan dan bukanlah
peristiwa/perbuatan yang bisa di lakukan dengan semata-mata hanya sementara
atau sesaat saja, artinya perkawina merupakan sesuatau yang hanya bisa di
lakukan satu kali dalam seumur hidup bagi mereka baik itu seorang pria maupun
seorang wanita terkecuali yang maha kuasalah yang memisahkan. Karena perkawinan
menurut adat dayak ransa merupakan ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengn tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kebiasaan dalam perkawinan adat dayak
ransa seseorang pria dan seorang wanita wajib untuk mencari pasangan
hidupnya masing-masing sesuai dengan hasrat dan keinginannya tanpa unsur
paksaan dari siapa pun dan bebas memilih sebagai sepasang suami istri dalam
hidupnya.
2.1 Pngertian Perkawinan dalam Hukum Adat
Perkawinan adalah perilaku mahluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang baik.
Perkawinan bukan terjadi di kalangan manusia saja, tetapi juga terjadi pada
tumbuhan dan hewan. Oleh karena itu manusia adalah mahluk yang berakal, maka
perkawinan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan manusia
dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam masyarakat adat budaya
perkawinannya sederhana, sempit dan tertutup, dalam masyarakat yang
tradisional. Sehingga dalam masyarakat yang sederhana dan tradisional tersebut
mengikuti perkembangan zaman yang maju (modern) budaya perkawinannya pun maju,
luas dan terbuka. Aturan tata-tertib perkawinan adat sudah ada sejak zaman
nenek moyang terdahulu yang di pertahankan para tokoh-tokoh kepala adat dan
anggota-anggota masyarakat adat setempat.
Di masyarakat dayak ransa sendiri
aturan tata-tertib perkawinan sudah ada sejak zaman dahulu, sejak zaman kono
bahkan masa kolonial Belanda dan sampai Indonesia telah merdeka. Budaya adat
perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat adat tidak terlepas
dari pengaruh budaya dan lingkungan di mana masyarakat itu berada serta
pergaulan di dalam masyarakat itu sendiri. Adat itu sendiri bisa luntur atau
bisa di pengaruhi pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamaan yang di
anut oleh masyarakat yang bersangkutan.
Seperti halnya dalam aturan
perkawinan adat dayak ransa sendiri bisa di pengaruhi oleh adat tradisi atau
budaya dari suku lain, tetapi tidak hanya antar budaya yang bisa mempengaruhi
dalam system perkawinan adat tidak jarang dalam ajaran agama pun bisa
mempengaruhi adat. Hal mana berakibat lain pandang lain belalang lain lubuk
lain ikannya, lain masyarakat lain aturan perkawinannya. Jadi walaupun
masyarakat adat suku dayak ransa merupakan bagian dari warga
masyarakat Indonesia yang kini telah memiliki hukum perkawinan nasional sebagai
aturan pokok, namun pada kenyataannya bahwa di kalangan masyarakat suku
dayak ransa masih tetap percaya dan berlaku adat serta tata-tertib
upacara perkawinannya.
Kita masih melihat berlakunya
tata-tertib perkawinan bagi masyarakat adat suku dayak ransa yang
bersendi dengan keturunan bapakan (patrilinear). Begitu pula kita dapat melihat
bagaimana berlakunya hukum adat yang menganut seperti system dengan garis
keturunan matrilinear (garis keturunan ibu) dan parental (garis keturunan bapak
dan ibu/campuran). Dengan melihat dari sendi-sendi tersebut perbedaan dalam
pelaksanaan hukum perkawinan itu dapat mempengaruhi cara hidup kekeluargaan,
kekerabatan, dan kekaryaan seseorang dalam kehidupan masyarakat.
Berbahaigialah suatu suku yang telah
memiliki adat, budaya dan tradisi perkawinan secara tersendiri, yang sifatnya
bisa di katakan telah menampung sendi-sendi dan memberikan landasan hukum adat
perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan
suku adat istidat yang ada di dalam masyarakat Indonesia itu sendiri. Hal ini
berarti walaupun pada pokoknya pada suku dayak ransa sudah
mempunyai hokum adat perkawinan tersendiri yang berlandaskan kebiasaan dari
budaya dan tradisi yang di anut namun kepercayaan itu masih tetap berlaku.
Mengapa demikian, dikarenakan adat istiadatnya masih sangat kental dan kuat
pengaruhnya.
Oleh karenanya jika yang berbeda
bertemu dalam ikatan perkainan (campuran), sedangkan salah sau pihak masih
tetap mempertahankan pegangannya, maka tidak jarang menimbulkan kesulitan dalam
penyelesaian, bahkan dapat berakibat terganggunyan kerukunan berumah tangga.
Dengan melihat dari pengertian tersebut maka sampailah kita pada perlunya
pembahasan terhadap masalah sejauh manakah hukum adat perkawinan suku
dayak ransa dalam kaitannya dengan tradisi adat istiadat lain yang
masuk kedalam adat tersebut yan hukumnya bersifat lokal dari berbabagai macam
hukum adat yang berlaku di kalangan masyarakat adat suku dayak ransa.
Di dalam aturan adat dayak
ransa dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan
perkawinan, batalnya perkawinan, perjajian perkawinan, hak dan kewajiban suami
istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya,
kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian dan
ketentuan-ketentuan lain.
2.2 Persyaratan Perkawinan
Aturan adat pada masyarakat suku
dayak ransa seorang pria yang di katakan sudah dewasa atau dengan kata
lain yang umurnya sudah cukup untuk kawin dengan seorang wanita paling tidak
umurnya tujuh belas tahun keatas. Sedangkan pada seorang wanita batas umur
boleh kawin minimal enam belas tahun keatas, karena pada usia tersebut baik
pria maupun wanita dalam hukum adat dayak ransa sudah di
anggap cukup dewasa.
Maka melihat dari umur tersebut hukum
adat yang berlaku di masyarakat tersebut boleh melangsungkan perkawinan yang
sah sesuai dengan adat yang ada. Namun bagi masyarakat adat dayak
ransa dalam melangsungkan perkawinan antara seorang pria dan seorang
wanita umur bukanlah suatu penilaian atau keriteria tertentu, pada intinya
seseorang baik pria maupun wanita harus siap untuk kawin dan menjalani masa
depan keluarga. Artinya seorang pria dan seorang wanita dapat melangsungkan
perkawinannya tanpa ada paksaan, tetapi siap dalam membangun, membina rumah
tangga dan bertanggung jawab dalam keluarga rumah tangga mereka.
Pada umumnya apabila seorang pria
yang ingin melamar seorang wanita yang dalam bahasa ransanya betonyak (meminang)
seorang pria harus mempersiapkan terlebih dahulu perlengkapan yang notabenenya
berupa barang yang nantinya harus diserahkan kepada pihak perempuan, yang di
maksud dengan barang-barang yang di serahkan dari pihak laki-laki kepada
perempuan, yang sekiranya berupa alat-alat perlengkapan yang biasa dan layak di
pakai seorang wanita misalnya; seperti kain, handuk, celana, baju, alat-alat
mandi seperti sabun dan sejenisnya juga berupa kosmetik dan lain-lain. Jadi
pertama-tama yang harus di persiapkan seorang pria apabila ingin melamar
seorang wanita barang-barang yang sudah di sebutkan di atas harus benar-benar
ada dan itu akan menguatkan bahwa seorang pria/laki-laki tersebut benar-benar
sudah siap untuk kawin serta bertanggung jawab.
Ketika sudah di pastikan bahwa
seorang pria menyanggupi permintaan sebagai persyaratan utama yang sudah di
anggap terpenuhi oleh seorang Temenggung (kepala adat/ketua
adat) dengan mempertimbangkan keabsahannya demi memenuhi syarat, maka proses
dari betonyak (pelamaran) tersebut bisa di lanjutkan. Walaupun
dalam proses betonyak (pelamaran) tersebut tidak berjalan
mulus, dalam arti ketika seorang wanita tidak menerima lamaran seorang
pria secara otomatis barang tersebut tetap di berikan ke pihak
perempuan dan tidak di kembalikan lagi pada laki-laki yang melamar tersebut.
Karena atas dasar apa yang sudah di perdengarkan ke masyarakat lain, bahwasanya
seorang pria akan melamar seorang wanita, maka di situ terjadi adat basa
sopan santun, artinya jika orang akan melangsungkan perkawinan bagi
suku dayak ransa itu merupakan hal yang sangat sakral dan bukan hal yang
main-main, apabila dalam penyelenggarannya perkawinan itu batal maka secara
tidak langsung dari pihak keluarga merasa adanya tekanan batin atau di kucilkan
dalam hal ini berkaitan dengan perasaan si keluarga perempuan.
Adapun syarat-syarat lain yang biasa
di lakukan ketika betonyak berkaitan dengan tempat seorang
pria yang ingin melamar seorang wanita terutama pihak dari laki-laki harus
datang di tempat kediaman (domisili) si perempuan. Dari syarat yang telah di
kemukakan di atas, adapun syarat lain seorang pria maupun wanita yang akan
melangsungkan pelamaran keduanya tidak terikat pada yang lain, maksudnya pria
atau wanita tersebut ketika akan berlangsungnya pelamaran maka di pastikan
keduanya sama-sama bebas dari ikatan atau hubungan dengan laki-laki maupun
perempuan lain.
2.3 Masa Pertunangan (Tunang/meminang)
Setelah
melakukan proses betonyak (pelamaran) pada perkawinan tersebut
keduanya sudah sah dan lamaran pria di terima oleh wanita maka tahap
selanjutnya adalah kedua belah pihak membuat perjanjian atau kesepakatan
untuk betunang (pertunagan). Dalam hukum adat ransa apabila
seorang pria melamar seorang wanita dan lamaran tersebut di terima, tidak bileh
serta-merta di nikahkan akan tetapi harus ada masa-masa tunang (pertunangan).
Masa
pertunangan bervariasi maksudnya tenggang waktu untuk di nikahkan kedua mempelai
tergantung kesepakatan antara pihak laki-laki dan perempuan. Masa tenggang
waktu perkawinan mempelai menurut adat setempat minimal tiga bulan dan paling
lama maksimal satu tahun harus di nikahkan, karena menurut adat yang di yakini
di masyarakat ransa pertunangan merupakan sesuatu keharusan agar
para pihak seorang pria dan seorang wanita maupun keluarga kedua belah pihak
tersebut saling mengenal satu sama lainnya. Dengan di beri waktu untuk mengenal
lebih jauh dan lebih dalam lagi masing-masing para pihak yang terikat dalam hal
ini ialah pertunangan.
Pada
adat perkawinan masyarakat suku dayak ransa, tunang (pertunagan)
merupakam keharusan, agar pendekatan secara kekerabatan dan
kekeluargaan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan terjalin hubungan
yang harmonis. Jika tidak ada proses pertunangan yang di khawatirkan adalah
muncul suatu kejanggalan-kejanggalan dari para pihak, maka dari itu dengan
adanya tunang (pertunangan) pihak yang mengikatkan
diri khususnya pria dan wanita di harapkan saling menjaga hubungannya supaya
tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan sebelum pernikahan berlangsung.
2.3 Proses Pelaksanaan Perkawinan
Dari betonyak (pelamaran)
kemudian betunang(pertunangan) sampai menjelang hari pernikahan,
berbagai proses di lalui dan tahap demi tahap yang di lewati, pada
perkawinan suku ransa berlangsungnya suatu upacara pernikahan
biasanya pada bulan enam. Upacara adat perkawinan kebayakan di lakukan pada
masa pegoai adant dayak (gawai adat dayak/pesta adat dayak)
yaitu pesta yang di lakukan secara serentak atau bersamaan dengan tetangga yang
ada di sekitarnya.
Jadi
pesta pernikahan atau perkawinan pada umumnya kebanyakan di lakukan pada saat gawai
dayak atau pesta adat tiba yaitu setelah selesai musim panen padi,
mengapa demikian karena pesta tersebut hanya di selenggarakan satu tahun
sekali. Berlangsungnya upacara perkawinan bersama dengan meramaikan perayaan
adat gawai dayak itu secara tidak langsung akan meringankan biaya perkawinan,
maka dari itu perkawinan suku dayak ransa dominan berlangsung atau bertepatan
dengan perayaan adat gawai musim panen telah usai. Dalam tradisi upacara
perkawinan adat ransa ada beberapa kali tahap dalam perkawinan
yaitu;
A. Perkawinan
pertama
Yang di maksud dengan perkawinan pertama ialah di mana
serorang pria yang belum pernah menikah artinya baru pertama kali kawin begitu
juga sebaliknya seorang wanita juga baru kawin, akat nikah dilaksanakan atau
berlangsungnya suatu perkawinan bertempatkan di domisili perempuan. Karena
menurut adat setempat khususnya pada suku ransa dalam
melangsungkan perkawinan harus di domisili perempuan dan tidak mungkin di
nikahkan di domisili laki-laki, sebab kalau seandainya itu terjadi di mana
kehormatan seorang wanita yang seolah-olah menjual harga diri.
B. Perkawinan
ke dua atau menoik
Setelah terselenggaranya suatu perkawinan
terdahulu/pertama, ada perkawinan kedua yang di laksanakan di domisili
laki-laki yang di sebut dengan menoik. Upacara perkawinan ini
merupakan suatu balasan dari orang tua laki-laki dan berlangsungnya upacara
perkawinan ini bertempat (didomisili) laki-laki, karena mereka menganggap menoik itu
adalah suatu kehormatan bagi pihak keluarga tersebut jika terselenggarakannya
perkawinan (menoik). Sebab kalau menoik bagi orang tua
laki-laki merupakan menyambut kedatangan seorang menantu yang masuk kedalam
bagian keluarga mereka yang baru. Menoik tidak di tentukan
kapan waktunya, dan itu bisa di laksanakan kapan saja walau pun mereka sudah
punya anak juga masih tetap bisa di lakukukan, karena menoik adalah
perkawinan yang di pertanggung jawab kan orang tua laki-laki yang artinya semua
beban perkawinan di biayai orang tua tersebut.
C. Perkawinan
sakramen
Perkawinan ini adalah perkawinan yang di sahkan oleh agama
dan di sakralkan oleh gereja. Walau pun mereka memiliki adat yang sangat kental
namun kepercayaan mereka tetap ada yaitu percaya akan agama atau Tuhan, karena
bagi suku ransa kepercayaan akan agama atau Tuhan harus di
imbangi dengan kepercayaan terhadap tradisi adat yang berlaku dan keduanya
tetap sama-sama dijalankan. Dalam perkawinannya terhadap agama pun mereka tidak
mengabaikan, karena setelah melaksanakan perkawinan adat suku ini tetap
melangsungkan perkawinan di gereja atau perkawinan sakaramen. Kerena
bagaimana pun mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia di mana seseorang
bangsa Indonesia itu sendiri harus tunduk kepada aturan-aturan dan norma-norma
hukum yang berlaku di negeri ini.
2.4 Biaya Perkwinan (Adant)
System
perkawinan di mana saja dan suku apa pun di Indonesia termasuk adat suku dayak
ransa ketika mengadakan suatu upacara perkawinan tentu sedikit banyak
tetap mengeluarkan/membutuhkan biaya yang sesuai dengan aturan adat yang
berlaku di suatu daerah tertentu dan tidak terkecuali suku ransa itu sendiri.
Dari semua biaya perkawinan itu di tanggung oleh pihak laki-laki, biaya atau
maskawin dalam perkawinan pada adat masyarakat setempat yang harus di bayar
oleh pihak laki-laki kepada seorang perempuan biasanya berupa uang juga berupa
benda maupun barang yang di anggap masih berharga, itulah yang di namakan adat
atau adant kawin yang berlaku di wilayah
atau daerah tersebut.
Adat
perkawinan tersebut tidak hanya hanya berupa satu seperangkat alat maskawin
saja namun bermacam-macam jenisnya, masing-masing seperangkat maskawin
atau adant kalau di uangkan bervariasi nilainya dengan kata
lain di ulun/ulutkan. Dalam adat itu ada yang namanya Ulun atau ulut yang
artinya ketika seseorang di dalam lingkungan masyarakat dayak ransa melakukan
suatu pelanggaran atau masalah yang di anggap melanggar adat mereka maka hal
semacam itu harus di beri sanksi atau sanksi adat. Ketika perbuatan yang di
anggap melanggar adat tentu ada sanksinya atau lebih tepatnya denda pelanggar
adat, apabila perbuatan yang melanggar adat secara otomatis ada ulunnya.
Ulun itu
ibaratkan pasal yang mengatur banyak atau sedikitnya denda pada orang-orang
atau individu yang melawan/melanggar aturan-aturan adat, jadi hitungannya
satu ulun/ulut apabila di langgar oleh pemegang subyek dan itu
di nilaikan dengan mata uang/rupiah denda ini sekitar kurang lebih 400.000,-00
(empat ratus ribu rupiah) per ulunnya. Sedangkan adat
perkawinan dayak ransa seorang laki-laki harus membayar kepada
seorang wanita dengan ulun sebesar 12 (dua belas ulun) ulun, sebab
adat perkawinan dala perhitungannya harus dua belas ulun. Apabila dua
belas ulun ini di nilaikan dengan rupiah perhitungan nominalnya yaitu 4.800.000,-00
(empat juta delapan ratus ribu rupiah). Jadi kurang lbih seperti itulah
perhitungan rincian dari biaya perkawinan suku dayak ransa yang
harus di bayar oleh pihak laki-laki kepada perempuan yang akan di kawinkannya
itu. Dari pihak laki-laki apabila sudah menyelesaikan perhitungan adat dan di
tetapkan sebanyak dua belas Ulun oleh ketua adat setempat, di harapkan agar
membayar serta menyerahkan langsung uang atau pun barang kepada pihak perempuan
untuk membiayai pesta perkawinan yang akan di berlangsungkan tersebut.
3.1 Kesimpulan
Dari
pembahasan mengenai hokum adat ini maka dapat di ambil kesimpulan yaitu bahwa
hokum adat yang berlaku di masyarakat dayak ransa dengan memakai system patrilinear.
Walaupun sudah memasuki zaman era yang modern seperti sekarang ini masyarakat
dayak ransa masih tetap memegang teguh serta menjalankan adat mereka dari apa
yang telah diwarisi nenek moyang mereka terdahulu.
3.2 Saran
Adapun
saran yang dapat penulis berikan adalah bahwa masyarakat Indonesia jangan sampai
adat istiadat yang ada di hilangkan terutama bagi suku-suku yang ada di
pedalaman yang adatnya masih sangat kental pertahankan adat-adat tersebut dan
jangan terpengaruh oleh budaya-budaya asing, karena adanya adat atau budaya
merupakan salah satu identitas dan jati diri bangsa.
SUMBER
Data hasil penelitian lapangan dan wawancara langsung dengan Temennggung dan Dewan adat suku dayak ransa.
#Artikel
terkait
Suku Desa Laman
Mumbung Dayak Dayak Ransa
Logat Bahasa Suku Dayak Ransa
Kampung
Didalam Desa Laman Mumbung kampung mehola bangis
Dusun: pondok bayan
Dusun: guhung terapau
Desa: laman mumbung
Logo Dayak Ransa
Adat
Dayak Tradisi masyarakat adat Suku dayak ransa
Suku
Dayak Ransa Suku dayak ransa di kecamatan menukung -
melawi kalbar
Cahai
kumparak adalah: air terjun di sungai mehola
Sub suku
di Melawi Jumlah suku di kabupaten melawi
Menolak:
masyarakat pedalaman harus berani menolak
perusahaan perkebunan kelapa sawit di bumi menukung