JANGAN sombong dan angkuh dengan agama Agama hanyalah ciptaan manusia Pada masa lalu, manusia menciptakan agama untuk menyembah YANG DISEMBAH dengan teratur dan tertib; PADA MASA kini, manusia juga menggunakan agama hasil ciptaan itu sebagai ALAT KEKERASAN, MENCAPAI TUJUAN POLITIK, dan sekaligus meraih KUASA dan KEKUASAAN. Pada masa kini, agama merupakan salah satu HASIL CIPTAAN MANUSIA yang paling MERUSAK hidup dan kehidupan MANUSIA.
Dan jika, anda percaya agama datang dari allah atau pun tuhan, maka mereka pun menurunkan agama agar manusia merusak semua tatanan hidup dan kehidupan manusia; dan dengan itu, allah atau pun tuhan seperti itu, tak ada gunanya untuk peradaban manusia dan alam semesta.
Dan jika, anda percaya agama datang dari allah atau pun tuhan, maka mereka pun menurunkan agama agar manusia merusak semua tatanan hidup dan kehidupan manusia; dan dengan itu, allah atau pun tuhan seperti itu, tak ada gunanya untuk peradaban manusia dan alam semesta.
PENGERTIAN AGAMA
Contoh lambang agama |
Agama [Sanskerta, a = tidak; gama = kacau] artinya tidak kacau; atau adanya keteraturan dan peraturan untuk mencapai arah atau tujuan tertentu.
Religio [dari religere, Latin] artinya mengembalikan ikatan, memperhatikan dengan saksama; jadi agama adalah tindakan manusia untuk mengembalikan ikatan atau memulihkan hubungannya dengan Ilahi. Dari sudut sosiologi, agama adalah tindakan-tindakan pada suatu sistem sosial dalam diri orang-orang yang percaya pada suatu kekuatan tertentu [yang supra natural] dan berfungsi agar dirinya dan masyarakat keselamatan.
Agama merupakan suatu sistem sosial yang dipraktekkan masyarakat; sistem sosial yang dibuat manusia [pendiri atau pengajar utama agama] untuk berbhakti dan menyembah Ilahi.
Sistem sosial tersebut dipercayai merupakan perintah, hukum, kata-kata yang langsung datang dari Ilahi agar manusia mentaatinya.
Perintah dan kata-kata tersebut mempunyai kekuatan Ilahi sehingga dapat difungsikan untuk mencapai atau memperoleh keselamatan [dalam arti seluas-luasnya] secara pribadi dan masyarakat. Dari sudut kebudayaan, agama adalah salah satu hasil budaya.
Artinya, manusia membentuk atau menciptakan agama karena kemajuan dan perkembangan budaya serta peradabannya. Dengan itu, semua bentuk-bentuk penyembahan kepada Ilahi [misalnya nyanyian, pujian, tarian, mantra, dan lain-lain] merupakan unsur-unsur kebudayaan.
Dengan demikian, jika manusia mengalami kemajuan, perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan kebudayaan, maka agama pun mengalami hal yang sama. Sehingga hal-hal yang berhubungan dengan ritus, nyanyian, cara penyembahan [bahkan ajaran-ajaran] dalam agama-agama perlu diadaptasi sesuai dengan sikon dan perubahan sosio-kultural masyarakat.
Sedangkan kaum agamawan berpendapat bahwa agama diturunkan TUHAN Allah kepada manusia. Artinya, agama berasal dari Allah; Ia menurunkan agama agar manusia menyembah-Nya dengan baik dan benar; ada juga yang berpendapat bahwa agama adalah tindakan manusia untuk menyembah TUHAN Allah yang telah mengasihinya.
Dan masih banyak lagi pandangan tentang agama, misalnya,Agama ialah [sikon manusia yang] percaya adanya TUHAN, dewa, Ilahi; dan manusia yang percaya tersebut, menyembah serta berbhakti kepada-Nya, serta melaksanakan berbagai macam atau bentuk kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut
1. Agama adalah cara-cara penyembahan yang dilakukan manusia terhadap sesuatu Yang Dipercayai berkuasa terhadap hidup dan kehidupan serta alam semesta; cara-cara tersebut bervariasi sesuai dengan sikon hidup dan kehidupan masyarakat yang menganutnya atau penganutnya
2. Agama ialah percaya adanya TUHAN Yang Maha Esa dan hukum-hukum-Nya. Hukum-hukum TUHAN tersebut diwahyukan kepada manusia melalui utusan-utusan-Nya; utusan-utusan itu adalah orang-orang yang dipilih secara khusus oleh TUHAN sebagai pembawa agama.
Agama dan semua peraturan serta hukum-hukum keagamaan diturunkan TUHAN [kepada manusia] untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat Jadi, secara umum, agama adalah upaya manusia untuk mengenal dan menyembah Ilahi [yang dipercayai dapat memberi keselamatan serta kesejahteraan hidup dan kehidupan kepada manusia]; upaya tersebut dilakukan dengan berbagai ritus [secara pribadi dan bersama] yang ditujukan kepada Ilahi. Secara khusus, agama adalah tanggapan manusia terhadap penyataan TUHAN Allah.
Dalam keterbatasannya, manusia tidak mampu mengenal TUHAN Allah, maka Ia menyatakan Diri-Nya dengan berbagai cara agar mereka mengenal dan menyembah-Nya. Agama datang dari manusia, bukan TUHAN Allah.
ASAL USUL AGAMA oleh Iones Rakhmat Agama adalah salah satu pranata primordial yang bisa membangun solidaritas demi survival (ketahanan hidup) manusia, dulu sekali, ketika baru muncul. Sejauh ada bukti arkeologisnya, agama tertua muncul 70.000 tahun yang lalu di Afrika Selatan./1/ Dus, dibandingkan umur Bumi 4,5 milyar tahun, dan umur spesies homo sapiens 300.000 tahun,/2/ agama adalah suatu fenomenon yang masih sangat muda belia.
Hal ini berarti bahwa selama 230.000 tahun homo sapiens hidup tanpa menganut agama apapun.Karena setiap masyarakat pasti memerlukan seperangkat aturan moral untuk mengelola kehidupannya, kita jadi bertanya, dari manakah nenek moyang kita selama 230.000 tahun memperoleh moralitas, sementara agama belum dilahirkan? Ihwal tentang apa yang sesungguhnya menjadi sumber moralitas, telah penulis beberkan dalam sebuah tulisan lain./3/ Jika moralitas muncul dari suatu sumber, demikian jugalah agama.
Dari mana agama pada awalnya dilahirkan? Salah satu faktor penyebab lahirnya agama pada awalnya adalah pertanyaan dari mana asal segala yang ada yang bisa dilihat manusia dengan mata telanjang. Untuk menjawab pertanyaan tentang asal-usul segala yang ada, termasuk asal-usul dirinya, nenek moyang homo sapiens belum sanggup berpikir saintifik.
Sebagai jawaban atas pertanyaan dari mana asal-usul semua yang ada, nenek moyang kita menyusun mitologi-mitologi, bukan membangun sains. Mitologi tertua yang disusun 70.000 tahun lalu menjawab: manusia berasal dari kandungan ular python, dan karena itu mereka menyembah ular ini dalam ritual keagamaan mereka.
Kemampuan bertanya dari mana asal-usul segala yang ada sudah disediakan oleh sistem saraf dalam otak homo sapiens, berupa kuriositas, yakni dorongan ingin tahu segalanya.
Kemampuan mencari sebab (cause) dari segala yang ada (effect), atau kemampuan berpikir kausal, telah tertanam dalam otak kita. Kemampuan menganalisis hubungan sebab-akibat (atau kausalitas) adalah fondasi sains yang terpenting di zaman yang jauh kemudian.
Nenek moyang homo sapiens baru mampu mengonstruksi mitologi ketika mereka menganalisis hubungan sebab-akibat. Pertanyaan-pertanyaan tentang kausalitas muncul dalam pikiran nenek moyang homo sapiens karena kebutuhan survival.
Ketika fakta didapati anak sakit lalu mati tak tertolong, atau tetumbuhan didapati tak memberi hasil, fakta ini memacu timbulnya lebih kuat lagi dorongan survival.
Dorongan untuk survival ditanam oleh gene homo sapiens dalam sel-sel saraf organ otak. Dorongan untuk survive ini membuat nenek moyang kita secara naluriah mencari hubungan sebab-akibat dalam semua fenomena alam dan dalam kehidupan mereka.
Sekali lagi, pada awal kehidupan homo sapiens, berpikir analitis kausal tidak melahirkan sains tapi mitologi. Nenek moyang kita bertanya, Mengapa turun hujan, Mengapa guntur menggelegar, Mengapa Matahari mendadak gelap, Mengapa anak sakit lalu mati, Mengapa tumbuh-tumbuhan tak mengeluarkan buah, Mengapa ada siang dan mengapa ada malam, Mengapa kalah dalam perang, dst.
Semua pertanyaan ini dijawab lewat mitologi, dengan semua fenomena alam dan benda-benda hebat dalam kosmos dipersonifikasi dan dideifikasi. Maka jadilah guntur yang menggelegar, misalnya, dipersonifikasi dalam diri Thor, sang Dewa perkasa yang memegang sebuah martil besar yang dahsyat, yang bisa mengeluarkan halilintar.
Kuriositas atau dorongan ingin tahu segalanya yang diungkap dalam pertanyaan Mengapa, membuat homo sapiens berpikir analitis kausal. Kuriositas adalah juga salah satu faktor penting yang di zaman yang jauh kemudian melahirkan cara berpikir saintifik.
Namun dalam zaman nenek moyang homo sapiens, kuriositas hanya bisa menghasilkan mitologi, bukan sains.
Agama tertua yang lahir di Afrika Selatan 70.000 tahun lalu adalah mitologi, demikian juga agama-agama lain yang tersusun seterusnya, sampai sains modern muncul menantang semua mitologi ini dan menggantikannya dengan penjelasan-penjelasan saintifik.
Selain karena didorong oleh pertanyaan tentang dari mana asal segala yang ada, dan oleh kebutuhan survival, agama lahir juga karena pertanyaan lain.
Pertanyaan berikutnya tak lagi etiologis (yakni pertanyaan tentang asal-usul), tapi teleologis:
Ke mana segalanya akan berakhir?
Apa tujuan semua yang ada?
Sejalan dengan musim-musim yang bersiklus silih berganti, pertanyaan teleologis juga dijawab dalam kerangka siklus alam. Memandang waktu bergerak secara linier, ada titik awal dan ada titik akhir, bukan siklikal, baru muncul jauh belakangan.
Ketika nenek moyang kita mendapati semua anggota komunitas mereka yang mati akhirnya menyatu dengan tanah, mereka menemukan teleologi.
Tubuh manusia yang mereka lihat menjadi tanah di akhirnya, membuat mereka juga menemukan asal-usul manusia, etiologi tentang manusia, diri mereka sendiri.
Kalau di ujungnya setiap manusia dilihat menjadi tanah, maka, dalam cara berpikir siklikal, asal-usul manusia pastilah tanah juga.
Kisah Taman Eden dalam kitab suci Yahudi-Kristen, kisah yang ditulis pada abad 10 SM, adalah etiologi yang ditulis berdasarkan teleologi.
Salah satu perkembangan dan mutasi genetik sel-sel saraf otak manusia yang memunculkan spesies homo sapiens adalah terbangunnya kesadaran diri, atauconsciousness.
Kesadaran diri hanya ada dalam hewan spesies homo sapiens, tak ada dalam jenis hewan mammalia lain. Dari consciousness ini, muncullah pertanyaan-pertanyaan:
Siapa saya?
Dari mana saya?
Ke mana saya akan pergi?
Apa tugas saya?
Mengapa saya hidup?
Mengapa saya ada di sini?
Kesadaran diri yang muncul dalam diri homo sapiens adalah juga sebuah faktor lain yang mendorong lahirnya agama, dari yang primitif sampai yang sudah berkembang.
Harus dicatat, consciousness yang muncul ini, pada zaman nenek moyang homo sapiens, tak membuat mereka memandang diri terpisah dari alam.
Dalam agama-agama alam tertua, tak ada pandangan bahwa manusia adalah makhluk tertinggi, lebih superior dari makhluk lain atau dari alam.
Nenek moyang homo sapiens memahami diri mereka sebagai bagian tak terpisah dari alam, bahkan tak terpisah dari dunia dewa-dewi.
Nah, consciousness ini membuat nenek moyang homo sapiens mengonstruksi agama yang di dalamnya tempat manusia dalam jagat raya direnungi dan dibeberkan, lewat mitologi.
Apakah anda tahu filosofi Jawa sangkan paraning dumadi? Kita tahu, pertanyaan-pertanyaan tentang identitas diri, yang muncul dari kesadaran diri, jika tak dijawab, sangat meresahkan siapapun dari antara kita. Nah, salah satu tujuan agama dibangun pada awalnya adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang identitas dan status diri manusia sendiri serta tempatnya dalam jagat raya. Ketika pertanyaan-pertanyaan ini terjawab lewat mitologi, lewat agama, rasa resah pun sirna.
Dalam setiap agama pasti ada antropologi dan psikologi kuno, yang menjadi bagian dari worldview agama ini.
Bersamaan dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan jati diri manusia sendiri, muncul juga pertanyaan-pertanyaan serupa tentang setiap benda dan fenomena lain dalam alam ini.
Benda dalam alam yang paling kuat menimbulkan pertanyaan dalam diri homo sapiens di zaman kuno adalah bintang Matahari kita.
Benda apakah Matahari ini?
Mengapa benda ini begitu dahsyat dan penuh kuasa?
Mengapa benda ini menjadi raja dalam alam raya?
Maka tidaklah heran, jika pemujaan Matahari menjadi salah satu unsur terkuat dalam agama-agama, sejak zaman kuno.
Bahkan kekristenan yang muncul jauh kemudian, mengenakan gelar Sol Invictus, sang Matahari tak terkalahkan, kepada Yesus Kristus, junjungan mereka, gelar yang diambilalih dari paganisme Romawi. Semua benda di angkasa, bagi nenek moyang kita, bukan hanya benda, tetapi makhuk-makhluk hidup, dewa dan dewi, allah-allah dan tuhan-tuhan, yang mereka sembah.
Tapi, jangan sampai lupa, pada awalnya agama-agama muncul juga karena kebutuhan politik komunitas. Sang pemimpin komunitas, yang dipilih karena kharismanya, dan karena keunggulannya dalam leadership, dalam pertarungan dan dalam perang, perlu diberi legitimasi ilahi.
Dalam zaman kuno, legitimasi ilahi kepada sang pemimpin diungkap dalam kisah-kisah suci tentang asal-usul dirinya, kehebatannya, jalan kehidupannya dan akhir kehidupannya. Dalam zaman kuno, legitimasi ilahi tidak saja diberikan kepada sang pemimpin, tapi juga kepada asal-usul komunitas dan tugas serta peran mereka dalam dunia.
Mengasal-usulkan sang pemimpin dan komunitas dari dunia ilahi (sebagai anak Allah, titisan Dewa, bangsa pilihan, umat yang kudus, dlsb) sangat membantu timbulnya dorongan survival.
Jika anda dipilih Presiden SBY sebagai satu-satunya wakil Indonesia untuk suatu tugas internasional, status anda ini menimbulkan dorongan kuat dalam diri anda untuk tampil unggul.
Pada zaman kuno sekularisme belum dikenal dan tidak dipraktekkan, sehingga surga, dewa-dewi, Allah, manusia, dunia, berinteraksi, lewat mitologi.
Dalam dunia yang semacam ini, Allah atau Dewa menjadi manusia dan bahkan manusia menjadi Allah atau Dewa.
Dalam sejarah perkembangan pemikiran keagamaan, dewa-dewi atau tuhan-tuhan yang semula, dalam kurun yang sangat panjang, banyak jumlahnya (politeisme), akhirnya dengan sadar disusutkan sehingga hanya tinggal satu Dewa atau satu Tuhan yang dipandang maha esa dan maha kuasa.
Ada banyak faktor yang berperan dalam kelahiran monoteisme.
Kebutuhan untuk mengunggulkan sang Dewa suatu suku bangsa di atas semua dewa lain dari suku-suku bangsa lain yang ada di sekitar membuat, mula-mula, dewa-dewa suku-suku bangsa lain disubordinasikan di bawah sang Dewa dari suku yang mengklaim (atau menganggap) diri paling unggul, lalu, kemudian, dewa-dewi lain ini bukan hanya disubordinasikan tetapi dihilangkan sama sekali.
Jelas, dalam hal ini monoteisme lahir karena kebutuhan politik: sang Dewa dari suku bangsa yang terunggul (atau yang menganggap diri terunggul) haruslah satu-satunya sang Dewa penguasa jagat raya. Jika di Bumi suatu bangsa unggul (atau menganggap diri unggul), maka di langit Dewa bangsa ini harus juga unggul! Selain itu, monoteisme juga lahir dari pertarungan politik domestik antar-para pemimpin suatu suku bangsa yang diakhiri dengan kemenangan sang pemimpin terkuat.
Sang pemimpin terkuat yang tampil sebagai pemenang ini lalu menegakkan monoteisme untuk dua kebutuhan:
pertama, untuk mempersatukan bangsanya, yang semula menyembah banyak dewa, di bawah payung hanya satu Dewa, yaitu sang Dewa yang disembah sang pemimpin pemenang, yang dipandang sebagai Dewa terunggul;
kedua, memberi legitimasi ilahi pada sang pemimpin pemenang sebagai utusan atau wakil eksklusif satu-satunya dari satu-satunya Dewa yang kini disembah seluruh bangsanya, tentu lewat tindakan represif militeristik. Monarkhi dan monoteisme semula berjalan beriringan.
Lewat monoteisme, monarkhi dilanggengkan, dan lewat monarkhi, monoteisme juga dilanggengkan. Itulah sketsa yang jauh dari lengkap mengapa manusia mengonstruksi agama, sejak zaman kuno hingga zaman yang lebih kemudian. Semula, tujuan agama disusun oleh nenek moyang kita adalah untuk survival komunitas.
Tapi di zaman modern ini, agama tampil dalam wajah yang lain, yakni sebagai faktor pemecah belah umat manusia dan pemicu kekerasan dan perang.
1. Reportase tentang temuan arkeologis ini tersedia online di http://www.afrol.com/articles/23093.
2. Lihat L. Vigilant et al., “African Populations and the Evolution of Human Mitochondrial DNA”, dalam Science 253, no. 5027 [1991], hlm. 1503-1507 ________________________________________ MANUSIA MENCIPTAKAN AGAMA Oleh Jappy Pellokila Menurut teori Evolusi [yang sampai kini belum ada bukti-bukti utuh dan lengkap tentang kebenarannya], manusia modern atauhomo sapiens ada karena suatu proses perkembangan yang panjang dan dalam rentang waktu lama.
Proses panjang dan lama itu terjadi karena manusia berkembang dari organisme sederhana menjadi makhluk yang relatif sempurna; dan segala sesuatu yang bertalian dengan manusia serta kemanusiaannya juga berkembang karena adanya proses evolusi.
[Dan dalam kenyataannya, evolusi hanya merupakan teori, tetapi diajarkan dan dijabarkan sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi atau dialami pada semua makluk].
Akan tetapi, menurut Kitab Suci Agama-agama, manusia, alam semesta, dan segala sesuatu adalah hasil ciptaan TUHAN Allah; hasil ciptaan yang penuh dengan kesempurnaan. Karena kesempurnaan itu, manusia mampu bertambah banyak karena di dalam diri mereka tertanam naluri bertahan hidup serta kemampuan reproduksi.
Di samping itu, manusia juga dilengkapi dengan berbagai kemampuan serta kreativitas [penggagas Teori Evolusi pun, tidak pernah bisa menjawab siapa yang telah melengkapi manusia dengan berbagai kemampuan serta kreativitas tersebut], sehingga mampu beradaptasi dengan sikon hidup dan kehidupannya; bahkan menjadikan segala sesuatu di sekitarnya menjadi lebih baik serta memberi kenyamanan padanya.
Kemampuan dan kreativitas itu, menjadikan manusia mempunyai keinginan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Sehingga, yang tadinya mempunyai pola nomade, lambat laun menetap kemudian membangun komunitas pada suatu lokasi dengan batas-batas geografis tertentu.
Dalam batas-batas geografis itu, mereka semakin bertambah banyak serta mampu membangun komunitas masyarakat dengan berbagai aspek yang bertalian dengannya.
Salah satu aspek yang biasanya ada dalam suatu komunitas masyarakat adalah cara-cara penyembahan kepada kekuatan lain di luar dirinya.
Hal itu terjadi karena manusia mempunyai naluri religius yang universal. Kekuatan lain di luar diri manusia itu bersifat Ilahi, supra natural, berkuasa, mempunyai kemampuan maha dasyat, sumber segala sesuatu, dan lain-lain.
Ia adalahKekuasaan Yang Tertinggi melebihi apapun yang ada di alam semesta. Akan tetapi, manusia tidak mampu menggambarkan bentuk-bentuk konkrit dari apa yang mereka sembah sebagai Kekuasaan Yang Tertinggi itu.
Komunitas tersebut mempunyai keyakinan bahwa Ia ada, dihormati, disembah, ditakuti; kemudian diikuti dengan memberi persembahan korban kepadanya.
Kondisi seperti itu biasanya disebut agama suku atau agama asli. AGAMA-AGAMA ASLI Agama Asli adalah bentuk-bentuk atau cara-cara penyembahan yang ada pada suatu suku dan sub-suku; kerohanian khas pada suatu bangsa, suku, dan sub-suku; berasal dari antara mereka sendiri, serta tidak dipengaruhi atau meniru dari komunitas ataupun orang lain. Ciri-ciri yang ada pada agama asli antara lain,
• terikat pada lokasi atau tempat bangsa ataupun suku dan sub-suku hidup dan berkembang; misalnya diseputar lembah atau pegunungan, daerah pedalaman serta terpencil, dan lain sebagainya; sehingga terbatas pada masyarakat dalam komunitas atau lingkungan tertentu
• dianut oleh sekelompok suku atau sub-suku ataupun gabungan beberapan suku;
• mempunyai atau adanya banyak larangan-larangan, tabu, benda-benda dan tempat-tempat keramat serta dianggap suci; tempat-tempat keramat tersebut biasanya difungsikan juga sebagai pusat kegiatan penyembahan atau ritus
• pada umumnya berhubungan dengan alam [misalnya benda-benda langit; pohon, gunung, gua, dan lain-lain]; bersifat spiritisme [adanya roh-roh pada benda-benda di alam semesta], animisme [adanya nyawa atau jiwa pada benda-benda tertentu], dinamisme [adanya kekuatan dan kuasa pada semua makhluk], totemnisme [adanya hubungan antara manusia dengan binatang tertentu].
Hubunga an erat antara [masyarakat] penganut agama suku dengan alam terjadi karena anggapan bahwa pada alam ada atau berdiam [tinggal] pribadi yang mempunyai kekuatan dan kuasa. Sebagai pribadi,alam juga tidak mau diganggu atau dirusak oleh manusia.
Dalam konsep agama-agama suku, jika pribadi pada alam tersebut diganggu [mendapat gangguan], maka Ia akan mendatangkan murka pada manusia.
Dan juga hubungan itulah, yang seringkali menjadikan mereka lebih memperhatikan dan menjaga keselarasan hidup dengan lingkungan. “Cara-cara Penyembahan” yang di atur, distimatikan, di tata, dan sebagainya itulah yang kini disebut Agama.
Manusia modern yang mengatakan Sang pengatur, penata ulang itu sebagai nabi, rasul, utusan dan lain sebagainya.
Dan bisa jadi, mereka yang pada mulanya disebut nabi itu, tidak menyapa diri seperti itu. Dan untuk menambah pengikut, sebagai suatu ekspansi kekuasaan - keagamaan - politis, agama-agama dan orang yang terhisab di dalamnya menyatakan diri paling benar, paling sempurna, bahkan melebihi yang lain karena datang dari Allah; padahal, semuanya adalah rekaan, hasil pemikiran, bahkan akibat nafsu mengusai sesama manusia.
Tetapi, seiring dengan perkembangan hidup dan kehidupan, pemikiran dan pemahaman manusia tentang siapa Yang Ilahi yang disembah semakin maju.
Pada perkembangan selanjutnya, model atau cara-cara penyembahan pada agama suku, berubah dan berkembang menjadi suatu sistem yang teratur.
Dan, pada masa lalu, manusia menciptakan agama untuk menyembah YANG DISEMBAH dengan teratur dan tertib; PADA MASA kini, manusia juga menggunakan agama hasil ciptaan itu sebagai ALAT KEKERASAN, MENCAPAI TUJUAN POLITIK, dan sekaligus meraih KUASA dan KEKUASAAN. SEHINGGA, pada sikon kekinian agama merupakan salah satu HASIL CIPTAAN MANUSIA yang paling MERUSAK hidup dan kehidupan MANUSIA.
Dan jika, anda percaya agama datang dari allah atau pun tuhan, maka mereka pun menurunkan agama agar manusia merusak semua tatanan hidup dan kehidupan manusia; dan dengan itu, allah atau pun tuhan seperti itu, tak ada gunanya untuk peradaban manusia dan alam semesta.
Religio [dari religere, Latin] artinya mengembalikan ikatan, memperhatikan dengan saksama; jadi agama adalah tindakan manusia untuk mengembalikan ikatan atau memulihkan hubungannya dengan Ilahi. Dari sudut sosiologi, agama adalah tindakan-tindakan pada suatu sistem sosial dalam diri orang-orang yang percaya pada suatu kekuatan tertentu [yang supra natural] dan berfungsi agar dirinya dan masyarakat keselamatan.
Agama merupakan suatu sistem sosial yang dipraktekkan masyarakat; sistem sosial yang dibuat manusia [pendiri atau pengajar utama agama] untuk berbhakti dan menyembah Ilahi.
Sistem sosial tersebut dipercayai merupakan perintah, hukum, kata-kata yang langsung datang dari Ilahi agar manusia mentaatinya.
Perintah dan kata-kata tersebut mempunyai kekuatan Ilahi sehingga dapat difungsikan untuk mencapai atau memperoleh keselamatan [dalam arti seluas-luasnya] secara pribadi dan masyarakat. Dari sudut kebudayaan, agama adalah salah satu hasil budaya.
Artinya, manusia membentuk atau menciptakan agama karena kemajuan dan perkembangan budaya serta peradabannya. Dengan itu, semua bentuk-bentuk penyembahan kepada Ilahi [misalnya nyanyian, pujian, tarian, mantra, dan lain-lain] merupakan unsur-unsur kebudayaan.
Dengan demikian, jika manusia mengalami kemajuan, perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan kebudayaan, maka agama pun mengalami hal yang sama. Sehingga hal-hal yang berhubungan dengan ritus, nyanyian, cara penyembahan [bahkan ajaran-ajaran] dalam agama-agama perlu diadaptasi sesuai dengan sikon dan perubahan sosio-kultural masyarakat.
Sedangkan kaum agamawan berpendapat bahwa agama diturunkan TUHAN Allah kepada manusia. Artinya, agama berasal dari Allah; Ia menurunkan agama agar manusia menyembah-Nya dengan baik dan benar; ada juga yang berpendapat bahwa agama adalah tindakan manusia untuk menyembah TUHAN Allah yang telah mengasihinya.
Dan masih banyak lagi pandangan tentang agama, misalnya,Agama ialah [sikon manusia yang] percaya adanya TUHAN, dewa, Ilahi; dan manusia yang percaya tersebut, menyembah serta berbhakti kepada-Nya, serta melaksanakan berbagai macam atau bentuk kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut
1. Agama adalah cara-cara penyembahan yang dilakukan manusia terhadap sesuatu Yang Dipercayai berkuasa terhadap hidup dan kehidupan serta alam semesta; cara-cara tersebut bervariasi sesuai dengan sikon hidup dan kehidupan masyarakat yang menganutnya atau penganutnya
2. Agama ialah percaya adanya TUHAN Yang Maha Esa dan hukum-hukum-Nya. Hukum-hukum TUHAN tersebut diwahyukan kepada manusia melalui utusan-utusan-Nya; utusan-utusan itu adalah orang-orang yang dipilih secara khusus oleh TUHAN sebagai pembawa agama.
Agama dan semua peraturan serta hukum-hukum keagamaan diturunkan TUHAN [kepada manusia] untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat Jadi, secara umum, agama adalah upaya manusia untuk mengenal dan menyembah Ilahi [yang dipercayai dapat memberi keselamatan serta kesejahteraan hidup dan kehidupan kepada manusia]; upaya tersebut dilakukan dengan berbagai ritus [secara pribadi dan bersama] yang ditujukan kepada Ilahi. Secara khusus, agama adalah tanggapan manusia terhadap penyataan TUHAN Allah.
Dalam keterbatasannya, manusia tidak mampu mengenal TUHAN Allah, maka Ia menyatakan Diri-Nya dengan berbagai cara agar mereka mengenal dan menyembah-Nya. Agama datang dari manusia, bukan TUHAN Allah.
ASAL USUL AGAMA oleh Iones Rakhmat Agama adalah salah satu pranata primordial yang bisa membangun solidaritas demi survival (ketahanan hidup) manusia, dulu sekali, ketika baru muncul. Sejauh ada bukti arkeologisnya, agama tertua muncul 70.000 tahun yang lalu di Afrika Selatan./1/ Dus, dibandingkan umur Bumi 4,5 milyar tahun, dan umur spesies homo sapiens 300.000 tahun,/2/ agama adalah suatu fenomenon yang masih sangat muda belia.
Hal ini berarti bahwa selama 230.000 tahun homo sapiens hidup tanpa menganut agama apapun.Karena setiap masyarakat pasti memerlukan seperangkat aturan moral untuk mengelola kehidupannya, kita jadi bertanya, dari manakah nenek moyang kita selama 230.000 tahun memperoleh moralitas, sementara agama belum dilahirkan? Ihwal tentang apa yang sesungguhnya menjadi sumber moralitas, telah penulis beberkan dalam sebuah tulisan lain./3/ Jika moralitas muncul dari suatu sumber, demikian jugalah agama.
Dari mana agama pada awalnya dilahirkan? Salah satu faktor penyebab lahirnya agama pada awalnya adalah pertanyaan dari mana asal segala yang ada yang bisa dilihat manusia dengan mata telanjang. Untuk menjawab pertanyaan tentang asal-usul segala yang ada, termasuk asal-usul dirinya, nenek moyang homo sapiens belum sanggup berpikir saintifik.
Sebagai jawaban atas pertanyaan dari mana asal-usul semua yang ada, nenek moyang kita menyusun mitologi-mitologi, bukan membangun sains. Mitologi tertua yang disusun 70.000 tahun lalu menjawab: manusia berasal dari kandungan ular python, dan karena itu mereka menyembah ular ini dalam ritual keagamaan mereka.
Kemampuan bertanya dari mana asal-usul segala yang ada sudah disediakan oleh sistem saraf dalam otak homo sapiens, berupa kuriositas, yakni dorongan ingin tahu segalanya.
Kemampuan mencari sebab (cause) dari segala yang ada (effect), atau kemampuan berpikir kausal, telah tertanam dalam otak kita. Kemampuan menganalisis hubungan sebab-akibat (atau kausalitas) adalah fondasi sains yang terpenting di zaman yang jauh kemudian.
Nenek moyang homo sapiens baru mampu mengonstruksi mitologi ketika mereka menganalisis hubungan sebab-akibat. Pertanyaan-pertanyaan tentang kausalitas muncul dalam pikiran nenek moyang homo sapiens karena kebutuhan survival.
Ketika fakta didapati anak sakit lalu mati tak tertolong, atau tetumbuhan didapati tak memberi hasil, fakta ini memacu timbulnya lebih kuat lagi dorongan survival.
Dorongan untuk survival ditanam oleh gene homo sapiens dalam sel-sel saraf organ otak. Dorongan untuk survive ini membuat nenek moyang kita secara naluriah mencari hubungan sebab-akibat dalam semua fenomena alam dan dalam kehidupan mereka.
Sekali lagi, pada awal kehidupan homo sapiens, berpikir analitis kausal tidak melahirkan sains tapi mitologi. Nenek moyang kita bertanya, Mengapa turun hujan, Mengapa guntur menggelegar, Mengapa Matahari mendadak gelap, Mengapa anak sakit lalu mati, Mengapa tumbuh-tumbuhan tak mengeluarkan buah, Mengapa ada siang dan mengapa ada malam, Mengapa kalah dalam perang, dst.
Semua pertanyaan ini dijawab lewat mitologi, dengan semua fenomena alam dan benda-benda hebat dalam kosmos dipersonifikasi dan dideifikasi. Maka jadilah guntur yang menggelegar, misalnya, dipersonifikasi dalam diri Thor, sang Dewa perkasa yang memegang sebuah martil besar yang dahsyat, yang bisa mengeluarkan halilintar.
Kuriositas atau dorongan ingin tahu segalanya yang diungkap dalam pertanyaan Mengapa, membuat homo sapiens berpikir analitis kausal. Kuriositas adalah juga salah satu faktor penting yang di zaman yang jauh kemudian melahirkan cara berpikir saintifik.
Namun dalam zaman nenek moyang homo sapiens, kuriositas hanya bisa menghasilkan mitologi, bukan sains.
Agama tertua yang lahir di Afrika Selatan 70.000 tahun lalu adalah mitologi, demikian juga agama-agama lain yang tersusun seterusnya, sampai sains modern muncul menantang semua mitologi ini dan menggantikannya dengan penjelasan-penjelasan saintifik.
Selain karena didorong oleh pertanyaan tentang dari mana asal segala yang ada, dan oleh kebutuhan survival, agama lahir juga karena pertanyaan lain.
Pertanyaan berikutnya tak lagi etiologis (yakni pertanyaan tentang asal-usul), tapi teleologis:
Ke mana segalanya akan berakhir?
Apa tujuan semua yang ada?
Sejalan dengan musim-musim yang bersiklus silih berganti, pertanyaan teleologis juga dijawab dalam kerangka siklus alam. Memandang waktu bergerak secara linier, ada titik awal dan ada titik akhir, bukan siklikal, baru muncul jauh belakangan.
Ketika nenek moyang kita mendapati semua anggota komunitas mereka yang mati akhirnya menyatu dengan tanah, mereka menemukan teleologi.
Tubuh manusia yang mereka lihat menjadi tanah di akhirnya, membuat mereka juga menemukan asal-usul manusia, etiologi tentang manusia, diri mereka sendiri.
Kalau di ujungnya setiap manusia dilihat menjadi tanah, maka, dalam cara berpikir siklikal, asal-usul manusia pastilah tanah juga.
Kisah Taman Eden dalam kitab suci Yahudi-Kristen, kisah yang ditulis pada abad 10 SM, adalah etiologi yang ditulis berdasarkan teleologi.
Salah satu perkembangan dan mutasi genetik sel-sel saraf otak manusia yang memunculkan spesies homo sapiens adalah terbangunnya kesadaran diri, atauconsciousness.
Kesadaran diri hanya ada dalam hewan spesies homo sapiens, tak ada dalam jenis hewan mammalia lain. Dari consciousness ini, muncullah pertanyaan-pertanyaan:
Siapa saya?
Dari mana saya?
Ke mana saya akan pergi?
Apa tugas saya?
Mengapa saya hidup?
Mengapa saya ada di sini?
Kesadaran diri yang muncul dalam diri homo sapiens adalah juga sebuah faktor lain yang mendorong lahirnya agama, dari yang primitif sampai yang sudah berkembang.
Harus dicatat, consciousness yang muncul ini, pada zaman nenek moyang homo sapiens, tak membuat mereka memandang diri terpisah dari alam.
Dalam agama-agama alam tertua, tak ada pandangan bahwa manusia adalah makhluk tertinggi, lebih superior dari makhluk lain atau dari alam.
Nenek moyang homo sapiens memahami diri mereka sebagai bagian tak terpisah dari alam, bahkan tak terpisah dari dunia dewa-dewi.
Nah, consciousness ini membuat nenek moyang homo sapiens mengonstruksi agama yang di dalamnya tempat manusia dalam jagat raya direnungi dan dibeberkan, lewat mitologi.
Apakah anda tahu filosofi Jawa sangkan paraning dumadi? Kita tahu, pertanyaan-pertanyaan tentang identitas diri, yang muncul dari kesadaran diri, jika tak dijawab, sangat meresahkan siapapun dari antara kita. Nah, salah satu tujuan agama dibangun pada awalnya adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang identitas dan status diri manusia sendiri serta tempatnya dalam jagat raya. Ketika pertanyaan-pertanyaan ini terjawab lewat mitologi, lewat agama, rasa resah pun sirna.
Dalam setiap agama pasti ada antropologi dan psikologi kuno, yang menjadi bagian dari worldview agama ini.
Bersamaan dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan jati diri manusia sendiri, muncul juga pertanyaan-pertanyaan serupa tentang setiap benda dan fenomena lain dalam alam ini.
Benda dalam alam yang paling kuat menimbulkan pertanyaan dalam diri homo sapiens di zaman kuno adalah bintang Matahari kita.
Benda apakah Matahari ini?
Mengapa benda ini begitu dahsyat dan penuh kuasa?
Mengapa benda ini menjadi raja dalam alam raya?
Maka tidaklah heran, jika pemujaan Matahari menjadi salah satu unsur terkuat dalam agama-agama, sejak zaman kuno.
Bahkan kekristenan yang muncul jauh kemudian, mengenakan gelar Sol Invictus, sang Matahari tak terkalahkan, kepada Yesus Kristus, junjungan mereka, gelar yang diambilalih dari paganisme Romawi. Semua benda di angkasa, bagi nenek moyang kita, bukan hanya benda, tetapi makhuk-makhluk hidup, dewa dan dewi, allah-allah dan tuhan-tuhan, yang mereka sembah.
Tapi, jangan sampai lupa, pada awalnya agama-agama muncul juga karena kebutuhan politik komunitas. Sang pemimpin komunitas, yang dipilih karena kharismanya, dan karena keunggulannya dalam leadership, dalam pertarungan dan dalam perang, perlu diberi legitimasi ilahi.
Dalam zaman kuno, legitimasi ilahi kepada sang pemimpin diungkap dalam kisah-kisah suci tentang asal-usul dirinya, kehebatannya, jalan kehidupannya dan akhir kehidupannya. Dalam zaman kuno, legitimasi ilahi tidak saja diberikan kepada sang pemimpin, tapi juga kepada asal-usul komunitas dan tugas serta peran mereka dalam dunia.
Mengasal-usulkan sang pemimpin dan komunitas dari dunia ilahi (sebagai anak Allah, titisan Dewa, bangsa pilihan, umat yang kudus, dlsb) sangat membantu timbulnya dorongan survival.
Jika anda dipilih Presiden SBY sebagai satu-satunya wakil Indonesia untuk suatu tugas internasional, status anda ini menimbulkan dorongan kuat dalam diri anda untuk tampil unggul.
Pada zaman kuno sekularisme belum dikenal dan tidak dipraktekkan, sehingga surga, dewa-dewi, Allah, manusia, dunia, berinteraksi, lewat mitologi.
Dalam dunia yang semacam ini, Allah atau Dewa menjadi manusia dan bahkan manusia menjadi Allah atau Dewa.
Dalam sejarah perkembangan pemikiran keagamaan, dewa-dewi atau tuhan-tuhan yang semula, dalam kurun yang sangat panjang, banyak jumlahnya (politeisme), akhirnya dengan sadar disusutkan sehingga hanya tinggal satu Dewa atau satu Tuhan yang dipandang maha esa dan maha kuasa.
Ada banyak faktor yang berperan dalam kelahiran monoteisme.
Kebutuhan untuk mengunggulkan sang Dewa suatu suku bangsa di atas semua dewa lain dari suku-suku bangsa lain yang ada di sekitar membuat, mula-mula, dewa-dewa suku-suku bangsa lain disubordinasikan di bawah sang Dewa dari suku yang mengklaim (atau menganggap) diri paling unggul, lalu, kemudian, dewa-dewi lain ini bukan hanya disubordinasikan tetapi dihilangkan sama sekali.
Jelas, dalam hal ini monoteisme lahir karena kebutuhan politik: sang Dewa dari suku bangsa yang terunggul (atau yang menganggap diri terunggul) haruslah satu-satunya sang Dewa penguasa jagat raya. Jika di Bumi suatu bangsa unggul (atau menganggap diri unggul), maka di langit Dewa bangsa ini harus juga unggul! Selain itu, monoteisme juga lahir dari pertarungan politik domestik antar-para pemimpin suatu suku bangsa yang diakhiri dengan kemenangan sang pemimpin terkuat.
Sang pemimpin terkuat yang tampil sebagai pemenang ini lalu menegakkan monoteisme untuk dua kebutuhan:
pertama, untuk mempersatukan bangsanya, yang semula menyembah banyak dewa, di bawah payung hanya satu Dewa, yaitu sang Dewa yang disembah sang pemimpin pemenang, yang dipandang sebagai Dewa terunggul;
kedua, memberi legitimasi ilahi pada sang pemimpin pemenang sebagai utusan atau wakil eksklusif satu-satunya dari satu-satunya Dewa yang kini disembah seluruh bangsanya, tentu lewat tindakan represif militeristik. Monarkhi dan monoteisme semula berjalan beriringan.
Lewat monoteisme, monarkhi dilanggengkan, dan lewat monarkhi, monoteisme juga dilanggengkan. Itulah sketsa yang jauh dari lengkap mengapa manusia mengonstruksi agama, sejak zaman kuno hingga zaman yang lebih kemudian. Semula, tujuan agama disusun oleh nenek moyang kita adalah untuk survival komunitas.
Tapi di zaman modern ini, agama tampil dalam wajah yang lain, yakni sebagai faktor pemecah belah umat manusia dan pemicu kekerasan dan perang.
1. Reportase tentang temuan arkeologis ini tersedia online di http://www.afrol.com/articles/23093.
2. Lihat L. Vigilant et al., “African Populations and the Evolution of Human Mitochondrial DNA”, dalam Science 253, no. 5027 [1991], hlm. 1503-1507 ________________________________________ MANUSIA MENCIPTAKAN AGAMA Oleh Jappy Pellokila Menurut teori Evolusi [yang sampai kini belum ada bukti-bukti utuh dan lengkap tentang kebenarannya], manusia modern atauhomo sapiens ada karena suatu proses perkembangan yang panjang dan dalam rentang waktu lama.
Proses panjang dan lama itu terjadi karena manusia berkembang dari organisme sederhana menjadi makhluk yang relatif sempurna; dan segala sesuatu yang bertalian dengan manusia serta kemanusiaannya juga berkembang karena adanya proses evolusi.
[Dan dalam kenyataannya, evolusi hanya merupakan teori, tetapi diajarkan dan dijabarkan sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi atau dialami pada semua makluk].
Akan tetapi, menurut Kitab Suci Agama-agama, manusia, alam semesta, dan segala sesuatu adalah hasil ciptaan TUHAN Allah; hasil ciptaan yang penuh dengan kesempurnaan. Karena kesempurnaan itu, manusia mampu bertambah banyak karena di dalam diri mereka tertanam naluri bertahan hidup serta kemampuan reproduksi.
Di samping itu, manusia juga dilengkapi dengan berbagai kemampuan serta kreativitas [penggagas Teori Evolusi pun, tidak pernah bisa menjawab siapa yang telah melengkapi manusia dengan berbagai kemampuan serta kreativitas tersebut], sehingga mampu beradaptasi dengan sikon hidup dan kehidupannya; bahkan menjadikan segala sesuatu di sekitarnya menjadi lebih baik serta memberi kenyamanan padanya.
Kemampuan dan kreativitas itu, menjadikan manusia mempunyai keinginan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Sehingga, yang tadinya mempunyai pola nomade, lambat laun menetap kemudian membangun komunitas pada suatu lokasi dengan batas-batas geografis tertentu.
Dalam batas-batas geografis itu, mereka semakin bertambah banyak serta mampu membangun komunitas masyarakat dengan berbagai aspek yang bertalian dengannya.
Salah satu aspek yang biasanya ada dalam suatu komunitas masyarakat adalah cara-cara penyembahan kepada kekuatan lain di luar dirinya.
Hal itu terjadi karena manusia mempunyai naluri religius yang universal. Kekuatan lain di luar diri manusia itu bersifat Ilahi, supra natural, berkuasa, mempunyai kemampuan maha dasyat, sumber segala sesuatu, dan lain-lain.
Ia adalahKekuasaan Yang Tertinggi melebihi apapun yang ada di alam semesta. Akan tetapi, manusia tidak mampu menggambarkan bentuk-bentuk konkrit dari apa yang mereka sembah sebagai Kekuasaan Yang Tertinggi itu.
Komunitas tersebut mempunyai keyakinan bahwa Ia ada, dihormati, disembah, ditakuti; kemudian diikuti dengan memberi persembahan korban kepadanya.
Kondisi seperti itu biasanya disebut agama suku atau agama asli. AGAMA-AGAMA ASLI Agama Asli adalah bentuk-bentuk atau cara-cara penyembahan yang ada pada suatu suku dan sub-suku; kerohanian khas pada suatu bangsa, suku, dan sub-suku; berasal dari antara mereka sendiri, serta tidak dipengaruhi atau meniru dari komunitas ataupun orang lain. Ciri-ciri yang ada pada agama asli antara lain,
• terikat pada lokasi atau tempat bangsa ataupun suku dan sub-suku hidup dan berkembang; misalnya diseputar lembah atau pegunungan, daerah pedalaman serta terpencil, dan lain sebagainya; sehingga terbatas pada masyarakat dalam komunitas atau lingkungan tertentu
• dianut oleh sekelompok suku atau sub-suku ataupun gabungan beberapan suku;
• mempunyai atau adanya banyak larangan-larangan, tabu, benda-benda dan tempat-tempat keramat serta dianggap suci; tempat-tempat keramat tersebut biasanya difungsikan juga sebagai pusat kegiatan penyembahan atau ritus
• pada umumnya berhubungan dengan alam [misalnya benda-benda langit; pohon, gunung, gua, dan lain-lain]; bersifat spiritisme [adanya roh-roh pada benda-benda di alam semesta], animisme [adanya nyawa atau jiwa pada benda-benda tertentu], dinamisme [adanya kekuatan dan kuasa pada semua makhluk], totemnisme [adanya hubungan antara manusia dengan binatang tertentu].
Hubunga an erat antara [masyarakat] penganut agama suku dengan alam terjadi karena anggapan bahwa pada alam ada atau berdiam [tinggal] pribadi yang mempunyai kekuatan dan kuasa. Sebagai pribadi,alam juga tidak mau diganggu atau dirusak oleh manusia.
Dalam konsep agama-agama suku, jika pribadi pada alam tersebut diganggu [mendapat gangguan], maka Ia akan mendatangkan murka pada manusia.
Dan juga hubungan itulah, yang seringkali menjadikan mereka lebih memperhatikan dan menjaga keselarasan hidup dengan lingkungan. “Cara-cara Penyembahan” yang di atur, distimatikan, di tata, dan sebagainya itulah yang kini disebut Agama.
Manusia modern yang mengatakan Sang pengatur, penata ulang itu sebagai nabi, rasul, utusan dan lain sebagainya.
Dan bisa jadi, mereka yang pada mulanya disebut nabi itu, tidak menyapa diri seperti itu. Dan untuk menambah pengikut, sebagai suatu ekspansi kekuasaan - keagamaan - politis, agama-agama dan orang yang terhisab di dalamnya menyatakan diri paling benar, paling sempurna, bahkan melebihi yang lain karena datang dari Allah; padahal, semuanya adalah rekaan, hasil pemikiran, bahkan akibat nafsu mengusai sesama manusia.
Tetapi, seiring dengan perkembangan hidup dan kehidupan, pemikiran dan pemahaman manusia tentang siapa Yang Ilahi yang disembah semakin maju.
Pada perkembangan selanjutnya, model atau cara-cara penyembahan pada agama suku, berubah dan berkembang menjadi suatu sistem yang teratur.
Dan, pada masa lalu, manusia menciptakan agama untuk menyembah YANG DISEMBAH dengan teratur dan tertib; PADA MASA kini, manusia juga menggunakan agama hasil ciptaan itu sebagai ALAT KEKERASAN, MENCAPAI TUJUAN POLITIK, dan sekaligus meraih KUASA dan KEKUASAAN. SEHINGGA, pada sikon kekinian agama merupakan salah satu HASIL CIPTAAN MANUSIA yang paling MERUSAK hidup dan kehidupan MANUSIA.
Dan jika, anda percaya agama datang dari allah atau pun tuhan, maka mereka pun menurunkan agama agar manusia merusak semua tatanan hidup dan kehidupan manusia; dan dengan itu, allah atau pun tuhan seperti itu, tak ada gunanya untuk peradaban manusia dan alam semesta.
sumber
http://ransadarant.blogspot.com/2014/04/asal-usul-agama.html
2 komentar
kunjungan balasan
dari http://sepauk-tempunak.blogspot.com/
terima kasih sudah berkunjung, Miki Hermanto.. salam kenal