Ini merupakan
artikel ilmiah yang diwajibkan oleh Fakultas hukum Universitas Kanjuruhan
Malang bagi setiap mahasiswa yang sudah menyelesaikan Tugas Akhir (Skripsi). Dimana
artikel ini adalah rangkuman dari semua tuisan yang ada dalam skripsi yang
berjudul “Tinjauan Yuridis Normatif Putusan Hakim Perkara Gugatan Praperadilan
Budi Gunawan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”
Dokumentasi Saat Sidang Skripsi pada tanggal 20 Januari 2016 |
TINJAUAN YURIDIS NORMATIF PUTUSAN HAKIM PERKARA
GUGATAN PRAPERADILAN BUDI GUNAWAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
ANTONIUS
PROGRAM STUDI
ILMU HUKUM, FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS
KANJURUHAN MALANG
HP. 0853 9174
1009
Dr. Susianto,
SH., M.Hum., CLA
Sulthon
Miladiyanto, SH., MH.
PROGRAM STUDI
ILMU HUKUM, FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS
KANJURUHAN MALANG
2016
ABSTRAK
Antonius, 2016. Tinjauan Yuridis Normatif Putusan Hakim
Perkara Gugatan Praperadilan Budi Gunawan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Skripsi
Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Kanjuruhan Malang, Pembimbing (I) Dr.
Susianto, SH., M.Hum., CLA (II) Sulthon Miladiyanto, SH., MH
Kata
Kunci: Putusan Hakim, Praperadilan, Tersangka, Putusan Mahkamah
Konstitusi
Praperadilan telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) upaya hukum praperadilan terdapat dalam Pasal 77 huruf (a) dan (b)
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan,
ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Adanya praperadilan
bertujuan untuk menjamin perlindungan hak asasi setiap individu sehingga aparat
penegak hukum tidak semena-mena dan dianggap sama dimata hukum.
Penelitian ini bersifat yuridis
normatif, dalam pembahasannya terdiri atas rancangan penelitian, sumber bahan
hukum, teknik pengumpulan bahan hukum dengan cara meneliti bahan hukum
kepustakaan, dilengkapi dengan pendekatan deskriftif dan analisis dengan cara
studi pustaka, yang kemudian fakta-fakta tersebut dianalisis sesuai fakta yang
ada.
Hasil penelitian tersebut bahwa
penetapan tersangka Budi Gunawan atas putusan hakim dalam perkara praperadilan
No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel penetapan sebagai tersangka tidak sah.
Berdasarkan pengujian materi tentang UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan Nomor perkara
21/PUU-XII/2014 telah memutuskan salah satunya Pasal 77 huruf a penetapan
tersangka dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sah tidaknya penetapan
tersangka termasuk dalam objek praperadilan. Atas pertimbangan-pertimbangan
tersebut. Menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam Tindak Pidana Korupsi
Pasal 2 ayat (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun, yang dimaksud
ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Kesimpulan tersebut, maka disarankan
Kepada aparat pengak hukum diharapkan melaksanakan tugas dan fungsinya harus
sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku serta sesuai dengan tujuan hukum itu
sendiri yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan Negara yang
berdasarkan atas hukum (rechtsstaat),
tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat).
Pernyataan tersebut secara tegas tercantum dalam Penjelasan Umum Undang-Undang
Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sebagai
negara hukum, Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan
ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya.[1]
Konsekuensi dari itu semua adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang
dilakukan oleh warga negara Indonesia. Ruang lingkup Undang-Undang Nomor 8
tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terdapat dalam Pasal
77 huruf (a) dan (b) Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus,
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang: sah atau
tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan; ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.[2]
Jadi apabila terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan seseorang maka
dalam menyelesaikan perkara tersebut baik dari proses penyidikan sampai pada
proses persidangan di pengadilan para penegak hukum haruslah berpedoman pada
aturan-aturan dalam KUHAP. Apa yang diatur dalam hukum acara pidana adalah
cara-cara yang harus ditempuh dalam menegakkan ketertiban hukum dalam
masyarakat, namun sekaligus juga melindungi hak asasi tiap-tiap individu baik
yang menjadi korban maupun si pelanggar hukum.
TINJAUAN
PUSTAKA
Pengertian
Praperadilan menurut Hartono adalah proses persidangan sebelum
sidang masalah pokok perkaranya disidangkan. Pengertian perkara pokok ialah
perkara materinya, sedangkan dalam praperadilan proses persidangan hanya
menguji proses tata cara penyidikan dan penuntutan, bukan kepada materi pokok
saja. Adapun yang dimaksud dengan materi pokoknya adalah materi perkara
tersebut, misalnya perkara korupsi, maka materi pokoknya adalah perkara korupsi.
Praperadilan yang disidangkan atau dalam istilah hukumnya yang diuji adalah
masalah tata cara penyidikannya.[3] Praperadilan yang
selama ini berlaku, yang sering terlibat dalam praperadilan atau yang menjadi
termohon atau tergugat dalam praperadilan adalah institusi kepolisian negara
republik Indonesia dan institusi kejaksaan republik Indonesia. Objek
praperadilan menurut KUHAP sendiri sudah diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya Pasal 1 angka 10, Pasal
77 s/d Pasal 83, Pasal 95 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 97 ayat (3),
dan Pasal 124. Adapun yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 77 KUHAP adalah: Pengadilan negeri berwenang untuk
memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang
ini tentang: sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; ganti kerugian dan atau rehabilitasi
bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau
penuntutan.[4]
Praperadilan sebagai lembaga baru pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai, tidak
ada sesuatu yang diciptakan tanpa didorong oleh maksud dan tujuan, demikian
juga dengan kelembagaan praperadilan. Maksud dan tujuan yang hendak ditegakan
dan dilindungi, yakni tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangka dalam
tingkat pemeriksaan penyidikan serta penuntutan dalam kepastian hukum. Praperadilan
dibentuk dengan tujuan agar terjadi pengawasan horizontal atas tindakan upaya
paksa terhadap tersangka atau terdakwa. Praktiknya, hanya melakukan penelitian
secara administratif. Selama ini yang namanya praperadilan cenderung sebuah
lembaga yang bersifat formalitas saja. Karena lembaga ini hanya melakukan
penelitian sebatas formal dan administratif terhadap sebuah perkara. Keberadaan
lembaga praperadilan dalam Pasal 77
KUHAP bertujuan untuk melakukan pengawasan horizontal atas upaya paksa yang
dikenakan pada tersangka selama dalam proses penyidikan dan penuntutan. Tata cara
atau proses pemeriksaan sidang praperadilan diatur oleh KUHAP dalam Bab X
bagian kesatu, mulai dari Pasal 79 sampai dengan Pasal 83. Berdasarkan
ketentuan pasal-pasal tersebut, telah diatur tata cara pengajuan dan proses
pemeriksaan. Bertitik tolak dari prinsip acara pemeriksaan cepat, bentuk putusan
praperadilanpun sudah selayaknya menyesuaikan diri dari proses tersebut. Oleh
karena itu, bentuk putusan praperadilan cukup sederhana tanpa mengurangi isi
pertimbangan yang jelas berdasarkan hukum dan Undang-undang. Jangan sampai
kesederhanaan bentuk putusan menghilangkan penyusunan pertimbangan yang jelas
dan memadai. Sifat kesederhanaan putusan praperadilan tidak boleh mengurangi
dasar alasan pertimbangan yang utuh dan menyeluruh. Penjelasan Pasal 60
undang-undang Nomor 7 tahun 1989 memberi definisi tentang putusan sebagai
berikut: “Putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan
adanya suatu sengketa. Drs. H.A. Mukti Arto, SH. Memberi definisi terhadap
putusan, bahwa : "Putusan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam
bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum,
sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan”.[5] Putusan
hakim atau yang lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan adalah
merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh para pihak yang berperkara guna
menyelesaikan sengketa yang dihadapi, dengan putusan hakim akan mendapatkan
kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi. Putusan itu
dituntut untuk suatu keadilan dan yang dipentingkan dan menentukan adalah
fakta atau peristiwanya, peraturan hukum adalah suatu alat. maka dalam putusan
hakim yang perlu diperhatikan adalah pertimbangan hukumnya. sehingga mempunyai
alasan yang objektif dan memiliki kekuatan hukum agar putusan tersebut
tidak dapat diubah lagi. Asas-Asas Dalam Putusan memuat dasar alasan yang
jelas dan rincian Alasan hukum yang menjadi pertimbangan bertitik tolak pada
Pasal-Pasal tertentu, Perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi dan dokrin
hukum.[6] Menurut
Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 alinea pertama berbunyi : Kekuasaan
kehakiman mengandung pengertian bebas dari capur tangan pihak ekstra yudisial,
kecuali yang disebut dalam UUD Negara RI Tahun 1945. “Dapat diartikan bahwa
kekuasaan kehakiman, bebas dari campur tangan penguasa eksekutif maupun
legislatif dan segala paksaan, direktiva dan rekomendasi dari siapapun harus
ditolak. Namun dalam kebebasan relatif menerapkan hukum yang diatur dalam pasal
1 UU No. 4 Tahun 2004 menjelaskan bahwa : kebebasan dalam melaksanakan
wewenang judicial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah menengakkan
hukum dan keadilan berdasar pancasila sehingga putusannya mencerminkan rasa
keadilan rakyat indonesia.[7]
Ini berarti mengenai penerapan hukum yang dijadikan pertimbangan putusan,
kebebasan hakim tidak mutlak, tetapi bersifat relatif.” Macam-macam putusan
terdiri dari Putusan sela, Putusan preparatoir,
Putusan interlocutoir, Putusan incidentieel dan Putusan provisioneel, Putusan Condemnatoir, Putusan Constitutif,dan Putusan Declaratoir.[8]
Kekuatan Putusan tentang kekuatan putusan hakim, Putusan hakim mempunyai 3
macam kekuatan: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan
eksekutorial (kekuatan untuk dilaksanakan).[9] Mahkamah Konstitusi adalah salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan peran Mahkamah Konstitusi
penting dalam mengharmoniskan hubungan antar lembaga negara yang sering
berbenturan. Untuk menjamin akuntabilitas putusannya, hakim Mahkamah Konstitusi
perlu dilengkapi kelompok ahli yang berfungsi memberikan wawasan dan pertimbangan
bagi Mahkamah Konstitusi. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang
mengakomodir pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam sistem
ketatanegaraannya. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian
undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan
Indonesia sebab UUD 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi
parlemen melainkan supremasi konstitusi. Bahkan, ini juga terjadi di
negara-negara lain yang sebelumnya menganut sistem supremasi parlemen dan
kemudian berubah menjadi negara demokrasi. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat
final dan mengikat (final and binding)
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi
bersifat final. Artinya, tidak ada peluang menempuh upaya hukum berikutnya
pasca putusan itu sebagaimana putusan pengadilan biasa yang masih memungkinkan
kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Selain itu juga ditentukan putusan Mahkamah
Konstitusi memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan Mahkamah
Konstitusi. Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan semua pihak termasuk
penyelenggara negara yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh MK harus
patuh dan tunduk terhadap putusan MK.[10]
METODE
PENELITIAN
Penelitian ini termasuk dalam ruang
lingkup penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan menganalisis
data-data, studi kepustakaan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Penulis
melakukan penelitian dengan melakukan kepustakaan melalui berbagai sumber dan
menggunakan data pertimbangan putusan hakim terhadap pebahasan yang berkaitan.
kemudian melakukan analisis terhadap hasil penelitian tersebut dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta literatur-literatur. Berdasarkan
sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sumber
bahan hukum Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
Nomor 16
Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor : 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dalam permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Teknik pengumpulan bahan hukum data
yang dikenal adalah studi kepustakaan; pengamatan (observasi), Sesuai dengan sumber data seperti yang dijelaskan di
atas, maka dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara Studi
Kepustakaan. Terhadap data sekunder dikumpulkan dengan melakukan studi
kepustakaan, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan serta mengkaji KUHAP
sebagai sumber hukum Acara, peraturan perundang-undangan, rancangan
undang-undang, hasil penelitian, jurnal ilmiah, artikel ilmiah, dan
makalah hukum yang berhubungan dengan praperadilan Budi Gunawan. Teknik analisis
bahan hukum merupakan data yang diperoleh dari studi kepustakaan akan
dianalisis secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu
metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh
dari penelitian menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan
teori-teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi
kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Upaya praperadilan tidak lebih dari
pemeriksaan formil terkait sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan, penghentian penuntutan, permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi
yang diajukan tersangka atau pihak ketiga berkepentingan. Pemohon dalam Perkara No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel adalah
Komisaris Jenderal Polisi Drs. Budi Gunawan, S.H., M.si, sedangkan Termohon
adalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Pimpinan KPK cq.
Adapun yang menjadi obyek Permohonan Praperadilan adalah penetapan Pemohon
sebagai tersangka. Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut, Hakim Praperadilan
menjatuhkan putusan yang amarnya menyatakan antara lain : 1) Surat Perintah
Penyidikan Nomor. Sprin.Dik-03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 yang
menetapkan Pemohon sebagai tersangka adalah tidak sah dan tidak berdasarkan
hukum dan oleh karenanya penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat; 2) penyidikan yang dilakukan oleh Termohon terkait peristiwa yang
disangkakan adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum dan oleh karenanya
penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; dan 3) penetapan
tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah.[11]
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 28 April 2015, dalam pengujian
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dengan Nomor perkara
21/PUU-XII/2014 telah memutuskan salah satunya bahwa Pasal 77 huruf a
KUHAP adalah bertentangan dengan Undang-undang Dasar NRI 1945 sepanjang tidak
termasuk penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan.[12]
Artinya, dengan putusan Mahkamah Konstitusi ini, pengujian sah tidaknya
penetapan tersangka termasuk dalam objek praperadilan. Putusan Mahkamah
Konstitusi itu menjadi jawaban final dari polemik putusan hakim Sarpin Rizaldi.
Sebelumnya, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Hakim Sarpin mengabulkan
permohonan praperadilan yang diajukan Budi Gunawan (calon Kapolri) terkait
penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK. Hukum acara pidana Indonesia
mengenal suatu mekanisme pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penangkapan,
penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan dan permintaan ganti
rugi, rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau
kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Mekanisme itu dinamakan
Pra Peradilan yang diatur dalam Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 Kitab
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Permohonan
Pra Peradilan diajukan dan diproses sebelum perkara pokok disidangkan di
pengadilan. Implikasi Putusan Praperadilan yang mengabulkan sebagian permohonan
Budi Gunawan tersebut menimbulkan dampak serta merusak sistem hukum di
Indonesia, bahwa untuk saat ini seharusnya putusan hakim Sarpin itu tidak bisa
dijadikan sebagai sumber acuan hukum atau yurisprudensi karna baru satu putusan
pengadilan, jika putusan tersebut dipakai oleh hakim lain dengan maka KUHAP
harus secepat mungkin direvisi. Mengingatkan, putusan Praperadilan yang
dikeluarkan oleh Hakim Sarpin Rizaldi berimplikasi luas pada sistem penegakan
hukum pidana khususnya tugas penyidik. Selain itu, dengan adanya putusan
praperadilan tersebut, ke depan setiap penetapan tersangka berpotensi akan di
praperadilankan. Penetapan tersangka Budi Gunwan tidak terlepas dari peran
institusi Negara yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Presiden Joko Widodo
mengajukan nama Komjen (Pol) Budi Gunawan sebagai pencalonan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia (Kapolri) tersebut kepada DPR pada 9 Januari 2015 tanpa
meminta penelusuran rekam jejak kepada KPK dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi
Keuangan (PPATK).[13]
Hal ini seakan bernuansa politis, namun setelah KPK melakukan penyidikan sampai
tahap penyelidikan sesuai dengan Pasal 6 pada Bab II tugas, wewenang, dan
kewajiban Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam Tindak Pidana Korupsi
Bab II Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (1)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan kouangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 dua puluh)
tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[14]
Artinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dengan nilai harta kekayaan dengan tidak wajar yang di anggap mencurigakan maka
itu adalah salah satu dari tindak pidana korupsi. Terhadap putusan praperadilan
dapat atau tidaknya diajukan upaya hukum dijelaskan dalam Pasal 83 KUHAP, yang
isinya: 1) Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79, 80 dan 81 KUHAP tidak dapat dimintakan banding; 2) Dikecualikan dari
ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya
penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan
akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.[15]
PENUTUP
Praperadilan sebagaimana yang diatur
dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 77 adalah Pengadilan Negeri berwenang untuk
memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang
tentang: sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan; ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang
perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Praperadilan sebagaimana dalam Pasal 77 sampai Pasal 83 KUHAP adalah upaya hukum sebagai sarana
kontrol untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum
yang berkaitan dengan hak asasi manusia yang dilindungi, sesuai dengan semangat
atau ruh seperti yang tersirat dalam konsideran menimbang huruf a dan c, serta
penjelasan umum angka 2 paragraf 6 KUHAP. Berdasarkan Putusan Perkara No.
04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel hakim mengabulkan gugatan praperadilan Budi Gunawan
terhadap Penetapan dirinya sebagai tersangka dan Berdasarkan pengujian materi
tentang Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) dengan Nomor perkara 21/PUU-XII/2014 telah memutuskan
salah satunya bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP adalah bertentangan dengan
Undang-undang Dasar NRI 1945 sepanjang tidak termasuk penetapan tersangka,
penyitaan, dan penggeledahan. Artinya, dengan putusan Mahkamah Konstitusi ini,
pengujian sah tidaknya penetapan tersangka termasuk dalam objek praperadilan.
Adapun saran Kepada aparat lembaga atau institusi pengak hukum mulai dari
kepolisian, kejaksaan, KPK sampai pengadilan diharapkan dalam menegakan hukum
serta menjalankan sesuai dengan Peraturan dan Perundang-undangan serta amanah
dari masyarakat harus benar-benar independen dan berani melakukan kebenaran
tanpa adanya campur tangan dari pihak yang berkepentingan. Untuk hakim dalam
memutuskan suatu perkara harus professional dan obyektif dengan
mempertimbangkan seadil-adilnya demi tegaknya hukum di negeri ini, sesuai
dengan tujuan hukum itu sendiri yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Hartono, (2010) Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana
(Melalui Pendekatan Hukum Progresif). Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Mertokusumo Sudikno,
(1993) Hukum Acara Perdata,
penerbit: Liberty, Jogyakarta: Indonesia.
________, (2006) Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,
Jogjakarta
Prakoso Djoko,
(1988) Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Di Dalam Proses Pidana, Liberty,
Yogyakarta.
Soeroso, (1996) Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara Dan Proses Persidangan,
Sinar Grafika, Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang
No. 4 Tahun 2004 Tentang kekuasaan
Kehakiman, Pasal 1
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
Website
Coretan , Putusan Pengadilan dalam Hukum Acara Perdata,
diakses dari http://coret-anku.blogspot.co.id/2012/02/putusan-pengadilan-dalam-hukum-acara.html
Fabryan Nur Muhammad, Pengertian Mahkamah Konstitusi Fungsi
Kedudukan Tugas, Diakses Dari Https://Facultyoflawyer.Wordpress.Com/2013/10/11/Pengertian-Mahkamah-Konstitusi-Fungsi-Kedudukan-Tugas/
Putusan Mahkama Agung
Praperadilan Budi Gunawan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.
Putusan Mahkamah
Konstitusi, Nomor 21/PUU-XII/2014.
Novianti, Implikasi
Hukum Putusan Praperadilan Penetapan Tersangka Budi Gunawan Pusat Pengkajian,
Pengolahan Data dan Informasi (P3DI).
[1] Djoko Prakoso, (1988) Alat
Bukti dan Kekuatan Pembuktian Di Dalam Proses Pidana, Liberty, Yogyakarta,
hlm. 1
[2] Lihat Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 77 huruf (a) dan (b)
[3] Hartono, (2010) Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana
(Melalui Pendekatan Hukum Progresif). Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hlm.
91-92
[4] Lihat Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) Pasal 77
[5] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo,
(1993) Hukum Acara Perdata,
penerbit: Liberty, Jogyakarta: Indonesia, hlm. 174.
[6] Soeroso,
(1996) Praktik Hukum Acara Perdata, Tata
Cara Dan Proses Persidangan, Sinar Grafika, Jakarta,
[7] Lihat Undang-Undang No. 4 Tahun
2004 Tentang kekuasaan Kehakiman, Pasal
1
[8] Coretan , Putusan Pengadilan dalam Hukum Acara Perdata, diakses dari http://coret-anku.blogspot.co.id/2012/02/putusan-pengadilan-dalam-hukum-acara.html pada tanggal 23 Oktober 2015
pukul 21.40
[9] Sudikno Mertokusumo, (2006) Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,
Jogjakarta, hlm. 213.
[10] Fabryan Nur
Muhammad, Pengertian Mahkamah Konstitusi
Fungsi Kedudukan Tugas, Diakses Dari Https://Facultyoflawyer.Wordpress.Com/2013/10/11/Pengertian-Mahkamah-Konstitusi-Fungsi-Kedudukan-Tugas/ Pada Tanggal 6
November 2015 pukul 18.00
[11] Lihat putusan Mahkamah Agung
Praperadilan Budi Gunawan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel
[12] Putusan Mahkamah Konstitusi,
Nomor 21/PUU-XII/2014 hlm. 109
[13] Novianti, Implikasi Hukum
Putusan Praperadilan Penetapan Tersangka Budi Gunawan Pusat Pengkajian,
Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Februari 2015, hlm. 4
[14] Lihat
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
[15] Lihat Undang-Undang No. 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 83